KOASISTENSI KLINIK INTERNA KECIL
LAPORAN KASUS MANDIRI
LARYNGITIS DAN INFESTASI EAR MITES
PADA ANJING ”PONI”
Disusun oleh :
Julvina Kusumastuti, S.K.H.
10/309835/KH/06751
Dosen Pembimbing :
Prof.Dr.drh.Sri Hartati, SU.
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2010
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
INTISARI 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
Laryngitis 5
Ear Mites 6
Amoxicilin 10
Vitamin B-plex 11
Duradryl 12
Ivomec 14
OBH 15
RIWAYAT KASUS 16
HASIL 19
PEMBAHASAN 21
Anamnesa dan Pemeriksaan fisik 21
Pemeriksaan Laboratorium 22
a. Pemeriksaan feses 22
b. Pemeriksaan ektoparasit 22
c. Pemeriksaan darah 23
Pengobatan 27
Perkembangan Keadaan Pasien 27
KESIMPULAN DAN SARAN 31
Kesimpulan 31
Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
INTISARI
Pada hari Senin tanggal 15 November 2010 telah dilakukan pemeriksaan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Poliklinik Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada terhadap Anjing ”Poni” dengan signalemen domestik, ♀, 6 bulan 3 minggu, atas pemilik Sdri. Ummi yang beralamat di Demangan Kidul, Yogyakarta
Berdasarkan Anamnesa sudah 6 hari anjing batuk-batuk dan pilek, nafsu makan dan minum masih baik, populasi 13 ekor tetapi dimasukkan dalam kandang individu. Pakan berupa bubur dan hati ayam. Satu bulan yang lalu diberi obat cacing berupa drontal dan 2 minggu sebelumnya dilakukan pemasangan pin dalam femur. Status Praesens: kondisi tubuh kurus, ekspresi muka lesu, frekuensi nafas 48x/menit, pulsus 80x/menit, temperatur 40 °C, turgor kulit masih bagus, rambut tidak rontok, Konjungtiva pink, CRT <2 detik, cermin hidung basah. Mulut bersih, palpasi leher dan laryng ada refleks batuk, palpasi abdominal tidak ada rasa sakit, anus bersih. Sistole-distole dapat dibedakan (normal). Tipe nafas thoracoabdominal, auskultasi paru-paru vesikuler. Palpasi ginjal tidak ada rasa sakit dan tidak ada pembengkakan. Refleks pupil, palpebra, pedal baik. Tidak dapat berdiri dan berjalan dengan baik, karena fraktur femur sinister. Ada pembengkakan lgl submadibula dexter dan sinister. Berat badan 4,6 kg. Pemeriksaan feses natif (-) negatif. Pemeriksaan kulit (-) s; jamur (UV tidak berpendar). Pemeriksaan ektoparasit (+) Otodectes cyanotic. Pemeriksaan darah hewan mengalami anemia normositik hiperkromik, leukositosis (netrofilia), monositosis, dan hiperfibrinogenemia
Hewan didiagnosa Laryngitis dan Ear mite dengan prognosa fausta. Hewan diterapi dengan injeksi amoxicilin 0,5 cc i.m , s.2.d.d, selama 8 hari, injeksi duradryl 0,5 cc i.m, s.1.d.d, tiga kali pemberian selama pengobatan, injeksi B.plex 0,5 cc s.1.d.d, selama 8 hari, dan injeksi Ivomec 0,2 cc s.c,
Setelah diberi terapi, hewan menunjukkan peningkatan nafsu makan, dengan berat badan Anjing dari 4,6 kg setelah seminggu meningkat menjadi 5 kg. Berdasarkan pemeriksaan fisik palpasi laryng tidak ada reflex batuk. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah II tanggal 22 November 2010 menunjukkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini menunjukkan hewan mengalami proses penyembuhan setelah diberi pengobatan.
TINJAUAN PUSTAKA
A. LARYNGITIS
Laringitis adalah peradangan kotak suara (laring), iritasi atau infeksi pernapasan. Laryngitis dapat bersifat primer atau sekunder, penyebabnya antara lain yang paling sering adalah karena terlalu banyak menggonggong, anjing ditempatkan di tempat yang baru, inhalasi debu atau bahan kimia yang menggannggu dan akibat infeksi bakteri. Agen penyebab laryngitis antara lain ; E. Coli, F. Necrophorum, Pasteurella, Streptococcus sp, C. Pyogenes, Mycoplasma.
Proses radang pada yang terjadi pada laryng umumnya tidak berdiri sendiri karena organ-organ disekitarnya ikut mengalami radang. Adanya proses keradangan dapat dilihat dari adanya pembengkakan pada Lgl. Mandibularis. Gejala akibat gangguan ini antara lain terjadi perubahan suara menjadi parau, sukar menelan dan muntah, batuk kering non produktif, palpasi daerah laryng terjadi reflex batuk, dispnoe inspiratorik, stridor laryngeal, mendengkur dan ronchi kering (awal) atau basah (stadium lanjut).
Proses radang disertai dengan kebengkakan jaringan dan akumulasi produk radang sehingga saluran pernafasan menjadi sempit. Kebengkakan pada pita suara akan mengakibatkan suara menjadi parau. Frekuensi pernafasan meningkat dan inspirasi lebih panjang namun tidak terjadi pada ekspirasi. Frekuensi pulsus dan suhu tubuh mengalami kenaikan yang dapat dilihat pada hasil pemeriksaan klinis. Penderita akan mengalami penurunan nafsu makan akibat obstruksi dan pada kasus yang kronik akan mengalami kekurusan.
Diagnosa dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis, inspeksi terlihat adanya radang pada limfoglandula dan auskultasi paru-paru biasanya negatif. Diagnosa pasti laryngitis dapat dilakukan dengan laryngoscope untuk membedakan dengan pharyngitis, bronchitis, naopharyngeal polyp, abses atau laryngeal paralysis. Perbedaan dengan bronkhitis adalah palpasi pada daerah tenggorok atau pangkal tenggorok tidak menyebabkan batuk dan pada auskultasi suara ronchi terbatas pada daerah bronchus yang terkena sedangkan pada laryngitis dan tracheitis suara seperti mendengkur terdengar hampir pada seluruh daerah paru-paru.
B. EAR MITES
Ear mite pada anjing umumnya dialami hewan muda. Tungau ini dapat dilihat dengan mata telanjang berupa titik putih kecil tetapi biasanya harus dideteksi dengan pemeriksaan swab telinga dibawah mikroskop. Otodectes cyanotis adalah tungau ditemukan di telinga anjing dan kucing. Tungau ini umumnya tinggal di sepanjang permukaan saluran telinga tapi kadang-kadang dapat ditemukan di bagian lain dari tubuh dan di lingkungan umum. Posisi yang paling umum bagi mereka untuk dapat ditemukan selain telinga adalah leher, pantat dan ekor ( Bowman, et al., 2002).
Gambar.1. Otodectes cynotis, female Otodectes cynotis, male
Identifikasi tungau sangat mudah karena tidak ada tungau nonpenggali yang berukuran sebesar ini dan ditemukan khusus di telinga. Tungau tampak berwarna putih, dapat terlihat bergerak pada telinga atau swab kotoran telinga. Larva tungau berukuran panjang 138-224 µm. Jantan dewasa berukuran 274-362 µm. Betina masak berukuran panjang 345-451 µm. Pada pengamatan bagian distal, pretarsi dari bagian sepasang kaki anterior akan tampak “wine-glass-shape” caruncle pada pedikel pendek. Tungau jantan memiliki caruncle pada ke-4 pasang kaki, sedangkan pada pasang kaki ke-3 dan ke-4 tungau betina hilang dan digantikan oleh rambut panjang atau setae. Bagian tubuh posterior tungau jantan memiliki penghisal bagian ventral yang berfungsi sebagai pegangan untuk deutonymph pada siklus hidupnya. Telur berwarna putih, oval, agak pipih pada satu sisi, panjang 166-206 µm.
Tungau tersebut sangat menular dan dapat menginfestasi beberapa jenis hewan. Mekanisme iritasi disebabkan oleh adanya tungau dalam telinga yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktifitas ceruminal glands dan. Oleh karenanya, menjadikan lingkungan yang menguntungkan bagi infeksi sekunder bakteri maupun jamur. Infestasi tersebut dinamakan ‘otodectic mange’ dan secara umum hewan yang terinfestasi menunjukkan gejala tidak nyaman, gatal yang sangat dan bahkan gangguan pendengaran, tergantung dari tingkat keparahannya. Meskipun sebagai tungau penyebab utama eksternal otitis, tetapi informasi mengenai prevelensi dan faktor yang mempengaruhi infestasinya belum banyak dibahas ( Souza, C.P., et al. 2008)
Gambar.2. Siklus Hidup
Siklus hidup dimulai saat betina meletakkan telur yang direkatkan pada saluran telinga oleh sekresi tungau betina. Telur membutuhkan 4 hari inkubasi untuk dapat menetas. Siklus hidup meliputi stadium larva, protonymph, dan deutonymph. Setiap stadium membutuhkan 3-5 hari untuk berkembang dan membutuhkan 1 hari untuk menyilih (ecdyse). Dibutuhkan waktu skitar 18-28 hari untuk menyelesaikan 1 siklus dari telur hingga telur kembali
Karakteristik infeksi biasanya menghasilkan bentukan kering di telinga berwarna hitam umumnya menyerupai bubuk kopi, karena ciri khas tersebut, infeksi sering didiagnosis berdasarkan adanya bentukan tersebut meskipun tanpa pemeriksaan visual dari tungau di bawah mikroskop. Bentukan ini terdiri dari kotoran telinga, darah, inflamasi biokimia, dan tungau telinga sendiri. Kadang-kadang anjing mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan terkait dengan parasit tetapi dalam kasus lain, mereka akan menyebabkan otitis yang merupakan radang yang menyakitkan telinga. Tidak ada hubungan antara infestasi ear mite dengan umur, aktifitas seksual atau gaya hidup kucing terinfestasi. Ear mites yang hidup dan berkembang biak dalam eksternal dan internal lubang telinga menyebabkan iritasi. Sekresinya dapat menimbulkan radang hebat dan reaksi hipersensitif segera setelah terinfestasi, dan kasus kronis pada kucing dapat menghasilkan hipersensitif tipe arthus. Akan tetapi, lesi awal sering tidak terdeteksi pada kebanyakan kasus. Ini menjadikan spekulasi bahwa kucing dalam usia mudanya mengembangkan ‘imunitas’ melawan tungau dan ini dapat menjelaskan mengapa ear mites termasuk jarang menimbulkan gejala klinis (R.Fakas., et al. 2007)
Hewan yang ter infeksi Otodectes cynotis menunjukkan peningkatan antibody IgE pada hari ke 14 setelah infestasi. IgE mempunyai 5 peran penting dalam komponen histologi saat infestasi ear mites : (1) permukaan epitel diselimuti oleh material kerak, berlilin, dan mudah hancur: (2) epitelium mengalami hiperkeratosis dan hiperplasia: (3) glandula cerumina dan sebasea tampak sangat reaktif hiperplasia: (4) sel radang (mast sel dan makrofag) ditemukan dalam jumlah besar: dan (5) peredaran darah , khususnya vena dibawah dermis mengalami dilatasi.
Gejala klinis sangat beragam dan termasuk kombinasi dari: (1). Iritasi telinga penyebab luka garukan pada telinga atau geleng-geleng kepala. (2). Keluarnya kotoran telinga kehitaman atau penebalan kulit dari dalam telinga. (3). Alopesia sebagian yang diakibatkan digaruk sendiri atau grooming yang terlalu sering. (4). Aural hematoma, karena sering digaruk. Lesi pada kulit sering terlihat disekitar telinga, tetapi tidak menutup kemungkinan daerah lainnya dapat terserang.
Pengobatan ear mites harus dimulai dengan membersihkan telinga untuk menghilangkan kotoran. Telinga kemudian harus diperlakukan dengan persiapan topikal untuk membunuh tungau. Perawatan ini harus dilanjutkan selama 2 minggu untuk mengantisipasi siklus hidup tungau agar hewan benar-benar sembuh. Kandang dan lingkungan harus dibersihkan dari tungau. Ivermectin sangat berguna bagi hewan peliharaan yang tidak akan memungkinkan pengobatan langsung telinga mereka. Ini adalah metode yang sangat efektif pemberantasan ear mites tetapi ada beberapa keterbatasan. Keturunan anjing tertentu sensitif terhadap obat ini.
Gambar 3.cara membersihkan telinga dengan cotton bud
C. AMOXICILLIN
Struktur Kimia Amoxycillin
Kalmoxicilin (Kalbe Farma) merupakan salah satu produk yang memilki kandungan Amoxicillin merupakan antibiotik semi sintetik dari penisilin (Subronto dan Tjahjati, 2008). Amoxicilin tersedia dalam bentuk serbuk injeksi yang tiap vial berisi amoxicillin sodium yang setara dengan amoxicillin 1000 mg. Konsentrasi larutan amoxicilin injeksi ini adalah 10% yang dapat diaplikasikan secara IM atau IV (Hardjasaputra et al, 2002). Amoxicilin merupakan penicilin yang tahan asam, termasuk asam lambung. Hal ini dikarenakan amoxicilin memiliki gugus phenoxyl yang terikat oleh gugus alkyl dari rantai acylnya (Subronto dan Tjahjati, 2008).
Amoxicilin disebut penisilin spectrum luas karena memiliki gugus hidroksil fenolik tambahan dan dapat bekerja terhadap bakteri Gram negatif seperti E. coli atau Proteus mirabilis. Aktifitas antibakteri amoxicilin ini terletak pada cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Kebanyakan batang enterik Gram negatif) menghasilkan beta-laktamase (penicillinases), yang menginaktifkan penisilin dengan memecah cincin beta-laktam (Katzung, 1998).
Beberapa bakteri mungkin tidak rentan terhadap kerja penisilin yang mematikan karena enzim autolik didalam dinding sel tidak aktif. Organisme yang toleran tersebut (misalnya, Staphylococcus tertentu, Streptococcus, Listeria) dihambat tetapi tidak dibunuh. Organisme tanpa dinding sel atau (bentuk Mycoplasma L) yang secara metabolik tidak aktif bersifat tidak rentan terhadap penisilin dan penghambat dinding sel lainnya karena mereka tidak mensistesis peptidoglikan. Beberapa bakteri (misalnya, Staphylococcus) mungkin resisten terhadap kerja beta-laktam pada penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase seperti metisilin. Mekanisme resisten ini tampaknya bergantung pada defisiensi atau tidak dapat dicapainya Penicilin Binding Protein (PBP), hal ini tidak bergantung pada produksi beta-laktamase dan frekuensinya sangat bervariasi dengan lokasi geografis (Katzung, 1998). Dosis pemberian amoxicilin pada anjing 10 mg/kg bb 2 kali sehari selama 3-5 hari (Rossof, 1994).
D. VITAMIN B-KOMPLEKS
Vitamin B komplek merupakan komplek vitamin B yang berguna untuk proses metabolisme di dalam tubuh. Komposisinya meliputi Thiamin HCl, Riboflavin, Pyridoksin HCl, kalsium pentatonat dan Nicothinamide.
Thiamin HCl penting untuk oksidasi karbohidrat, berdasarkan fungsinya sebagai koenzim pada proses dekarboksilasi asam alpha keto (asam piruvat, asam laktat). Riboflavin adalah komponen dari flavoprotein enzim yang merupakan bagian dari sistem enzim pada transfer hidrogen (sebagai koenzim pada transpor hidrogen dalam siklus crebs) dan juga bekerja dalam proses degradasi asam lemak, proses oksidasi asam piruvat dalam SSP, asam amino, aldehide, dan produk metabolisme yang lain. Pyridoksin HCl dalam tubuh diubah menjadi pyridoksal fosfat yang berpengaruh sebagai koenzim yang essensial dalam susunan enzim yang diperlukan pada proses dekarboksilasi, transaminasi dan racemisasi asam amino, serta menbantu transpor asam amino melalui membran, membantu proses sintesa dari unsaturated fatty acid, dan membantu merubah triptopan menjadi asam nikotinat. Kalsium pentatonat sebagai bagian dari koenzim A yang diperlukan untuk proses metabolisme, yaitu proses asetilasi, biotransformasi preparat sulfonamide dalam hepar, permulaan siklus crebs, dan metabolisme asam lemak serta asam amino. Nicotinamide sebagai antipelagra, merupakan komponen essensial dari koenzim I dan II dimana enzim tersebut bekerja sebagai penerima H+ dan pemberi H+ dalam proses oksidasi-reduksi dari siklus crebs dan dalam metabolisme zat hidrat arang, zat lemak, dan zat putih telur.
E. DURRADRYLl® (Dipenhydramine HCl)
Gambar 3. Ikatan rantai kimia Diphenhydramine HCl (2-benzhydryloxy-N,N-dimethyl-ethanamine)
Duradryl merupakan antihistamin dalam sediaan bentuk larutan injeksi 15 ml per ampul yang tiap ml mengandung diphenhydramin HCl 10 mg. Setiap 1 ml Delladryl mengandung Diphenhidramin HCL 10 mg. Diphenhidramin HCL merupakan antihistamin (AH1). Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut :
Ar1 H
X CH2 CH2 N
Ar2 H
Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C atau –C-O-.
Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel dengan mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Ikatan dengan sel akan menyebabkan tidak adanya efek histamin pada sel tersebut. Diphenhidramin HCl sendiri merupakan antihistamin dari klas ethanolamine, yang dapat mengandung sedatif, antimuskarinik, dan anti emetika, sehingga dapat menekan gejala batuk, serta antihistamin (H1) menekan muntah dan pruritis (Tennant, 2002). Penggunaan secara i.m jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan. Lama kerja H1 setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam (Ganiswarna, 2001). Metabolismenya terjadi di hepar dan kemudian akan diekskresikan lewat urin.
Antihistamin H1 digunakan dalam mencegah aksi histamin pada bronchial, intestinal, uterus, mukulus halus pembuluh darah. Sebagai antagonis terhadap efek vasokonstriksi oleh histamin dan lebih berpengaruh terhadap efek vasodilatator dalam meningkatkan permeabilitas kapiler. Antihistamin ini berefek terhadap urticaria dan beberapa tipe edema sebagai respon terhadap kelukaan, antigen, alergen dan senyawa histamin yang dibebaskan oleh beberapa spesies.
Setiap antihistamin dapat menghasilkan efek samping. Salah satu yang penting secara klinik pada penghambatan H1 yaitu sedasi atau rangsangan CNS, gangguan gastrointestinal, aksi parasimpatolitik, efek teratogenik dan anastetik. Pada dosis terapeutik dapat berefek sedativa, dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritabilitas, konvulsi, hiperpireksia, dan bisa menyebabkan kematian
Diphenhydramin umum digunakan pada pengobatan rhinitis karena alergi, gigitan serangga dan karena nyeri. Efek samping yang paling umum diketemukan seperti rasa ngantuk, ataksia, mulut kering, tachycardia, photophobia, dilatasi pupil, retensi urinaria, konstipasi dan gangguan pengelihatan (Adam,1995). Sehingga penggunaan diphenhdramin kontraindikasi terhadap penderita retensi urin, glaukoma, dan hiperthyroidism (Tennant, 2002).
Diphenhidramine HCL lebih poten daripada antazoline, onset kerja cepat, dan durasi aksinya lebih lama. Dosis pada hewan kecil adalah 1 mg/kg dan hewan besar 0,25-0,5 mg/kg (Brander et al, 1991). Penggunaan secara IM jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan. Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel. Senyawa ini mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Cara kerja berdasarkan pertimbangan kuantitas. Pada umumnya antihistamin lebih efektif terhadap histamin eksogen daripada histamin endogen. Senyawa ini lebih efektif dalam mencegah kerja histamin
Pengaruh pemberian antihistamin terhadap histamin dari reaksi adanya benda asing yaitu badan sel neuron-neuron histaminergik terdapat di nukleus tuberomamilaris hipotalamus posterior, sedangkan akson-aksonnya berpendar ke seluruh bagian otak, termasuk korteks serebri dan medula spinalis.histamin ditemukan dalam sel-sel mukosa lambung dan sel-sel yang mengandung heparin yang disebut sel mast. Terdapat tiga reseptor histamin yaitu H1, H2, dan H3. Reseptor H3 merupakan reseptor presinaptik yang memperantai inhibin pelepasan histamin dan transmiter lain melalui protein G, sedangkan reseptor H2 meningkatkan kadar cAMP intrasel dan reseptor H1 meningakatkan fosfolipase C (Ganong, 2002). Adanya infeksi bakteria maupun jamur akan meningkatkan jumlah histamin, sehingga jumlah histamin menjadi berlebihan.jumlah histamin yang berlebihan akan memacu reaksi alergi yang berlebihan sehingga tidak menguntungkan. Pemberian antihistamin sesuai dosisnya akan menekan produksi histamin dengan cara antagonis kompetitif. Sehingga pemberian antihistamin yang sesuai tidak akan membuat masalah terhadap proses penyembuhan dan dapat membantu menekan stress yang dialamia pasien.
F. IVOMEC®
Ivomex adalah suatu obat anti ektoparasit dan anti endoparasit. Ivomec merupakan larutan ivermektin 1,0 w/v steril yang siap pakai. Ivermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces avermitis. Pemberian secara peroral memiliki half-life 10-12 jam. Ivermectin langsung diadsorbsi (95%) setelah pemberian secara oral dan didistribusi dengan bagus ke jaringan kecuali Sistem Syaraf Pusat. Ivermectin sebagian besar dieliminasi lewat feses dan sebagian kecil dieliminasi melalui hati dengan cara oksidasi.
Mekanisme kerja ivermectin adalah merangsang pelepasan inhibitor neurotransmitter GABA dan memproteksi perlekatan GABA pada spesifik neural junction invertebrata, sehingga terjadi paralisa ringan inkoordinasi irreversibel dan parasit mati (Plumb, D.C., and Pharm, 1999). Ivermectin mempunyai sifat vermisidal dan acarisidal karena kesanggupannya berikatan dengan asam gamma aminobutirat (GABA) dan mengganggu saluran khlor (chlor pathway) hingga terjadi hiperpolarisasi membran sel dan selanjutnya menghambat hantaran syaraf, yang berakibat kelumpuhan syaraf pada otot perifer. GABA sendiri pada mamalia hanya menghambat hantaran syaraf pada susunan syaraf pusat, sedangkan pada nematoda dan artropoda pada mengatur hantaran syaraf sampai otot perifer (Subronto dan Ida Tjahajati 2001). Dosis ivermectin 0.2-0.4 mg/kg s.c. sediaan dalam konsentrasi 1%. Dosis yang dianjurkan pada anjing secara peroral adalah 300 mcg/kg berat badan dengan konsentrasi obat 1% (Rossof, 1994).
G. OBH Indoplus
Indikasi pemberian OBH Indoplus adalah untuk meringankan gejala-gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat dan bersin-bersin yang disertai batuk. Cara kerja obat ini sebagai analgesic-antipiretik, antihistamin, ekspektoran dan dekongestan hidung.
Komposisi :
Tiap sendok takar (5 ml) mengandung :
Parasetamol 200 mg
Pseudoefedrin HCl 15 mg
Klorfeniramin maleat 0,5 mg
Amonium klorida 25 mg
Succus liquiritae 75 mg
Efek samping obat ini dapat menyebabkan kantuk, gangguan pencernaan, insomnia, gelisah, eksitasi, tremor, takikardia, aritmia, mulut kering, palpasi, retensi urin. Penggunaan dalam dosis besar dan jangka panjang menyebabkan kerusakan hati.
Kontraindikasi pada penderita gangguan jantung dan diabetes mellitus, penderita gangguan fungsi hati yang berat, dan penderita hipersensitifitas terhadap komponen obat. Interaksi obat ini digunakan bersama antidepresan tipe penghambat MAO dapat mengakibatkan
RIWAYAT KASUS
No. 753 Tanggal : 15 November 2010 Macam Hewan : Anjing
Nama & Alamat pemilik : Ummi
Demangan Kidul (085868246807) Nama Hewan : Poni
Mahasiswa : Julvina Kusumastuti, S.K.H. Signalemen : Domestik, ♀, 6 bulan 3 minggu, coklat putih
ANAMNESA :
Pilek sejak tgl 9 Nov, batuk kering, belum pernah vaksin, sudah obat cacing (Drontal) 1 bln yang lalu, tidak mau makan, tidak muntah.
STATUS PRAESENS :
1. Keadaan umum :
EM : Lesu
KT : Kurus
2. Frek. Napas : 48 x/mnt; Frek. Pulpus : 80 x/mnt; Tº badan : 40 ºC
3. Kulit & Rambut :
a. Rambut : tidak rontok, kusam
b. Turgor kulit : baik
4. Selaput lendir :
a. Konjunctiva : pink (normal)
b. CRT : < 2 detik
5. Kelenjar-kelenjar Limfe : tidak ada pembekakan
6. Pernapasan :
a. Tipe napas : thoraco-abdominal
b. Auskultasi : vesikuler
c. Leleran/ Batuk : palpasi laryng ada batuk, leleran di hidung.
7. Peredaran darah :
Systole-diastole : terdengar dan dapat dibedakan
8. Pencernaan :
a. Mulut : bersih
b. Palpasi abdomen : tidak ada rasa sakit
c. Anus : bersih
9. Kelamin dan perkencingan :
a. Kelamin : bersih
b. Palpasi ginjal : tidak ada rasa sakit
10. Syaraf :
a. Refleks pupil dan palpebra : baik
b. Refleks pedal : baik
11. Anggota gerak : tidak dapat berjalan normal dan berdiri dengan 4 kaki karena
fraktur femur sinister
12. Lain-lain : ; BB : 4,6 Kg
• Ditemukan Otodectes cynotis di telinga
13. Pemeriksaan Laboratorium,dsb
a. Feses : Coklat
- Konsistensi : normal
- Natif : ( - ) negatif
- Sentrifuse : ( - ) negatif
- .
b. Darah :
- Sifat : pekat
- Kadar Hb : 12,4 g/dl
- Pr. Apus : Neutrofil seg. 2.367.400 (sel/mm3); limfosit 186.200 (sel/mm3); monosit 106.400 (sel/mm3).
DIAGNOSA : Laryngitis dan infestasi Ear Mites
PROGNOSA : fausta
TATA LAKSANA :
Inj. Amoxicilin 0,5 ml
S.2dd
Inj/ Vit. B.plek 0,5 ml
s.1.d.d.
Inj/Duradryl 0,5 ml
S.1dd
Inj/Ivomec 0,2 ml.
s.haust
R/OBH syr. btl I
s.3.d.d. cth 1
HASIL
Tabel 1. Data pengobatan, pemeriksaan fisik dan keadaan pasien dan perkembangan penyakit tanggal 15 – 23 November 2010
Keterangan 15/11 16/11 17/11 18/11 19/11 20/11 21/11 22/11
Amoxicilin
(0,5 cc) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd)
B.plex
(0,5 cc) diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd)
Duradryl
(0,5 cc) Diberikan (s1dd) - - - - Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) -
B-plex
(0,5 cc) diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd)
OBH
(cth.1) - - - - Diberikan (s3dd) Diberikan (s3dd) Diberikan (s3dd) Diberikan (s3dd)
Temperatur Meningkat Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Nafas Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Pulsus Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
CRT <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
Nafsu makan sedikit sedikit Ada ada ada ada sedikit ada
Nafsu minum ada ada Ada ada ada ada Ada ada
Defekasi normal normal normal normal normal normal normal normal
Berat badan (kg) 5,4 - - - - - 6.0 -
Natif (-) - - - - - - (-)
Pemeriksaan darah dilakukan - - - - - - dilakukan
Tabel 2. Data hasil pemeriksaan darah awal (15/11/2010) dan akhir (22/11/2010)
Pemeriksaan darah Unit Standar*
(Schalm) Hasil
(15/11/10) Ket. Hasil
(22/11/10) Ket.
Eritrosit 106/µ 5,5-8,5 5,32 Menurun
( Anemia ) 5,23 Menurun
( Anemia )
Hb g/dL 12-18 12,4 Normal 12 Normal
PCV % 37-55 34 Menurun
(Anemia ) 33 Menurun
( Anemia )
MCV fl 60-77 63,9 Normal
(Normositik) 63,1 Normal
(Normositik)
MCH pg 13-17 23,3 Naik 22,9 Naik
MCHC % 32-36 36,5 Naik
(Hiperkromik) 36,4 Naik
(Hiperkromik)
TPP g/dL 6-7,5 7,5 Normal 6,3 Normal
Fibrinogen mg/dL 150-300 500 Naik
(Hiperfibrinogenemia) 300 Normal
Leukosit Sel/mm3 6.000-17.000 26.600 Naik
(leukositosis) 18.150 Naik
(leukositosis)
Neutrofil segm (R) % 89 82
(A) Sel/mm3 3.000-11.500 2.367.400 Naik
(Neutrofilia) 1.488.300 Naik
(Neutrofilia)
Limfosit (R) % 7 16
(A) Sel/mm3 1.000-4.800 186.200 Naik
(Limfositosis) 290.400 Naik
Limfositosis)
Monosit (R) % 4 1
(A) Sel/mm3 150-1.350 106.400 Naik
(Monositosis) 18.150 Naik
(Monositosis)
*Standar normal dari Schalm’s Veterinary Hematology (Feldman et al., 2000)
PEMBAHASAN
Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Anamnesa dan pemeriksaaan fisik anjing “Poni” dengan nomor pendaftaran 753 dilakukan pada tanggal 15 November 2010 mengalami pilek dan batuk sejak tanggal 9 November 2010, belum pernah vaksin dan satu bulan lalu sudah minum obat cacing (Drontal), batuk kering, mulai kemarin sore tidak mau makan dan tidak muntah.
Hasil pemeriksaan fisik antara lain ekspresi muka yang lesu dan keadaan tubuh kurus, pulsus (80x/menit), frekuensi napas (48x/menit) dan suhu tubuh (40ºC) normal. Menurut Moore (2004), anjing memiliki pulsus normal 60-180x/menit, suhu tubuh normal 38,3-38,7ºC, dan frekuensi nafas 10-30x/menit. Turgor kulit masih baik, rambut tidak rontok. Konjunctiva berwarna pink pucat, anemia ditandai dengan membran mukosa menjadi berwarna pucat (Weiss, 2010) dan Cappilary Refill Time (CRT) < 2 detik. Ditemukan adanya kebengkakan pada kelenjar limfe yaitu lgl. Mandibularis, pada kasus ini dikarenakan adanya infeksi lokal yang terjadi pada laryng. Adanya infeksi menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas sel-sel fagositik sehingga terjadi pembengkakan pada lgl. Selain itu, lgl juga merupakan filter terhadap bakteri atau benda asing pada aliran limfe (Johnson et al., 1961).
Pernapasan tipe thoraco-abdominal dan auskultasi paru-paru yaitu vesikuler. Pada pemeriksaan percernaan, mulut bersih dan tidak berbau, anus bersih, konsistensi feses baik (lembek), palpasi abdomen tidak ada rasa sakit. Kelamin dan perkencingan bersih dan palpasi ginjal tidak ada rasa sakit. Demikian juga dengan pemeriksaan syaraf, reflex pupil dan pedal baik. Anggota gerak tidak dapat berdiri dan berjalan normal dengan empat kaki karena terjadi fraktur femur sinister.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan terhadap feses dan pemeriksaan darah.
a. Pemeriksaan feses
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses secara natif dan sentrifus tidak ditemukan adanya telur. Hal ini dikarenakan anjing Poni telah diberikan obat cacing berupa drontal sebulan yang lalu.
Drontal dog adalah obat cacing kombinasi pyrantel pamoat, praziquantel dan febantel. Drontal plus mengandung praziquantel 50 mg, pyrantel 144 mg dan febantel 150 mg. Dosis yang dianjurkan tiap 1 tablet untuk anjing 10 kg. Kerja Drontal yang cepat melalui dua cara. Pertama pada kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot pada cacing karena hilangnya ion Ca intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang sifatnya reversible, yang mungkin menyebabkan terlepasnya cacing dari tempatnya yang normal pada hospes. Yang kedua, pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan hospes dipacu dan terjadi kematian cacing.
b. Pemeriksaan ektoparasit
Berdasarkan hasil pemeriksaan ektoparasit ditemukan tungau Otodectes cynotis yang berada dalam lubang telinga. Tungau tampak berwarna putih dan terlihat bergerak pada telinga, selain itu terdapat bentukan kering di telinga berwarna hitam umumnya menyerupai bubuk kopi yang merupakan karakteristik infeksi ear mites di telinga. Bentukan ini terdiri dari kotoran telinga, darah, inflamasi biokimia, dan tungau telinga sendiri.
Mekanisme iritasi disebabkan oleh adanya tungau dalam telinga yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktifitas ceruminal glands dan oleh karenanya, menjadikan lingkungan yang menguntungkan bagi infeksi sekunder bakteri maupun jamur. Infestasi tersebut dinamakan ‘otodectic mange’ dan secara umum hewan yang terinfestasi menunjukkan gejala tidak nyaman, gatal yang sangat dan bahkan gangguan pendengaran, tergantung dari tingkat keparahannya.
c. Pemeriksaan darah
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah tanggal 15 November 2010, yaitu sebelum pasien mendapat pengobatan, diperoleh hasil interpretasi anjing “Poni” mengalami anemia normositik-hiperkromik, limfositosis, monositosis, neutrofilia dan hiperfibrinogenemia. Gejala klinik hewan anemia yaitu lemah, stamina menurun, membran mukosa pucat, ikterus dan hemoglobinuria (urin berwarna merah) (Weiss and Wardrop, 2010).
(Weiss and Wardrop, 2010)
• Anemia normositik hiperkromik
Anemia dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan produksi atau oleh kehilangan atau destruksi eritrosit yang meningkat. Hal ini dapat terjadi pada pendarahan akut atau kronis, dapat ditimbulkan oleh toksin yang menyebabkan hemolisis dan destruksi eritrosit, penurunan pembentukan darah oleh destruksi atau hilangnya fungsi jaringan pembentuk darah, kegagalan pembentukan eritrosit oleh defisiensi nutrisi misalnya Fe dan vitamin B12 (Haper et al., 1979).
Anemia mikrositik terjadi kelainan pada pembentukan hemoglobin, maka pada normositik anemia, kelainan disebabkan karena sel eritrosit yang merupakan “kendaraan” hemoglobin, kurang atau tidak cukup jumlahnya. Penyebabnya bisa pada proses pembuatan sel eritrosit (erythropoisis) terganggu, kehilangan sel darah merah dalam jumlah besar atau pemecahan sel yang tinggi. Pada kasus anjing Poni, salah satu factor yang menjadi penyebabnya adalah karena rusakny sum-sum tulang femur akibat fraktur femur.
Hiperkromik terjadi karena kadar hemoglobin yang dikandung dalam eritrosit meningkat, ini dapat ditentukan berdasarkan nilai MCHC di atas nilai normalnya, terjadi pada keadaan lipemia dan hemolisis (Sodikoff, 1995). Hiperkromik merupakan suatu keadaan yang harus dihindari, karena peningkatan yang signifikan dari konsentrasi MCHC. Proses hemolisis juga berpengaruh pada peningkatan kadar Hb yang terinterpretasikan sebagai hiperkromik. Hemolisis dapat terjadi akibat fragmentasi eritrosit yang menyebabkan peningkatan hemolisis intravaskuler secara signifikan, misalnya karena membran eritrosit yang rapuh pada eritrosit yang bentuknya tidak teratur (Cotran et al., 1984).
• Leukositosis
Gambaran leukositosis terjadi akibat peningkatan jumlah leukosit. Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi umum, infeksi lokal, trauma, neoplasma, intoksikasi hasil metabolisme, bahan kimiawi dan obat-obatan. Peningkatan jumlah leukosit ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dari masing-masing sel darah putih, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan darah terjadi peningkatan neutrofil. Dalam hal ini neutrofilia dapat terjadi akibat respon inflamasi terhadap infeksi bakteri secara primer atau sekunder atau respon terhadap benda asing lainnya (Hariono, 1993).
Menurut Willard et al (1994) neutrofilia dan leukositosis dapat terjadi karena empat faktor utama, 1) terjadi keradangan, 2) stress/steroid, 3) latihan/epinephrine, dan 4) leukemia.
• Neutrofilia
Neutrofilia menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan sel darah putih tersebut untuk melawan agen infeksi di jaringan, sehingga sum-sum tulang aktif memproduksi sel-sel darah putih tersebut, sehingga jumlah neutrofil di darah juga ikut meningkat. Menurut McGavin dan Zachary (2007) adanya neutrofilia menunjukkan respon akut dari infeksi bakteri dalam melindungi jaringan.
Infeksi bakteri akan memicu pergerakan neutrofil ke jaringan yang rusak. Akibatnya, sumsum tulang akan melepaskan neutrofil ke dalam pembuluh darah lebih banyak karena permintaan neutrofil di jaringan meningkat untuk memfagosit agen infeksi (Feldman et al., 2000). Neutrofil dapat memfagosit benda asing dengan diameter mencapai 0,5µm. Kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri tergantung pada isi granulanya yang menyimpan enzim degradasi, enzim peroxidatif, adhesion moleculer, protein/peptid antimikroba (McGavin dan Zachary, 2007). Adanya reseptor pada dinding bakteri misalnya lipopolisakarida (LPS) dari gram (-) akan berikatan dengan lipid-binding protein (LPB) di darah. LPB ini akan mentransfer molekul LPS ke protein yang berlokasi dipermukan makrofag. Ikatan LPS dan makrofag memicu produksi sitokin (Tizard., 2004). Sitokin seperti interleukin (IL-1, IL-6) dan tumor necrosif factor (TNF-α).
• Monositosis
Monositosis merupakan peningkatan monosit diatas standar normal dalam darah. Monosit berasal dari sum-sum tulang masuk ke dalam sirkulasi darah kemudian berubah menjadi makrofag di dalam jaringan. Fungsi makrofag adalah fagositosis dan digesti makromolekuler, partikulat, dan sel debris; mensintesa komponen tertentu yaitu transferin, endogen pirogens, lysosome dan interferon; imunitas seluler. Kejadian monositosis dikarenakan adanya pendaharan internal, terjadi selama ada gangguan yang menciri dengan meningkatnya kebutuhan jaringan untuk proses fagositosis makromolekul atau pada kondisi yang berhubungan dengan imunitas seluler. Respon ini bisa berjalan akut ataupun kronis.
• Hiperfibrinogenemia
Hiperfibrinogenemia adalah peningkatan kadar fibrinogen di dalam darah yang terjadi pada kasus keradangan dan dehidrasi (bersifat relatif). Fibrinogen merupakan plasma protein yang larut air yang diproduksi di mikrosom sel parenkim hati dan disimpan dalam sel tersebut sampai dibutuhkan. Fibrinogen berperan dalam proses koagulasi, mempunyai fungsi pertahanan terhadap luka dengan bermigrasi ke ruang ekstravaskular untuk melokalisasi proses penyakit yang invasif dan membantu peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit (Benjamin, 1979). Pada kasus ini terjadi hiperfibrinogenemia dikarenakan adanya laryngitis dan infestasi tungau Otodectes cynotis.
Pengobatan
Pengobatan terhadap anjing “Poni” yang terdiagnosa laryngitis dan infestasi Ear mites yaitu injeksi amoxicilin, injeksi duradryl, injeksi B.plex, namun pada hari ke-5 dengan pertimbangan batuk belum reda maka ditambah sirup OBH untuk menangani batuk kering.
Pengobatan berupa antibiotik amoxicilin 0,5 cc secara i.m sebanyak 2 kali sehari selama 8 hari diberikan untuk dugaan infeksi bakteri baik secara primer maupun sekunder pada kasus laringitis. Amoxicilin bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara mencegah penggabungan asam N-asetilmuramat yang dibentuk di dalam sel kedalam struktur mukopeptide yang biasanya memberi bentuk kaku pada dinding sel bakteri. Mekanisme kerja ini konsisten dengan kenyataan bahwa antibiotik ini hanya bekerja pada bakteri yang sedang tumbuh dengan aktif (Pelczar dan Chan, 1988). Katzung (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa dinding sel bakteri tersusun oleh peptidoglikan yang terdiri dari polisakarida dan polipeptida. Aktifitas antibakteri terletak pada cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Antibiotika beta-laktam merupakan analog struktural dari substrat D-ala-D-ala alami yang merupakan gula asam amino yang terdapat pada polisakarida dinding sel bakteri kemudian secara kovalen diikat oleh PBP (Penicilin Binding Protein) sehingga reaksi transpeptidase dihambat sehingga menjadi inaktif, sistesis peptidoglikan berhenti dan dengan demikian tidak memungkinkan terhubungnya kedua lapis linear serabut peptidoglikan yang terdapat dikedua lapis dinding sel sebelah dalam, dan sel bakteri akan mati (Katzung, 2004). Antibiotik ini tidak mempengaruhi sel-sel jaringan mamalia, karena mamalia tidak memiliki dinding massif seperti pada bakteri (Subronto dan Tjahjati, 2008). Namun Amoxicilin tidak tahan terhadap enzim beta-laktamase (penicinilase) yang dihasilkan oleh beberapa bakteri karena enzim tersebut dapat memecah cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Pemberian amoxicilin selama 8 hari berturut-turut bertujuan agar kerja antibiotik untuk mematikan bakteri dapat optimal.
Pengobatan berupa durradryl (diphenhydramin HCl) sebanyak 0,5 cc secara i.m sebanyak 3 kali selama pengobatan, diberikan sebagai antihistamin yang mengandung sedatif, antimuskarinik, dengan cara memblok efek dari histamin di reseptor H1. Diphenhidramin ini bersifat antagonis kompetitif untuk reseptor histamin. Terjadinya ikatan sel dengan antihistamin ini dapat mencegah efek histamin seperti hipersensitifitas akibat gigitan tungau yang menimbulkan sensasi gatal dan juga mencegah pembebasan histamin sebagai mediator inflamasi. Selain itu, dipenhidramin juga merupakan agen antikolinergik yang poten sehingga menyebabkan penurunan kontraksi muskulus (smoot muscle) (Adam,1995). Obat ini juga dapat digunakan sebagai sedativa, mengurangi efek gangguan saluran pernafasan bagian atas, antitussive, dan antiemetika. Adanya sedatif pada kandungan duradryl menyebabkan hewan menjadi lebih tenang.
Pemberian 0,5 cc vitamin B kompleks secara i.m. sebanyak 1 kali sehari selama 8 hari. Pemberian ini bertujuan untuk membantu metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Vitamin B komplek merupakan komplek vitamin B yang berguna untuk proses metabolisme di dalam tubuh. Komposisinya meliputi Thiamin HCl, Riboflavin, Pyridoksin HCl, kalsium pentatonat dan Nicothinamide.
Pengobatan berupa Ivomec 0,2 cc secara s.c dilakukan untuk mengatasi ektoparasit pada pasien yaitu infestasi Otodectes cynotis. Ivermectin ini memiliki sifat vermisidal dan acarisidal karena kemampuannya berikat dengan asam gamma aminobutirat (GABA) dan mengganggu saluran klor, hingga terjadi hiperpolarisasi membran sel dan selanjutnya menghambat hantaran saraf, yang berakibat kelumpuhan syaraf dan otot perifer parasit. GABA pada nematoda dan arthopoda mengatur hantaran saraf sampai otot perifer, sedangkan pada mamalia hanya menghambat hantaran saraf pada susunan saraf pusat, namun avermectin kurang mampu menembus barrier darah-otak, sehingga memiliki batas keamanan yang luas (Subronto, dan Tjahajati, 2008).
Pengobatan berupa obat batuk OBH digunakan untuk meredakan batuk kering diberikan sebanyak 1 sendok teh sehari tiga kali selama 4 hari. Indikasi pemberian OBH Indoplus adalah untuk meringankan gejala-gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat dan bersin-bersin yang disertai batuk. Cara kerja obat ini sebagai analgesic-antipiretik, antihistamin, ekspektoran dan dekongestan hidung. Komposisi (Tiap sendok takar (5 ml) mengandung) : Parasetamol 200 mg, Pseudoefedrin HCl 15 mg, Klorfeniramin maleat 0,5 mg, Amonium klorida 25 mg dan Succus liquiritae 75 mg.
Perkembangan Keadaan Pasien
Pasien mendapatkan perawatan dan pengobatan di stasioner bedah Kuningan FKH UGM. Selama perawatan 4 hari pertama hewan menunjukkan gejala ke arah perbaikan, nafsu makan dan minum mulai membaik dan suara batuk-batuk mulai mereda. Suhu tubuh kembali normal, namun frekuensi nafas masih tinggi.
Pada hari pertama anjing Poni diberikan injeksi amoksisillin 0,5 cc IM, injeksi vit.B.plek 0,5 cc IM, injeksi Durradryl 0,5 cc IM, dan injeksi Ivomec 0,2 cc. Suhu tubuh dan frekuensi nafas meningkat, dan pulsus masih normal. Hari ke-2 pasien menunjukkan kondisi membaik yang ditandai dengan suhu tubuh mulai normal kembali, nafsu makan dan minum mulai membaik, frekuensi batuk masih ada namun lebih sedikit dibanding hari pertama. Pengobatan yang dilakukan berupa injeksi amoksillin dan B.plex. Hari ke-3 pasien menunjukkan kondisi lebih baik dengan frekuensi batuk mulai menurun, suhu tubuh dan pulsus normal, namun frekuensi nafas masih tinggi. pakan pagi dan sore habis namum sudah 2 hari belum bisa mengeluarkan fesesnya. Hari ke-4 pasien sudah bisa mengeluarkan feses normal namun masih batuk dan frekuensi nafas masih tinggi dan kotoran ditelinga mulai bersih. Hari ke-5 pasien masih batuk-batuk sehingga terapi ditambah pemberian obat batuk OBH untuk batuk kering dan diberikan injeksi durradryl selama 2 hari. Hari ke-6 pasien menunjukkan nafsu makan yang tinggi ditunjukkan dengan pakan langsung habis, suhu tubuh dan pulsus normal namun frekuensi nafas masih tinggi. Frekuensi batuk sudah jarang. Hari ke-7 pasien menunjukkan kondisi mulai membaik dan frekuensi batuk lebih jarang. Berat badan mengalami kenaikan 0,6 kg menjadi 5 kg. Pada hari ke-8 sudah tidak terdengar suara batuk lagi, palpasi laryng tidak ada batuk dan limfoglandula mandibula sudah tidak mengalami kebengkakan. Kondisi tubuh baik. Hal ini menunjukkan bahwa pasien telah mengalami proses penyembuhan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, anjing “Poni” didiagnosa menderita Laryngitis dan infestasi ear mites, yang kemudian setelah diberi pengobatan berupa injeksi amoxicillin, duradryl, vit. B.pleks, dan obat batuk OBH sirup, hewan mengalami penyembuhan.
Saran
Salah satu cara yang efektif untuk penanggulangan atau pencegahan penyakit adalah dengan meningkatkan kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Hewan kesayangan harus terawat dengan cara memandikan secara teratur, pemberian makanan yang sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk hewan kesayangan. Meski secara alamiah hewan dapat sembuh sendiri namun pengobatan pada hewan sakit harus segera dilakukan, misalnya pemberian obat cacing yang teratur serta menjaga higienitas dan sanitasi yang baik. Selain itu untuk menghindari penyebaran penyakit, hewan yang sakit dipisahkan dari kelompoknya dan dimasukkan ke kandang kontrol, serta manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, H.R. 1995. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Lowa state University Press. Ames
Bowman, D.D., Hendrix, C.M., Lindsay, D.S.,and Barr, S.C. 2002. Iowa state University Press. Ames.
Cotran, R. S., and Kumar V., Robbins, S.L, 1984. Robbins Pathologic Basis of Disease. 3rd edt. W.B. Saunders Company. Philadelphia.
Feldman F.B, J.G Zinkl, and N. Jain, 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. 5th edition, Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia.
Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta
Ganong, W.F., 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, terj. Review of Medical Physiology, 20th eds., ahli bahasa: Widajajakusumah, H.M.D., EGC, Jakarta.
Katzung, B.G. 1998. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi keenam. Penerbit buku kedokteran ECG. Jakarta.
Johnson, W.H., Laubengayer, R.A.,dan DeLanney, L.E., 1961.Biology, revised edition. Holt, Rinehart and Winston, USA.
McGavin, M.D., dan Zachary, J.F., 2007. Pathologic Basic Veterinary Disease. Mosby, Elsevier.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerbit IPB. Bandung.
R. Farkas, T. Germann, Z. Szeidemann. 2007. Assessment of the Ear Mite (Otodectes cynotis) Infestation and the Efficacy of an Imidacloprid plus Moxidectin Combination in the Treatment of Otoacariosis in a Hungarian Cat Shelter. Parasitol Res (2007) 101:S35–S44 DOI 10.1007/s00436-007-0609-5
Rossoff I. S.1994, Handbook of Veterinary Drugs and Chemicals, Second Edition, Pharmathox Publishing Company. Illinois.
Subronto dan Tjahajati, I., 2008. Ilmu Penyakit Ternak III: Farmakologi Veteriner, Farmakodinamika dan Farmakokinesis, Farmakologi Klinis. Gadjahmada University Press. Yogyakarta.
Sodikoff, H. C. 1995. Laboratory Profiles of Small Animal Diseases A Quide to Laboratory Diagnosis. Second Edition. Mosby Year Book Inc, USA.
Souza, C.P., Ramadinha, R.R., Scott, F.B., and Pereira, M.J.S., 2008, Factors associated with the prevalence of Otodectes cynotis in an ambulatory population of dogs. Pesq. Vet. Bras. 28(8):375-378
Tennant, B. 2002. BSAVA Small Animal Formulary, 4th ed. British Small Animal Veterinary Association. Gloucester
Tizard, I.R., 2004. Veterinary Imunology An Introduction, 7theds. Elsevier, Saunders.
Senin, 06 Desember 2010
Minggu, 17 Oktober 2010
Terkabulnya doa kita..^^
Usai sholat shubuh...HP ku berdering..tanda sms masuk..
dari siapakah gerangan pagi2 gini udah sms..
ketika ku lihat, ternyata dr seorang akhwat yg sangat menginspirasiku untuk selalu berbuat baik...
kira2 seperti ini sms nya..
Rasulullah bersabda :
"Barang siapa yang senang Allah mengabulkan doanya di waktu sulit dan susah, Maka hendaknya ia memperbanyak doa disaat lapang"
hmmm..terimakasih mb..telah mengingatkanku..^^
dari siapakah gerangan pagi2 gini udah sms..
ketika ku lihat, ternyata dr seorang akhwat yg sangat menginspirasiku untuk selalu berbuat baik...
kira2 seperti ini sms nya..
Rasulullah bersabda :
"Barang siapa yang senang Allah mengabulkan doanya di waktu sulit dan susah, Maka hendaknya ia memperbanyak doa disaat lapang"
hmmm..terimakasih mb..telah mengingatkanku..^^
BERAT BADAN IDEAL UNTUK ANJING DAN KUCING

Penasaran dengan pertanyaan yg ditanyakan klien saat membawa hewan kesayangannya ke klinik ataupun RSH...
mereka sering menanyakan..."Dok, kucing/anjing saya berumur "sekian"....dan berat badannya "sekian"...
kira2 itu kurus/gemuk ya Dok ???"
akhirnya ketemu juga referensinya...
ternyata berat badan anjing dan kucing tidak ada patokan khusus..misal umur sekian, berat idealny sekian...
karena berat badan mereka tergantung pada Ras-nya dan BCS nya..
http://www.cathelp-online.com/health/bscore.php
Feline and Canine Body Condition Score Chart :: (Using the 5-point system)
Each point on the 5-point scale represents an increase or decrease depending on direction of 20 to 30 percent in body fat above or below ideal (i.e. 1=very thin and 5=obese). The BCS chart is a helpful tool for pet owners to increase awareness that their pet may be seriously underweight or overweight. Many serious health conditions can develop as a result of unmanaged weight; we strongly advise a veterinary exam and discussing with your vet an appropriate weight management program tailored to your pet's needs. Weight management in cats must be done carefully, if weight reduction is too rapid, conditions such as hepatic lipidosis or diabetes may occur, in which agressive medical treatment is necessary.
The following BCS chart is only intended to be a guide. If you suspect your pet does not fall into the "ideal" range, make an appointment with your vet for an exam, evaluation and assessment for a potential weight management protocol.
Senin, 20 September 2010
Japanese B Encephalitis
Japanese B Encephalitis
Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit viral yang penularannya melalui vektor dan menyebabkan penyakit ensefalitis pada manusia terutama anak-anak di Asia, dan juga dapat menyerang ternak. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang bersifat zoonosis, sehingga mempunyai dampak yang cukup serius terhadap kesehatan masyarakat.
SINONIM
• BRAIN FEVER
• SUMMER ENCEPHALITIS
• RUSSIAN AUTUMN ENCEPHALITIS
ETIOLOGI
Japanese Encephalitis populer disebut ”Brain Fever”.(Rao, 2000.hal:2). Penyebab JE adalah virus RNA dari famili Flaviviridae, Genus Flavivirus. Virus JE mempunyai kedekatan antigenik dengan virus West Nile, Murray Valley dan St. Louis ensefalitis. Masing-masing menyebabkan penyakit pada manusia, tapi hanya JBE yang menyebabkan penyakit yang signifikan pada hewan piaraan. Virus dapat tumbuh dalam telur ayam berembrio melalui inokulasi ke dalam kantong kuning telur. Disamping itu berbagai biakan sel seperti sel fibroblast embrio ayam, sel ginjal kera, babi, dan hamster dapat pula digunakan untuk isolasi virus.(Soeharsono,2002).
Flavivirus terdiri dari sekitar 70 virus berdiameter 45-60 nm yang mempunyai genom RNA positif untai tunggal, berukuran 10,7 kb. Amplop virus mengandung dua glikoprotein. Memiliki tiga atau empat polipeptida struktural, dua terglikosilasi. Flavivirus memasuki sel dengan cara endositosis, bereplikasi dalam sitoplasma secara lambat dan matang melalui perantaraan membran intrasitoplasma (terutama retikulum endoplasma). Replikasi menyebabkan proliferasi yang khas pada membran intraseluler. Secara parsial, virus ini menutup sintesis protein dan RNA dari sel hospes mamalia tapi tidak pada nyamuk. Pada hospes vertebrata yang sesuai, perkembangbiakan primer virus terjadi baik di sel-sel myeliod maupun limfoid atau di endotel pembuluh darah. Perkembangbiakan di dalam susunan saraf pusat tergantung kemampuan virus untuk menembus barier darah otak dan untuk menginfeksi sel saraf.
Penderita penyakit JE pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1871, namun isolasi penyebab penyakit ini baru berhasil pada tahun 1933 dengan nama Japanese "B" encephalitis. Virus JE telah ditemukan hampir di semua negara Asia, termasuk Indonesia.(Sendow, 2005,hal:1)
DISTRIBUSI
Distribusi di Indonesia
Berdasarkan peta yang dikeluarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS tahun 2001, Indonesia memang termasuk daerah endemik Japanese encephalitis bersama negara-negara di wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, Indo-Cina, dan Asia Timur.
Sejak tahun 1960-an Japanese encephalitis sudah dilaporkan keberadaannya di Indonesia. Penyakit itu tersebar di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Namun demikian, densitasnya tidak sama untuk setiap wilayah. Sejumlah daerah di Indonesia mempunyai potensi risiko adanya Japanese encephalitis. Terutama, daerah dengan pola peternakan babi yang sanitasinya kurang baik, lokasi kandang babi terlalu dekat permukiman manusia, babi bebas berkeliaran, atau daerah yang banyak mempunyai genangan air di sela rumput-rumput tinggi yang sesuai untuk tempat perindukan nyamuk Culex sp.
Namun demikian, sampai saat ini belum ada laporan tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) Japanese encephalitis di Indonesia.
Laporan kasus Japanese encephalitis di Asia berkisar 30.000-50.000 per tahun. Epidemi periodik terjadi di Vietnam, Kamboja, Myanmar, India, Nepal, dan Malaysia. Sedang di Cina, Korea, Jepang, Taiwan, dan Thailand tidak pernah lagi terjadi wabah, karena negara-negara tersebut berhasil mengontrol lewat vaksinasi.
Sebagaimana diberitakan pada harian Kompas 2 Agustus 2001, survei Sub Direktorat Zoonosis, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M&PL), Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (Depkes dan Kesos), akhir tahun 2000 di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), mendapatkan lima dari 60 penduduk yang diperiksa menunjukkan seropositif (terdeteksi mengidap virus dalam darah). Namun, tak seorang pun mengalami gejala klinis atau terserang radang otak.
Distribusi di Dunia
Japanese encephalitis merupakan penybab kejadian encephalitis karena virus encephalitis di Asia dengan 30.000–50.000 kasus per tahun. Tingkat kematian berkisar 0,3% - 60% dan tergantung pada populasi serta pada umur. Sempat terjadi wabah di wilayah barat Pasifik Amerika Serikat. Penduduk di rural area dalam kawasan endemik merupakan daerah yang memiliki resiko paling tinggi, meski Japanese encephalitis tidak sering terjadi di daerah urban. Negara-negara yang pernah mengalami wabah pada masa lalu, mengontrol penyakit melalui vaksinasi, seperti China, Korea, Japan, Taiwan. Negara lain yang masih memiliki periodik epidemik antara lain Vietnam, Kamboja, Myanmar, India, Nepal, dan Malaysia. Dua kasus fatal pernahaa dilaporkan terjadi di utara Australia pada tahun 1998. Periode epidemik bervariasi pada tiap negara, misal Mei-September di Cina Utara, Mei-Oktober di Thailand, Juni–Desember di Jepang dan hampir setiap April di Singapura.
KEJADIAN PENYAKIT PADA HEWAN
Masalah JE pada hewan di Indonesia, sampai saat ini belum menimbulkan masalah yang besar. Hal ini disebabkan karena gejala klinis yang ditimbulkan pada ternak tidak menunjukkan ciri-ciri yang khas sehingga tidak dapat terdiagnosa, oleh karena itu penelitian JE pada hewan kurang mendapat perhatian.
Laporan kasus klinis pada hewan belum pernah dilaporkan, namun hasil pemeriksaan serologis menunjukkan adanya JE pada hewan di Indonesia. Dalam hal ini untuk mendeteksi antibodi JE, mula-mula digunakan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Hasil menunjukkan bahwa antibodi terhadap virus JE dapat ditemukan pada babi dari beberapa daerah di Indonesia. Selain pada babi, antibodi terhadap virus JE juga dapat ditemukan pada kuda, dan kelelawar. Perdebatan mengenai interpretasi hasil serologis JE dengan menggunakan uji ini mulai terjadi, karena adanya reaksi silang dengan kelompok Flavivirus lainnya. Selain babi, kelelawar dikuatirkan dapat menjadi induk semang reservoir yang potensial, yang sewaktu-waktu dapat menjadi bom waktu terjadinya wabah JE di Indonesia, seperti halnya wabah Nipah di Malaysia yang penularannya mungkin dapat disebabkan oleh kelelawar.
Untuk mengatasi terjadinya kerancuan dalam menginterpretasikan hasil, maka uji ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik mulai diperkenalkan. Pada tahun 1998, Balai Penelitian Veteriner Bogor, mulai menerapkan uji ELISA tersebut untuk mendeteksi antibodi JE pada beberapa spesies hewan seperti sapi, kerbau, kambing, itik, ayam, kuda, babi dan anjing dari beberapa daerah di Indonesia.(SENDOW et al., 1999). Hasil menunjukkan bahwa reaktor JE dapat ditemukan pada semua spesies hewan yang diperiksa dengan prevalensi bervariasi mulai 11% hingga 51%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada sapi, diikuti pada itik, ayam, kambing, kuda, anjing dan babi.
Gejala klinis ensefalitis dapat terlihat pada kuda dan keledai seperti yang terjadi pada manusia. Walaupun babi merupakan reservoir JE yang paling baik, namun gejala ensefalitis pada babi sangat jarang ditemukan. Pada babi dewasa antibodi dapat terdeteksi, walaupun gejala klinis berupa gangguan saraf umumnya tidak tampak, namun pada anak babi, kadang-kadang gejala klinis tampak, tetapi sangat jarang terjadi. Apabila induk babi yang sedang bunting terinfeksi virus JE, dapat mengakibatkan lahir mati, keguguran, dan mumifikasi. Bayi babi lahir dalam keadaan lemah, kadang-kadang disertai dengan gejala syaraf yang kemudian disertai dengan kematian. Sering juga terlihat adanya kelainan pada bayi babi yang dilahirkan. Kelainan tersebut antara lain berupa hidrosefalus, oedema subkutan dan kekerdilan pada babi yang mengalami mumifikasi. Pada babi jantan yang terinfeksi JE, terlihat adanya pembendungan pada testes, pengerasan pada epididimis, serta menurunnya libido. Virus dapat diekskresikan melalui semen, sehingga mutu semen tersebut akan menurun karena banyak sperma yang tidak aktif bergerak dan terdapat kelainan dari spermatozoa tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kemandulan. Pada ternak lain seperti kambing, domba, sapi, kerbau ataupun unggas, gejala klinis infeksi JE sering tidak tampak, walaupun antibodi terhadap JE dapat terdeteksi.(Sendow, 2005.hal:113).
KEJADIAN PADA MANUSIA
Wabah yang hebat terjadi pada manusia di Jepang tahun 1924, kemudian disusul tahun 1935 dan 1948. Di Korea ditemukan wabah tahun 1949. (Soeharsono,2002,hal:96).
Di Jepang dan negara tetangga sekitarnya kejadian penyakit ini hanya muncul pada musim panas, tetapi pada Guam dan daerah tropis lainnya penyakit ini dapat muncul di sepanjang tahunnya.(Gillespie,1981,hal:701).
Japanesse B encephalitis merupakan penyebab utama ensefalitis karena virus di Asia, sekitar 50.000 kasus terjadi per tahunnya di Cina, Jepang, Korea, dan anak benua India, dengan 10.000 kematian, kebanyakan anak-anak (Jawetz,2001,hal:190), umumnya menyerang anak umur 3-15 tahun, karena umumnya mereka belum mempunyai kekebalan alami. Turis dari negara bebas Japanese Encephalitis dapat mengalami gejala klinik cukup serius apabila terserang Japanese Encephalitis pertama kali.(Seoharsono,2002,hal:99).
Pada manusia kejadian penyakit ini ditularkan melalui arthtopoda sehingga sering disebut arbovirus (arthropod-borne virus) yakni suatu grup agen infeksius yang ditularkan melalui hisapan darah inang vertebrata ke vertebrata lainnya. Replikasi dalam inang vertebrata menghasilkan viremia yang cukup sehingga arthropoda penghisap darah lainnya akan terinfeksi. Vektor terinfeksi seumur hidup karena memakan darah dari vertebrata yang mengalami viremia.(Jawetz,2001;hal 181).
Virus berkembang biak dalam tubuh arthropoda. Dalam wilayah yang sangat endemis, hampir seluruh populasi manusia dapat terinfeksi arbovirus, dan kebanyakan infeksi tidak bergejala. Dalam epidemi berat yang disebabkan oleh virus ensefalitis, perbandingan kasus adalah sekitar 1:1000.(Jawetz,2001,hal 189).
Presentasi tinggi dari yang bertahan hidup, menderita gejala sisa neurologist dan psikiatris. Studi seroprevalensi menunjukkan bahwa hampir keseluruhan paparan oleh virus Japanesse B Encephalitis adalah pada masa dewasa, perkiraan perbandingan infeksi tidak bergejala dengan bergejala adalah 300:1.(Jawetz,2001,hal 190).
Pada Japanesse B Encephalitis, angka kematian pada lanjut usia dapat setinggi 80% (Jawetz,2001, hal:188). Tingkat fatalitas kasusnya 10-40% dan 40-70% dari penderita yang selamat mengalami neurologik sequelae secara permanen (Murphy, , hal:559), seperti keterbelakangan mental, epilepsi, kelumpuhan, ketulian dan kebutaan (White,1986,hal:486). Masa inkubasinya antara 5-14 hari. Biasanya disertai dengan gejala demam, nyeri kepala berat, kekakuan pada leher muntah (Topley,1998,hal:594), mual, kedinginan, nafsu makan turun, dan nyeri di seluruh tubuh. Dalam 24-48 jam, timbul rasa kantuk yang sangat.(Jawetz,2001, hal:188).
Pada pasien dengan keterlibatan pada sistem saraf pusat biasanya diikuti dengan letargi, wajah menjadi kurang berekspresi, gangguan saraf sensorik dan motorik yang berefek pada kecakapan berbicara dan pada mata, kelemahan dan kelumpuhan dapat berefek pada seluruh bagian tubuh.(Topley,1998,hal:594).
Kekacauan mental, tremor, kejang, dan koma timbul pada kasus yang berat. Demam berakhir dalam 4-10 hari. Angka kematian pada ensefalitis bervariasi. Gejala lain berupa perubahan kepribadian dan kelumpuhan. (Jawetz,2001, hal:188).
Pada anak-anak, gejala yang menonjol adalah nyeri abdominal dan diare. Gejala ini diikuti oleh kekakuan otot, fotopobia, penurunan kesadaran, gerakan mata bergetar (tremulous), kaki gemetaran, paresis secara umum atau local dan inkoordinasi gerak.(Soeharsono,2002,hal:99). Gejala lain demam (lebih dari 38°C), kaku kuduk, konvulsi, penurunan system motor dan sensor, manifestasi meningeal meliputi mual, irritability, sakit kepala dan ubun-ubun menonjol. (Indarwati, 2005.hal :113).
Pada otak dan selaput pembungkus otak (meninges) pasien penderita Japanese Encephalitis menunjukkan edema, kongesti, dan fokal hemoragi. Secara mikroskopis tampak degenerasi dan nekrosis dari sel saraf yang disertai neurophagia pada korteks dari otak kecil dan otak besar. Juga terdapat sel Purkinje pada otak kecil disertai dengan adanya perivaskuler cuffing dan infiltrasi sel radang di sekitar jaringan saraf (Topley,1998,hal:594). Pengamatan GAUTAMA (2005) juga menunjukkan bahwa mortalitas JE mencapai 16% sedangkan morbiditasnya mencapai 62%.
SUMBER INFEKSI
Virus JE dapat menginfeksi ternak dan manusia,yang terbukti dengan adanya laporan terdeteksinya antibodi terhadap virus JE pada beberapa spesies ternak seperti kerbau, sapi, kambing, domba, babi, ayam, itik, anjing, kelinci, kuda, tikus, kelelawar (Rousettus leschenaulti), kera dan burung liar seperti Japanesse tree sparrow (Passer montanus saturatus stejneger), burung heron, burumg gereja, burung dara, burung gagak, tikus rumah dan tikus hitam. Babi telah diketahui merupakan reservoir yangpotensial dan merupakan ampl jier virus JE yang efektif. Hal ini terlihat dari laporan WEI (2005) yang menyatakan bahwa kasus JE pada manusia akan meningkat apabila rasio antara populasi manusia dan babi makin kecil. Selain babi, burung liar diduga merupakan reservoir yang potensial untuk meningkatkan perkembangbiakan virus JE yang siap ditularkan kepada hewan atau manusia melalui nyamuk.(Indrawati, 2005.hal:112).
CARA PENULARAN
Penyebaran penyakit JE tidak dapat ditularkan melalui kontak Iangsung, tetapi harus melalui vektor, yaitu melalui gigitan nyamuk yang telah mengandung virus JE. Masa inkubasi pada nyamuk penular antara 9-12 hari dan nyamuk yang terinfeksi virus JE, selarna hidupnya akan menjadi infektif yang dapat menularkan ke hewan dan manusia.(Indrawati, 2005.hal:112).
Vektor utama adalah nyamuk Culex (Culex tritaeniorhynchus, Culex vishnui, Culex pseudovishnui dan lainnya –total 8spesies) hidup di sawah dan daerah peternakan babi. Ini alasan JE menjadi penyakit pedesaan. Nyamuk Culex dapat terbang sampai 5 km. Transmisi veneral JEV melewati Culex bitaeniorhynchus. Virus dapat ditransmisikan juga melalui Anopheles sp. dan Mansonia liar.(Rao, 2000.hal:3).
Umur vektor JE, nyamuk Culex, berkisar antara 14-21 hari. Culex umumnya berkembang biak pada genangan air yang banyak ditumbuhi tanaman seperti sawah dan saluran irigasinya, selokan yang dangkal atau kolam yang sudah tidak terpakai. Pada babi, viremia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti dengan pembentukan antibodi dalam waktu 1 hingga 4 minggu. Virus JE dapat menembus plasenta tergantung pada umur kebuntingan dan galur virus JE. Kematian janin dan mumifikasi dapat terjadi apabila infeksi JE berlangsung pada umur kebuntingan 40-60 hari. Sedangkan infeksi JE sesudah umur kebuntingan 85 hari, kelainan yang ditimbulkan sangat sedikit. Masa inkubasi JE pada manusia berkisar antara 4 hingga 14 hari.(Indrawati, 2005.hal:112).
Babi merupakan reservoir paling penting. Tidak menderita penyakit, namun mengembangkan titer virus tinggi pada sirkulasi darah dan nyamuk terinfeksi. Anak-anak rentan terinfeksi lewat gigitan nyamuk. Penyakit tampak 5-16 hari setelah tergigit. Virus menyerang SSP dan menyebabkan penyakit. Walaupun infeksi pada manusia hanya kebetulan, virus dapat menyebabkan penyakit saraf serius dengan morbidiatas dan mortalitas tinggi. Infeksi selama enam bulan pertama dari kehamilan menyebabkan infeksi pada fetus dan miscarriage. Katak, ular, kelelawar dan kebanyakan hewan domestic seperti sapi juga terinfeksi. JE tidak menyebar dari anak ke anak atau dari ternak ke manusia karena viremia rendah dan bersifat temporer.(Rao, 2000.hal:3).
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa infeksi JE diperlukan perangkat laboratorium. Saat ini diagnosis JE pada ternak berdasarkan penentuan antibodi terhadap JE dengan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dan uji ELISA. Sesuai dengan sifat virus JE, yang memiliki daya aglutinasi butir darah merah, maka uji HI dinilai sebagai uji yang paling banyak digunakan. Selain mudah, murah, uji HI juga dapat diterapkan di laboratorium yang memiliki fasilitas sederhana. Kendala yang ada adalah hasil uji HI tidak dapat mengkonfirmasi adanya infeksi JE, karena pada uji ini reaksi silang dengan virus Dengue dapat terjadi, sehingga uji lanjutan masih diperlukan.
Tidak adanya gejala klinis pada ternak menyebabkan sulitnya penetapan diagnosis. Pengambilan pair sera pada saat akut dan telah sembuh dengan interval waktu antara 2 hingga 3 minggu, pada hewan yang menunjukkan gejala klinis dapat dilakukan untuk menentukan kenaikan titer. Sedangkan hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis penentuan titer antibodi merupakan kunci peneguhan diagnosis. Sesuai sifat JE yang dapat mengaglutinasi sel darah merah angsa, maka uji HI dapat diterapkan untuk mendiagnosis infeksi JE. Titer dengan 16 atau lebih pada uji HI dapat dijadikan patokan bahwa hewan tersebut telah terinfeksi JE.
Sedangkan Wet (2005), mengemukakan bahwa titer antibodi lebih dari 40 digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa hewan terinfeksi JE. lsolasi virus JE perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis baik dari hewan maupun manusia. Mengingat JE termasuk dalam agen mikroba yang penanganannya harus dilakukan pada laboratorium yang memiliki BSL 3, maka isolasi virus JE serta diagnosis JE perlu dilakukan di laboratorium yang aman baik bagi pekerja maupun lingkungan sekitarnya. Untuk menanggulangi kendala tersebut, uji reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR) atau Antigen Capture ELISA dapat diterapkan.
Virus JE menimbulkan cythopatic effect (CPE) pada biakan jaringan lestari LLCMK2, PMK, Vero dan BHK-21. Sensitivitas beberapa biakan jaringan Vero, BHK-21 dan Hep-2 berbeda pada infeksi awal JE. Titer virus JE dapat ditingkatkan dengan menginokulasikannya pada 113 bayi tikus putih secara intracerebral.
Berlainan dengan hewan, pada manusia pengambilan sampel untuk pemeriksaan JE tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena akhir-akhir ini kasus tuduhan malpraktek mulai ramai dibicarakan yang dapat berakhir di meja hijau. Akibatnya pengambilan sampel darah dan cairan cerebro spinal (CCS) tidak dapat dilakukan hanya dengan persetujuan lisan tetapi harus disertai dengan persetujuan tertulis, untuk menghindari tuntutan pasien dan keluarga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam rangka surveilen JE yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, pada awal Februari 2005 diadakan Workshop JE yang membahas peraturan-peraturan dan tata cara pengambilan sampel manusia untuk diagnosis JE. Rumah Sakit Sanglah (Bali) telah ditunjuk sebagai proyek pilot penerapan surveilen JE. Sampel serum dan CCS diperoleh dari pasien yang menunjukkan gejala JE sesuai kriteria yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yang mengacu kriteria World Health Organization (WHO). Kriteria tersebut adalah terjadinya meningo-encephalitis termasuk Acute Flaccid Paralysis (AFP). Gejala tersebut meliputi penurunan kesadaran, kaku kuduk, konvulsi, penurunan sistem motor dan sensor, riwayat sakit kepala dan kasus AFP antara lain kelernahan anggota gerak dan tonus otot flaccid (otot menjadi lemas). Selain itu, kendala lain yang sering dijumpai adalah pengambilan pair serum sulit dilakukan karena pasien sering meminta pulang paksa, padahal penetapan diagnosis JE harus dilakukan sesegera mungkin. Serum akut hanya dapat diperoleh satu kali, saat pasien masuk rumah sakit. Serum konvalesen, biasanya 2-3 minggu setelah pengambilan serum akut, umumnya tidak dapat dilakukan karena pasien telah meninggalkan rumah sakit walaupun kondisi pasien belum pulih. Untuk itu, selain serum, cairanserebrospinal baik akut maupun konvalesen juga diambil. Kendala seperti ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi hasil pengamatan JE di Indonesia.
Saat ini peneguhan diagnosis JE pada manusia dilakukan di rumah sakit-rumah sakit yang ditunjuk dengan menggunakan ELISA sebagai perangkat diagnosis. Menurut Wei (2005), uji ELISA yang digunakan sangat sensitif untuk mendeteksi IgM baik pada serum maupun pada CCS manusia serta menggunakan antibodi monoklonal. Uji ini menggunakan antigen mati yang aman untuk pekerja dan lingkungan sekitarnya. Laboratorium yang belum memiliki fasilitas BSL-3 dapat menggunakan uji ELISA ini.(Indarwati, 2005.hal:113-114).
Viral encephalitis menunjukkan CSF lymphocytic pleocytosis dengan kadar glukosa normal. Kinerja pemeriksaan :
Test serogical : diagnosa dengan deteksi antibody IgM, yang tampak setelah minggu pertama gejala awal dan terdeteksi untuk satu sampai tiga bulan setelah masa akut. 5 ml darah diambil, disimpan dalam temperature kamar selama 30 menit(menjadi clot), kemudian simpan dalam refrigerator 4°C selama 30 menit(clot ke retract); serum dipisah dan dikirim dalam tempat dingin untuk tes serogical.
Tes serogical baru : ELISA untuk diagnose infeksi JEV menunjukkan sensitifitas 88% pada sera dan 81% pada CSF dan spesifitas 97% dengan sera pasien infeksi dengue pertama dan kedua. Spesifitas 100% ketika sampel dari infeksi nonflavivirus diperiksa.
Neuroimaging : MRI sangat unggul untuk CT scan dari otak cranial MRI menunjukkan intensitas campuran atau intensitas rendah lesi pada T1 dan intensitas tinggi atau campuran intensitas lesi pada T2 di thalamus. Perubahan thalamus menjadi berguna pada diagnose JE terutama di daerah endemik.
(Rao, 2000.hal: 4)
DIAGNOSA BANDING
Penyakit JE sering dikacaukan dengan penyakit lainnya, yang juga dapat menyebabkan gejala ensefalitis, antara lain : Rabies virus, West Nile, Eastern equine-encephalitis, Western equine encephalitis, Venezuelan equine encephalitis, Murray valley encephalitis, Ovine encephalomyelitis, viral encephalomyelitis of pig (Teschen disease), caprine arthritis-encephalitis, Maedi-Visna, Border disease, Avian encephalomyelitis, Pseudorabies, equine morbili virus (Hendra virus), Nipah virus dan Japanese encephalitis. Pada manusia diferensial diagnosis dilakukan pula terhadap encephalitis herpes simplex, meningitis bacterial, meningitis tuberculosis, Acute flaccid paralysis dan demam kejang.
Cerebral malaria, Reye’s syndrome, Pyogenic meningitis, Tuberkulosis meningitis, menunjukkan perubahan kadar glukosa.(Rao, 2000.hal :15-16).
(Solomon, 2003.hal:3)
PENCEGAHAN dan PENGENDALIAN
Virus JE beramplop, karena itu tidak tahan terhadap bahan yang mengandung pelarut lemak, seperti eter, chloroform, sodium deoksikholat, enzim proteolitik dan enzim lipolitik. Virus JE juga sangat sensitive terhadap deterjen, tripsin dan sinar matahari. Karena itu di lingkungan wabah, pada segala peralatan sebaiknya dilakukan disinfeksi dengan bahan tersebut yang selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari. Virus juga mati dengan pemanasan dalam suhu 56°C selama 30 menit atau dengan penyinaran sinar ultraviolet. Karena itu dianjurkan untuk memasak bahan makanan/minuman sampai masak benar. Program pencegahan utama adalah melalui vaksinasi.
Untuk pencegahan pada manusia digunakan vaksin biakan jaringan inaktif. Baru-baru ini vaksin hidup telah dikembangkan di Cina dan Jepang yang telah memberikan hasil yang memuaskan. Vaksin pada babi sangat penting dilakukan baik terhadap kesehatan masyarakat maupun ditinjau dari sudut ekonomi akibat dari tercegahnya kejadian viremia yang berlanjut dengan terjadinya abortus dan kematian mumifikasio fetus, keguguran atau stillbirth.
Kuda memiliki respon lebih baik dibandingkan dengan babi. Vaksin hidup yang dilemahkan dari hasil pembiakan virus pada jaringan ginjal mencit, telah digunakan secara luas untuk vaksinasi pada kuda di Cina. Vaksin ini dapat menurunkan kejadian penyakit sampai 85%. Vaksin inaktif yang berasal dari otak tikus, telah digunakan di Jepang, Korea, Taiwan, India dan Thailand untuk vaksinasi pada manusia. Vaksin inaktif yang sama yang dibuat dari biakan jaringan ginjal mencit telah digunakan untuk imunisasi pada anak-anak setiap tahunnya di Cina sejak tahun 1965. Vaksin hidup yang dilemahkan telah digunakan untuk imunisasi babi di Jepang dan Taiwan dan pada manusia di Cina. Sedangkan untuk obatnya tidak ada yang spesifik.
Contoh Vaksin yang dapat digunakan :
1. JE-VAX : virus infektif dengan pemberian subcutan, didapat dengan inokulasi JEV strain “Nakayama-NIH” intracerebral pada mencit. Umur 3 tahun keatas dosis sekali minum 1 ml. Umur 1-3 tahun o,5 ml.
2. SA 14-14-2 JE Vaccine : virus hidup dari strain SA 14-14-2 JE virus. Pemberian 0,5 ml secara subcutan. Dapat diberikan pada umur Sembilan bulan ke atas. Di Cina digunakan setiap delapan bulan sekali.
Mengurangi penyebaran penyakit JE pada ternak dan manusia, maka pemutusan rantai penularan (virus, vector, nyamuk dan induk semang) perlu dilakukan. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan :
1. Penyuluhan kepada masyarakat akan bahaya infeksi JE pada manusia terutama pada anak-anak.
2. Penetapan relokasi peternakan yang jauh dari pemukiman penduduk yang padat untuk menghindari kontak dengan vector.
3. Penerapan system karantina yang ketat dengan cara memperketat pengawasan lalulintas ternak (khususnya babi) di setiap daerah point of entry.
4. Pemasukan babi dari negara atau daerah positif JE ke Indonesia secara illegal perlu diwaspadai.
5. Pemberian larvasida misalnya abate pada air menggenang, seperti bak air.
6. Penyemprotan insektisida ataupun fogging. (sering di Indonesia)
7. Penggunaan vaksin terbukti dapat menurunkan kasus JE secara signifikan di Jepang, Korea Selatan, Cina, Taiwan dan Thailand. Namun, di Indonesia belum disosialisasikan karena kebijakan penggunaan vaksin masih belum diatur.
(Indrawati, 2005.hal:116-117)
Menurut studi dari 12.506 kasus sejak 1979 menunjukkan penyebab utama dari mortalitas dan morbiditas adalah :
1. Aspirasi pulmonary karena saliva atau vomitus
2. Hipoksia
3. Hipoglikemia
4. Uncontrolled seizure
5. Hiperpirexia
6. Peningkatan ICT
7. Edema pulmonarum
8. Infeksi sekunder
9. Kerusakan brainstem
Maka treatment utamanya langsung diberikan untuk control dan pengobatan dari komplikasi. Dengan pencegahan/pengobatan dari komplikasi, 75% mortalitas dan morbiditas dapat dicegah.
5ml/kg dextrose 10% dengan air hangat untuk mengurangi enema. Pengobatan seizure dengan :
a. Diazepam, umur kurang dari 3 tahun 5-7,5 mg; lebih dari 3 tahun 7,5-10 mg.
b. Suspense Valproate 30 mg/kg PO atau 60 mg/kg untuk retensi enema.
c. Injeksi Paraldehyde 4% 0,1-0,3 ml/kg, IM.
Peningkatan tekanan intracranial diobati dengan injeksi Furosemide 1 mg/kg IM dua kali sehari.
Secara umum pencegahan dan pengendalian JE di berbagai negara adalah sama. Hanya saja pada daerah dengan empat musim, perlu dilakukan peningkatan proteksi pada musim panas dan awal musim gugur karena merupakan saat perkembangan vector JE.
Daftar Pustaka
Chen, Wen-Phin, et.al. 2005. Magnetic Resonance Imaging Features Japanese Encephalitis: two cases report. 30:347-351.
Dash, AP, et al. 2001. Retrospective Analysis Of Epidemiological Investigation Of Japanese Encephalitis Outbreak Occurred In Rourkela, Orissa, India. 32:137-139.
Fenner. 1993. Veterinary Virology. New York : Academic Press Inc.
Gillespie,J.H.,V.M.D. dan John F.T,B.S.,M.V.D.,M.S.,Ph.D. 1981. Hagan and Bruner’s Infectious Diseases Of Domestic Animals Seventh Edition. London: Cornell University Press.
Jawetz. 2001. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. San Fransisco: McGraw-Hill Companies Inc.
Murphy,F.A. 2002 . Veterinary Virology Third Edition. London : Academic Press.
Sendouw, Indrawati dan Sjamsul Bahri. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia. Hal : 111-117.
Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Solomon, Tom, et. al., 2003. Origin and Evolution of Japanes Encephalitis Virus in southeast Asia. 77: 3091-3098.
Solomon, Tom. 2003. Recent Advances In Japanese Encephalitis. 9:274-283.
Solomon, Tom. 2004. Current Concept Flavivirus Encphalitis. 351:370-378.
Topley dan Wilson. 1998. Topley & Wilson’s Microbiology and Microbial Infections-Virology Volume 1- Ninth Edition. New York : Oxford University Press, Inc.
White,D.O. dan Frank F. 1986. Medical Virology Third Edition. London : Academic Press.
Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit viral yang penularannya melalui vektor dan menyebabkan penyakit ensefalitis pada manusia terutama anak-anak di Asia, dan juga dapat menyerang ternak. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang bersifat zoonosis, sehingga mempunyai dampak yang cukup serius terhadap kesehatan masyarakat.
SINONIM
• BRAIN FEVER
• SUMMER ENCEPHALITIS
• RUSSIAN AUTUMN ENCEPHALITIS
ETIOLOGI
Japanese Encephalitis populer disebut ”Brain Fever”.(Rao, 2000.hal:2). Penyebab JE adalah virus RNA dari famili Flaviviridae, Genus Flavivirus. Virus JE mempunyai kedekatan antigenik dengan virus West Nile, Murray Valley dan St. Louis ensefalitis. Masing-masing menyebabkan penyakit pada manusia, tapi hanya JBE yang menyebabkan penyakit yang signifikan pada hewan piaraan. Virus dapat tumbuh dalam telur ayam berembrio melalui inokulasi ke dalam kantong kuning telur. Disamping itu berbagai biakan sel seperti sel fibroblast embrio ayam, sel ginjal kera, babi, dan hamster dapat pula digunakan untuk isolasi virus.(Soeharsono,2002).
Flavivirus terdiri dari sekitar 70 virus berdiameter 45-60 nm yang mempunyai genom RNA positif untai tunggal, berukuran 10,7 kb. Amplop virus mengandung dua glikoprotein. Memiliki tiga atau empat polipeptida struktural, dua terglikosilasi. Flavivirus memasuki sel dengan cara endositosis, bereplikasi dalam sitoplasma secara lambat dan matang melalui perantaraan membran intrasitoplasma (terutama retikulum endoplasma). Replikasi menyebabkan proliferasi yang khas pada membran intraseluler. Secara parsial, virus ini menutup sintesis protein dan RNA dari sel hospes mamalia tapi tidak pada nyamuk. Pada hospes vertebrata yang sesuai, perkembangbiakan primer virus terjadi baik di sel-sel myeliod maupun limfoid atau di endotel pembuluh darah. Perkembangbiakan di dalam susunan saraf pusat tergantung kemampuan virus untuk menembus barier darah otak dan untuk menginfeksi sel saraf.
Penderita penyakit JE pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1871, namun isolasi penyebab penyakit ini baru berhasil pada tahun 1933 dengan nama Japanese "B" encephalitis. Virus JE telah ditemukan hampir di semua negara Asia, termasuk Indonesia.(Sendow, 2005,hal:1)
DISTRIBUSI
Distribusi di Indonesia
Berdasarkan peta yang dikeluarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS tahun 2001, Indonesia memang termasuk daerah endemik Japanese encephalitis bersama negara-negara di wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, Indo-Cina, dan Asia Timur.
Sejak tahun 1960-an Japanese encephalitis sudah dilaporkan keberadaannya di Indonesia. Penyakit itu tersebar di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Namun demikian, densitasnya tidak sama untuk setiap wilayah. Sejumlah daerah di Indonesia mempunyai potensi risiko adanya Japanese encephalitis. Terutama, daerah dengan pola peternakan babi yang sanitasinya kurang baik, lokasi kandang babi terlalu dekat permukiman manusia, babi bebas berkeliaran, atau daerah yang banyak mempunyai genangan air di sela rumput-rumput tinggi yang sesuai untuk tempat perindukan nyamuk Culex sp.
Namun demikian, sampai saat ini belum ada laporan tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) Japanese encephalitis di Indonesia.
Laporan kasus Japanese encephalitis di Asia berkisar 30.000-50.000 per tahun. Epidemi periodik terjadi di Vietnam, Kamboja, Myanmar, India, Nepal, dan Malaysia. Sedang di Cina, Korea, Jepang, Taiwan, dan Thailand tidak pernah lagi terjadi wabah, karena negara-negara tersebut berhasil mengontrol lewat vaksinasi.
Sebagaimana diberitakan pada harian Kompas 2 Agustus 2001, survei Sub Direktorat Zoonosis, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M&PL), Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (Depkes dan Kesos), akhir tahun 2000 di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), mendapatkan lima dari 60 penduduk yang diperiksa menunjukkan seropositif (terdeteksi mengidap virus dalam darah). Namun, tak seorang pun mengalami gejala klinis atau terserang radang otak.
Distribusi di Dunia
Japanese encephalitis merupakan penybab kejadian encephalitis karena virus encephalitis di Asia dengan 30.000–50.000 kasus per tahun. Tingkat kematian berkisar 0,3% - 60% dan tergantung pada populasi serta pada umur. Sempat terjadi wabah di wilayah barat Pasifik Amerika Serikat. Penduduk di rural area dalam kawasan endemik merupakan daerah yang memiliki resiko paling tinggi, meski Japanese encephalitis tidak sering terjadi di daerah urban. Negara-negara yang pernah mengalami wabah pada masa lalu, mengontrol penyakit melalui vaksinasi, seperti China, Korea, Japan, Taiwan. Negara lain yang masih memiliki periodik epidemik antara lain Vietnam, Kamboja, Myanmar, India, Nepal, dan Malaysia. Dua kasus fatal pernahaa dilaporkan terjadi di utara Australia pada tahun 1998. Periode epidemik bervariasi pada tiap negara, misal Mei-September di Cina Utara, Mei-Oktober di Thailand, Juni–Desember di Jepang dan hampir setiap April di Singapura.
KEJADIAN PENYAKIT PADA HEWAN
Masalah JE pada hewan di Indonesia, sampai saat ini belum menimbulkan masalah yang besar. Hal ini disebabkan karena gejala klinis yang ditimbulkan pada ternak tidak menunjukkan ciri-ciri yang khas sehingga tidak dapat terdiagnosa, oleh karena itu penelitian JE pada hewan kurang mendapat perhatian.
Laporan kasus klinis pada hewan belum pernah dilaporkan, namun hasil pemeriksaan serologis menunjukkan adanya JE pada hewan di Indonesia. Dalam hal ini untuk mendeteksi antibodi JE, mula-mula digunakan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Hasil menunjukkan bahwa antibodi terhadap virus JE dapat ditemukan pada babi dari beberapa daerah di Indonesia. Selain pada babi, antibodi terhadap virus JE juga dapat ditemukan pada kuda, dan kelelawar. Perdebatan mengenai interpretasi hasil serologis JE dengan menggunakan uji ini mulai terjadi, karena adanya reaksi silang dengan kelompok Flavivirus lainnya. Selain babi, kelelawar dikuatirkan dapat menjadi induk semang reservoir yang potensial, yang sewaktu-waktu dapat menjadi bom waktu terjadinya wabah JE di Indonesia, seperti halnya wabah Nipah di Malaysia yang penularannya mungkin dapat disebabkan oleh kelelawar.
Untuk mengatasi terjadinya kerancuan dalam menginterpretasikan hasil, maka uji ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik mulai diperkenalkan. Pada tahun 1998, Balai Penelitian Veteriner Bogor, mulai menerapkan uji ELISA tersebut untuk mendeteksi antibodi JE pada beberapa spesies hewan seperti sapi, kerbau, kambing, itik, ayam, kuda, babi dan anjing dari beberapa daerah di Indonesia.(SENDOW et al., 1999). Hasil menunjukkan bahwa reaktor JE dapat ditemukan pada semua spesies hewan yang diperiksa dengan prevalensi bervariasi mulai 11% hingga 51%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada sapi, diikuti pada itik, ayam, kambing, kuda, anjing dan babi.
Gejala klinis ensefalitis dapat terlihat pada kuda dan keledai seperti yang terjadi pada manusia. Walaupun babi merupakan reservoir JE yang paling baik, namun gejala ensefalitis pada babi sangat jarang ditemukan. Pada babi dewasa antibodi dapat terdeteksi, walaupun gejala klinis berupa gangguan saraf umumnya tidak tampak, namun pada anak babi, kadang-kadang gejala klinis tampak, tetapi sangat jarang terjadi. Apabila induk babi yang sedang bunting terinfeksi virus JE, dapat mengakibatkan lahir mati, keguguran, dan mumifikasi. Bayi babi lahir dalam keadaan lemah, kadang-kadang disertai dengan gejala syaraf yang kemudian disertai dengan kematian. Sering juga terlihat adanya kelainan pada bayi babi yang dilahirkan. Kelainan tersebut antara lain berupa hidrosefalus, oedema subkutan dan kekerdilan pada babi yang mengalami mumifikasi. Pada babi jantan yang terinfeksi JE, terlihat adanya pembendungan pada testes, pengerasan pada epididimis, serta menurunnya libido. Virus dapat diekskresikan melalui semen, sehingga mutu semen tersebut akan menurun karena banyak sperma yang tidak aktif bergerak dan terdapat kelainan dari spermatozoa tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kemandulan. Pada ternak lain seperti kambing, domba, sapi, kerbau ataupun unggas, gejala klinis infeksi JE sering tidak tampak, walaupun antibodi terhadap JE dapat terdeteksi.(Sendow, 2005.hal:113).
KEJADIAN PADA MANUSIA
Wabah yang hebat terjadi pada manusia di Jepang tahun 1924, kemudian disusul tahun 1935 dan 1948. Di Korea ditemukan wabah tahun 1949. (Soeharsono,2002,hal:96).
Di Jepang dan negara tetangga sekitarnya kejadian penyakit ini hanya muncul pada musim panas, tetapi pada Guam dan daerah tropis lainnya penyakit ini dapat muncul di sepanjang tahunnya.(Gillespie,1981,hal:701).
Japanesse B encephalitis merupakan penyebab utama ensefalitis karena virus di Asia, sekitar 50.000 kasus terjadi per tahunnya di Cina, Jepang, Korea, dan anak benua India, dengan 10.000 kematian, kebanyakan anak-anak (Jawetz,2001,hal:190), umumnya menyerang anak umur 3-15 tahun, karena umumnya mereka belum mempunyai kekebalan alami. Turis dari negara bebas Japanese Encephalitis dapat mengalami gejala klinik cukup serius apabila terserang Japanese Encephalitis pertama kali.(Seoharsono,2002,hal:99).
Pada manusia kejadian penyakit ini ditularkan melalui arthtopoda sehingga sering disebut arbovirus (arthropod-borne virus) yakni suatu grup agen infeksius yang ditularkan melalui hisapan darah inang vertebrata ke vertebrata lainnya. Replikasi dalam inang vertebrata menghasilkan viremia yang cukup sehingga arthropoda penghisap darah lainnya akan terinfeksi. Vektor terinfeksi seumur hidup karena memakan darah dari vertebrata yang mengalami viremia.(Jawetz,2001;hal 181).
Virus berkembang biak dalam tubuh arthropoda. Dalam wilayah yang sangat endemis, hampir seluruh populasi manusia dapat terinfeksi arbovirus, dan kebanyakan infeksi tidak bergejala. Dalam epidemi berat yang disebabkan oleh virus ensefalitis, perbandingan kasus adalah sekitar 1:1000.(Jawetz,2001,hal 189).
Presentasi tinggi dari yang bertahan hidup, menderita gejala sisa neurologist dan psikiatris. Studi seroprevalensi menunjukkan bahwa hampir keseluruhan paparan oleh virus Japanesse B Encephalitis adalah pada masa dewasa, perkiraan perbandingan infeksi tidak bergejala dengan bergejala adalah 300:1.(Jawetz,2001,hal 190).
Pada Japanesse B Encephalitis, angka kematian pada lanjut usia dapat setinggi 80% (Jawetz,2001, hal:188). Tingkat fatalitas kasusnya 10-40% dan 40-70% dari penderita yang selamat mengalami neurologik sequelae secara permanen (Murphy, , hal:559), seperti keterbelakangan mental, epilepsi, kelumpuhan, ketulian dan kebutaan (White,1986,hal:486). Masa inkubasinya antara 5-14 hari. Biasanya disertai dengan gejala demam, nyeri kepala berat, kekakuan pada leher muntah (Topley,1998,hal:594), mual, kedinginan, nafsu makan turun, dan nyeri di seluruh tubuh. Dalam 24-48 jam, timbul rasa kantuk yang sangat.(Jawetz,2001, hal:188).
Pada pasien dengan keterlibatan pada sistem saraf pusat biasanya diikuti dengan letargi, wajah menjadi kurang berekspresi, gangguan saraf sensorik dan motorik yang berefek pada kecakapan berbicara dan pada mata, kelemahan dan kelumpuhan dapat berefek pada seluruh bagian tubuh.(Topley,1998,hal:594).
Kekacauan mental, tremor, kejang, dan koma timbul pada kasus yang berat. Demam berakhir dalam 4-10 hari. Angka kematian pada ensefalitis bervariasi. Gejala lain berupa perubahan kepribadian dan kelumpuhan. (Jawetz,2001, hal:188).
Pada anak-anak, gejala yang menonjol adalah nyeri abdominal dan diare. Gejala ini diikuti oleh kekakuan otot, fotopobia, penurunan kesadaran, gerakan mata bergetar (tremulous), kaki gemetaran, paresis secara umum atau local dan inkoordinasi gerak.(Soeharsono,2002,hal:99). Gejala lain demam (lebih dari 38°C), kaku kuduk, konvulsi, penurunan system motor dan sensor, manifestasi meningeal meliputi mual, irritability, sakit kepala dan ubun-ubun menonjol. (Indarwati, 2005.hal :113).
Pada otak dan selaput pembungkus otak (meninges) pasien penderita Japanese Encephalitis menunjukkan edema, kongesti, dan fokal hemoragi. Secara mikroskopis tampak degenerasi dan nekrosis dari sel saraf yang disertai neurophagia pada korteks dari otak kecil dan otak besar. Juga terdapat sel Purkinje pada otak kecil disertai dengan adanya perivaskuler cuffing dan infiltrasi sel radang di sekitar jaringan saraf (Topley,1998,hal:594). Pengamatan GAUTAMA (2005) juga menunjukkan bahwa mortalitas JE mencapai 16% sedangkan morbiditasnya mencapai 62%.
SUMBER INFEKSI
Virus JE dapat menginfeksi ternak dan manusia,yang terbukti dengan adanya laporan terdeteksinya antibodi terhadap virus JE pada beberapa spesies ternak seperti kerbau, sapi, kambing, domba, babi, ayam, itik, anjing, kelinci, kuda, tikus, kelelawar (Rousettus leschenaulti), kera dan burung liar seperti Japanesse tree sparrow (Passer montanus saturatus stejneger), burung heron, burumg gereja, burung dara, burung gagak, tikus rumah dan tikus hitam. Babi telah diketahui merupakan reservoir yangpotensial dan merupakan ampl jier virus JE yang efektif. Hal ini terlihat dari laporan WEI (2005) yang menyatakan bahwa kasus JE pada manusia akan meningkat apabila rasio antara populasi manusia dan babi makin kecil. Selain babi, burung liar diduga merupakan reservoir yang potensial untuk meningkatkan perkembangbiakan virus JE yang siap ditularkan kepada hewan atau manusia melalui nyamuk.(Indrawati, 2005.hal:112).
CARA PENULARAN
Penyebaran penyakit JE tidak dapat ditularkan melalui kontak Iangsung, tetapi harus melalui vektor, yaitu melalui gigitan nyamuk yang telah mengandung virus JE. Masa inkubasi pada nyamuk penular antara 9-12 hari dan nyamuk yang terinfeksi virus JE, selarna hidupnya akan menjadi infektif yang dapat menularkan ke hewan dan manusia.(Indrawati, 2005.hal:112).
Vektor utama adalah nyamuk Culex (Culex tritaeniorhynchus, Culex vishnui, Culex pseudovishnui dan lainnya –total 8spesies) hidup di sawah dan daerah peternakan babi. Ini alasan JE menjadi penyakit pedesaan. Nyamuk Culex dapat terbang sampai 5 km. Transmisi veneral JEV melewati Culex bitaeniorhynchus. Virus dapat ditransmisikan juga melalui Anopheles sp. dan Mansonia liar.(Rao, 2000.hal:3).
Umur vektor JE, nyamuk Culex, berkisar antara 14-21 hari. Culex umumnya berkembang biak pada genangan air yang banyak ditumbuhi tanaman seperti sawah dan saluran irigasinya, selokan yang dangkal atau kolam yang sudah tidak terpakai. Pada babi, viremia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti dengan pembentukan antibodi dalam waktu 1 hingga 4 minggu. Virus JE dapat menembus plasenta tergantung pada umur kebuntingan dan galur virus JE. Kematian janin dan mumifikasi dapat terjadi apabila infeksi JE berlangsung pada umur kebuntingan 40-60 hari. Sedangkan infeksi JE sesudah umur kebuntingan 85 hari, kelainan yang ditimbulkan sangat sedikit. Masa inkubasi JE pada manusia berkisar antara 4 hingga 14 hari.(Indrawati, 2005.hal:112).
Babi merupakan reservoir paling penting. Tidak menderita penyakit, namun mengembangkan titer virus tinggi pada sirkulasi darah dan nyamuk terinfeksi. Anak-anak rentan terinfeksi lewat gigitan nyamuk. Penyakit tampak 5-16 hari setelah tergigit. Virus menyerang SSP dan menyebabkan penyakit. Walaupun infeksi pada manusia hanya kebetulan, virus dapat menyebabkan penyakit saraf serius dengan morbidiatas dan mortalitas tinggi. Infeksi selama enam bulan pertama dari kehamilan menyebabkan infeksi pada fetus dan miscarriage. Katak, ular, kelelawar dan kebanyakan hewan domestic seperti sapi juga terinfeksi. JE tidak menyebar dari anak ke anak atau dari ternak ke manusia karena viremia rendah dan bersifat temporer.(Rao, 2000.hal:3).
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa infeksi JE diperlukan perangkat laboratorium. Saat ini diagnosis JE pada ternak berdasarkan penentuan antibodi terhadap JE dengan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dan uji ELISA. Sesuai dengan sifat virus JE, yang memiliki daya aglutinasi butir darah merah, maka uji HI dinilai sebagai uji yang paling banyak digunakan. Selain mudah, murah, uji HI juga dapat diterapkan di laboratorium yang memiliki fasilitas sederhana. Kendala yang ada adalah hasil uji HI tidak dapat mengkonfirmasi adanya infeksi JE, karena pada uji ini reaksi silang dengan virus Dengue dapat terjadi, sehingga uji lanjutan masih diperlukan.
Tidak adanya gejala klinis pada ternak menyebabkan sulitnya penetapan diagnosis. Pengambilan pair sera pada saat akut dan telah sembuh dengan interval waktu antara 2 hingga 3 minggu, pada hewan yang menunjukkan gejala klinis dapat dilakukan untuk menentukan kenaikan titer. Sedangkan hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis penentuan titer antibodi merupakan kunci peneguhan diagnosis. Sesuai sifat JE yang dapat mengaglutinasi sel darah merah angsa, maka uji HI dapat diterapkan untuk mendiagnosis infeksi JE. Titer dengan 16 atau lebih pada uji HI dapat dijadikan patokan bahwa hewan tersebut telah terinfeksi JE.
Sedangkan Wet (2005), mengemukakan bahwa titer antibodi lebih dari 40 digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa hewan terinfeksi JE. lsolasi virus JE perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis baik dari hewan maupun manusia. Mengingat JE termasuk dalam agen mikroba yang penanganannya harus dilakukan pada laboratorium yang memiliki BSL 3, maka isolasi virus JE serta diagnosis JE perlu dilakukan di laboratorium yang aman baik bagi pekerja maupun lingkungan sekitarnya. Untuk menanggulangi kendala tersebut, uji reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR) atau Antigen Capture ELISA dapat diterapkan.
Virus JE menimbulkan cythopatic effect (CPE) pada biakan jaringan lestari LLCMK2, PMK, Vero dan BHK-21. Sensitivitas beberapa biakan jaringan Vero, BHK-21 dan Hep-2 berbeda pada infeksi awal JE. Titer virus JE dapat ditingkatkan dengan menginokulasikannya pada 113 bayi tikus putih secara intracerebral.
Berlainan dengan hewan, pada manusia pengambilan sampel untuk pemeriksaan JE tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena akhir-akhir ini kasus tuduhan malpraktek mulai ramai dibicarakan yang dapat berakhir di meja hijau. Akibatnya pengambilan sampel darah dan cairan cerebro spinal (CCS) tidak dapat dilakukan hanya dengan persetujuan lisan tetapi harus disertai dengan persetujuan tertulis, untuk menghindari tuntutan pasien dan keluarga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam rangka surveilen JE yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, pada awal Februari 2005 diadakan Workshop JE yang membahas peraturan-peraturan dan tata cara pengambilan sampel manusia untuk diagnosis JE. Rumah Sakit Sanglah (Bali) telah ditunjuk sebagai proyek pilot penerapan surveilen JE. Sampel serum dan CCS diperoleh dari pasien yang menunjukkan gejala JE sesuai kriteria yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yang mengacu kriteria World Health Organization (WHO). Kriteria tersebut adalah terjadinya meningo-encephalitis termasuk Acute Flaccid Paralysis (AFP). Gejala tersebut meliputi penurunan kesadaran, kaku kuduk, konvulsi, penurunan sistem motor dan sensor, riwayat sakit kepala dan kasus AFP antara lain kelernahan anggota gerak dan tonus otot flaccid (otot menjadi lemas). Selain itu, kendala lain yang sering dijumpai adalah pengambilan pair serum sulit dilakukan karena pasien sering meminta pulang paksa, padahal penetapan diagnosis JE harus dilakukan sesegera mungkin. Serum akut hanya dapat diperoleh satu kali, saat pasien masuk rumah sakit. Serum konvalesen, biasanya 2-3 minggu setelah pengambilan serum akut, umumnya tidak dapat dilakukan karena pasien telah meninggalkan rumah sakit walaupun kondisi pasien belum pulih. Untuk itu, selain serum, cairanserebrospinal baik akut maupun konvalesen juga diambil. Kendala seperti ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi hasil pengamatan JE di Indonesia.
Saat ini peneguhan diagnosis JE pada manusia dilakukan di rumah sakit-rumah sakit yang ditunjuk dengan menggunakan ELISA sebagai perangkat diagnosis. Menurut Wei (2005), uji ELISA yang digunakan sangat sensitif untuk mendeteksi IgM baik pada serum maupun pada CCS manusia serta menggunakan antibodi monoklonal. Uji ini menggunakan antigen mati yang aman untuk pekerja dan lingkungan sekitarnya. Laboratorium yang belum memiliki fasilitas BSL-3 dapat menggunakan uji ELISA ini.(Indarwati, 2005.hal:113-114).
Viral encephalitis menunjukkan CSF lymphocytic pleocytosis dengan kadar glukosa normal. Kinerja pemeriksaan :
Test serogical : diagnosa dengan deteksi antibody IgM, yang tampak setelah minggu pertama gejala awal dan terdeteksi untuk satu sampai tiga bulan setelah masa akut. 5 ml darah diambil, disimpan dalam temperature kamar selama 30 menit(menjadi clot), kemudian simpan dalam refrigerator 4°C selama 30 menit(clot ke retract); serum dipisah dan dikirim dalam tempat dingin untuk tes serogical.
Tes serogical baru : ELISA untuk diagnose infeksi JEV menunjukkan sensitifitas 88% pada sera dan 81% pada CSF dan spesifitas 97% dengan sera pasien infeksi dengue pertama dan kedua. Spesifitas 100% ketika sampel dari infeksi nonflavivirus diperiksa.
Neuroimaging : MRI sangat unggul untuk CT scan dari otak cranial MRI menunjukkan intensitas campuran atau intensitas rendah lesi pada T1 dan intensitas tinggi atau campuran intensitas lesi pada T2 di thalamus. Perubahan thalamus menjadi berguna pada diagnose JE terutama di daerah endemik.
(Rao, 2000.hal: 4)
DIAGNOSA BANDING
Penyakit JE sering dikacaukan dengan penyakit lainnya, yang juga dapat menyebabkan gejala ensefalitis, antara lain : Rabies virus, West Nile, Eastern equine-encephalitis, Western equine encephalitis, Venezuelan equine encephalitis, Murray valley encephalitis, Ovine encephalomyelitis, viral encephalomyelitis of pig (Teschen disease), caprine arthritis-encephalitis, Maedi-Visna, Border disease, Avian encephalomyelitis, Pseudorabies, equine morbili virus (Hendra virus), Nipah virus dan Japanese encephalitis. Pada manusia diferensial diagnosis dilakukan pula terhadap encephalitis herpes simplex, meningitis bacterial, meningitis tuberculosis, Acute flaccid paralysis dan demam kejang.
Cerebral malaria, Reye’s syndrome, Pyogenic meningitis, Tuberkulosis meningitis, menunjukkan perubahan kadar glukosa.(Rao, 2000.hal :15-16).
(Solomon, 2003.hal:3)
PENCEGAHAN dan PENGENDALIAN
Virus JE beramplop, karena itu tidak tahan terhadap bahan yang mengandung pelarut lemak, seperti eter, chloroform, sodium deoksikholat, enzim proteolitik dan enzim lipolitik. Virus JE juga sangat sensitive terhadap deterjen, tripsin dan sinar matahari. Karena itu di lingkungan wabah, pada segala peralatan sebaiknya dilakukan disinfeksi dengan bahan tersebut yang selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari. Virus juga mati dengan pemanasan dalam suhu 56°C selama 30 menit atau dengan penyinaran sinar ultraviolet. Karena itu dianjurkan untuk memasak bahan makanan/minuman sampai masak benar. Program pencegahan utama adalah melalui vaksinasi.
Untuk pencegahan pada manusia digunakan vaksin biakan jaringan inaktif. Baru-baru ini vaksin hidup telah dikembangkan di Cina dan Jepang yang telah memberikan hasil yang memuaskan. Vaksin pada babi sangat penting dilakukan baik terhadap kesehatan masyarakat maupun ditinjau dari sudut ekonomi akibat dari tercegahnya kejadian viremia yang berlanjut dengan terjadinya abortus dan kematian mumifikasio fetus, keguguran atau stillbirth.
Kuda memiliki respon lebih baik dibandingkan dengan babi. Vaksin hidup yang dilemahkan dari hasil pembiakan virus pada jaringan ginjal mencit, telah digunakan secara luas untuk vaksinasi pada kuda di Cina. Vaksin ini dapat menurunkan kejadian penyakit sampai 85%. Vaksin inaktif yang berasal dari otak tikus, telah digunakan di Jepang, Korea, Taiwan, India dan Thailand untuk vaksinasi pada manusia. Vaksin inaktif yang sama yang dibuat dari biakan jaringan ginjal mencit telah digunakan untuk imunisasi pada anak-anak setiap tahunnya di Cina sejak tahun 1965. Vaksin hidup yang dilemahkan telah digunakan untuk imunisasi babi di Jepang dan Taiwan dan pada manusia di Cina. Sedangkan untuk obatnya tidak ada yang spesifik.
Contoh Vaksin yang dapat digunakan :
1. JE-VAX : virus infektif dengan pemberian subcutan, didapat dengan inokulasi JEV strain “Nakayama-NIH” intracerebral pada mencit. Umur 3 tahun keatas dosis sekali minum 1 ml. Umur 1-3 tahun o,5 ml.
2. SA 14-14-2 JE Vaccine : virus hidup dari strain SA 14-14-2 JE virus. Pemberian 0,5 ml secara subcutan. Dapat diberikan pada umur Sembilan bulan ke atas. Di Cina digunakan setiap delapan bulan sekali.
Mengurangi penyebaran penyakit JE pada ternak dan manusia, maka pemutusan rantai penularan (virus, vector, nyamuk dan induk semang) perlu dilakukan. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan :
1. Penyuluhan kepada masyarakat akan bahaya infeksi JE pada manusia terutama pada anak-anak.
2. Penetapan relokasi peternakan yang jauh dari pemukiman penduduk yang padat untuk menghindari kontak dengan vector.
3. Penerapan system karantina yang ketat dengan cara memperketat pengawasan lalulintas ternak (khususnya babi) di setiap daerah point of entry.
4. Pemasukan babi dari negara atau daerah positif JE ke Indonesia secara illegal perlu diwaspadai.
5. Pemberian larvasida misalnya abate pada air menggenang, seperti bak air.
6. Penyemprotan insektisida ataupun fogging. (sering di Indonesia)
7. Penggunaan vaksin terbukti dapat menurunkan kasus JE secara signifikan di Jepang, Korea Selatan, Cina, Taiwan dan Thailand. Namun, di Indonesia belum disosialisasikan karena kebijakan penggunaan vaksin masih belum diatur.
(Indrawati, 2005.hal:116-117)
Menurut studi dari 12.506 kasus sejak 1979 menunjukkan penyebab utama dari mortalitas dan morbiditas adalah :
1. Aspirasi pulmonary karena saliva atau vomitus
2. Hipoksia
3. Hipoglikemia
4. Uncontrolled seizure
5. Hiperpirexia
6. Peningkatan ICT
7. Edema pulmonarum
8. Infeksi sekunder
9. Kerusakan brainstem
Maka treatment utamanya langsung diberikan untuk control dan pengobatan dari komplikasi. Dengan pencegahan/pengobatan dari komplikasi, 75% mortalitas dan morbiditas dapat dicegah.
5ml/kg dextrose 10% dengan air hangat untuk mengurangi enema. Pengobatan seizure dengan :
a. Diazepam, umur kurang dari 3 tahun 5-7,5 mg; lebih dari 3 tahun 7,5-10 mg.
b. Suspense Valproate 30 mg/kg PO atau 60 mg/kg untuk retensi enema.
c. Injeksi Paraldehyde 4% 0,1-0,3 ml/kg, IM.
Peningkatan tekanan intracranial diobati dengan injeksi Furosemide 1 mg/kg IM dua kali sehari.
Secara umum pencegahan dan pengendalian JE di berbagai negara adalah sama. Hanya saja pada daerah dengan empat musim, perlu dilakukan peningkatan proteksi pada musim panas dan awal musim gugur karena merupakan saat perkembangan vector JE.
Daftar Pustaka
Chen, Wen-Phin, et.al. 2005. Magnetic Resonance Imaging Features Japanese Encephalitis: two cases report. 30:347-351.
Dash, AP, et al. 2001. Retrospective Analysis Of Epidemiological Investigation Of Japanese Encephalitis Outbreak Occurred In Rourkela, Orissa, India. 32:137-139.
Fenner. 1993. Veterinary Virology. New York : Academic Press Inc.
Gillespie,J.H.,V.M.D. dan John F.T,B.S.,M.V.D.,M.S.,Ph.D. 1981. Hagan and Bruner’s Infectious Diseases Of Domestic Animals Seventh Edition. London: Cornell University Press.
Jawetz. 2001. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. San Fransisco: McGraw-Hill Companies Inc.
Murphy,F.A. 2002 . Veterinary Virology Third Edition. London : Academic Press.
Sendouw, Indrawati dan Sjamsul Bahri. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia. Hal : 111-117.
Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Solomon, Tom, et. al., 2003. Origin and Evolution of Japanes Encephalitis Virus in southeast Asia. 77: 3091-3098.
Solomon, Tom. 2003. Recent Advances In Japanese Encephalitis. 9:274-283.
Solomon, Tom. 2004. Current Concept Flavivirus Encphalitis. 351:370-378.
Topley dan Wilson. 1998. Topley & Wilson’s Microbiology and Microbial Infections-Virology Volume 1- Ninth Edition. New York : Oxford University Press, Inc.
White,D.O. dan Frank F. 1986. Medical Virology Third Edition. London : Academic Press.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS JANTUNG KELINCI LOKAL (Oryctolagus cuniculus) BETINA (YANG
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS JANTUNG KELINCI LOKAL (Oryctolagus cuniculus) BETINA (YANG DIBERI PAKAN KUBIS (Brassica oleracea L.var. capitata L.)
Oleh
Julvina Kusumastuti
05/190103/KH/05607
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak buah merah (Pandanus Conoideus) terhadap gambaran histopatologis jantung kelinci lokal (Oryctolagus Cuniculus) betina yang diberi pakan kubis ad libitum selama 30 hari. Lima belas ekor kelinci betina dibagi secara acak menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok lima ekor kelinci. Kelompok 1 (K1) yang merupakan kelompok kontrol negatif diberi pakan berupa ubi dan kangkung setiap hari, K2 merupakan kelompok kontrol positif yang diberi pakan berupa ubi dan kubis secara ad libitum setiap hari sedangkan K3 merupakan kelompok perlakuan yang diberi pakan berupa ubi dan kubis secara ad libitum setiap hari dan diberi buah merah dengan dosis 1 ml/ekor/hari. Pada akhir penelitian (hari ke-30) semua kelinci dieuthanasi kemudian dinekropsi untuk mengambil sampel jantung dari masing-masing kelompok, selanjutnya dibuat preparat histologis. Preparat histopatologi diamati dibawah mikroskop cahaya. Hasil pemeriksaan histopatologik dianalisis secara deskriptif dengan melihat adanya perbedaan histopatologis jantung dari kelompok yang mendapat perlakuan dengan kelompok kontrol. Hasil pemeriksaan histopatologi organ jantung dari kelompok kontrol (K1) tidak ditemukan adanya perubahan, sedangkan pada kelompok 2 yang diberi pakan berupa ubi dan kubis secara ad libitum memperlihatkan adanya perubahan histopatologik berupa hialinisasi, kalsifikasi, nekrosis, infiltrasi makrofag, vakuolisasi dan pembengkakan. Pada kelinci kelompok 3 hanya ditemukan infiltrasi sel radang. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak buah merah 1 ml per oral pada kelinci K 3 mampu mencegah terjadinya kardiomiopati pada jantung kelinci betina yang diberi pakan kubis ad libitum yang mengandung senyawa goitrogenik.
Kata kunci : buah merah, jantung, kardiomiopati, kubis, kelinci.
Oleh
Julvina Kusumastuti
05/190103/KH/05607
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak buah merah (Pandanus Conoideus) terhadap gambaran histopatologis jantung kelinci lokal (Oryctolagus Cuniculus) betina yang diberi pakan kubis ad libitum selama 30 hari. Lima belas ekor kelinci betina dibagi secara acak menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok lima ekor kelinci. Kelompok 1 (K1) yang merupakan kelompok kontrol negatif diberi pakan berupa ubi dan kangkung setiap hari, K2 merupakan kelompok kontrol positif yang diberi pakan berupa ubi dan kubis secara ad libitum setiap hari sedangkan K3 merupakan kelompok perlakuan yang diberi pakan berupa ubi dan kubis secara ad libitum setiap hari dan diberi buah merah dengan dosis 1 ml/ekor/hari. Pada akhir penelitian (hari ke-30) semua kelinci dieuthanasi kemudian dinekropsi untuk mengambil sampel jantung dari masing-masing kelompok, selanjutnya dibuat preparat histologis. Preparat histopatologi diamati dibawah mikroskop cahaya. Hasil pemeriksaan histopatologik dianalisis secara deskriptif dengan melihat adanya perbedaan histopatologis jantung dari kelompok yang mendapat perlakuan dengan kelompok kontrol. Hasil pemeriksaan histopatologi organ jantung dari kelompok kontrol (K1) tidak ditemukan adanya perubahan, sedangkan pada kelompok 2 yang diberi pakan berupa ubi dan kubis secara ad libitum memperlihatkan adanya perubahan histopatologik berupa hialinisasi, kalsifikasi, nekrosis, infiltrasi makrofag, vakuolisasi dan pembengkakan. Pada kelinci kelompok 3 hanya ditemukan infiltrasi sel radang. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak buah merah 1 ml per oral pada kelinci K 3 mampu mencegah terjadinya kardiomiopati pada jantung kelinci betina yang diberi pakan kubis ad libitum yang mengandung senyawa goitrogenik.
Kata kunci : buah merah, jantung, kardiomiopati, kubis, kelinci.
PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus Conoideus Lam) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS HATI KELINCI (Oryctolagus Cuniculus) YANG DIBERI PAKA
PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus Conoideus Lam) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS HATI KELINCI (Oryctolagus Cuniculus) YANG DIBERI PAKAN KUBIS (Brassica Oleracea Var. Capitata)
Oleh
Adnan Jaya Titityas Panuntun
05/190034/KH/05602
Buah merah (Pandanus conoideus Lam) merupakan tanaman asli Papua yang dikenal mempunyai manfaat sebagai bahan obat. Buah merah memiliki kandungan antioksidan dan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah merah (Pandanus conoideus Lam) terhadap gambaran histopatologis hati kelinci lokal (Oryctolagus cuniculus) betina umur 2-3 bulan yang diberi pakan kubis ad libitum.
Pada percobaan ini digunakan 15 kelinci betina, lalu dibagi secara acak menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok lima ekor kelinci. Kelompok 1 (K1) yang merupakan kelompok kontrol negatif diberi makan berupa sayuran kangkung setiap pagi hari, K2 merupakan kelompok kontrol positif yang mendapat perlakuan pemberian sayuran kubis secara ad libitum namun tidak diberi ekstrak buah merah, sedangkan K3 diberi perlakuan dengan konsumsi sayuran kubis secara ad libitum setiap hari serta diberi buah merah dengan dosis 1 ml/ekor/hari. Setelah dipelihara selama satu bulan kelinci dinekropsi untuk mengambil sampel hati dari masing-masing kelompok untuk selanjutnya dibuat preparat histologis. Hasil pemeriksaan histopatologik dianalisis secara diskriptif dengan melihat adanya perbedaan histopatologis hati dari kelompok yang mendapat perlakuan dengan kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah merah dapat memperbaiki struktur hati kelinci yang mengalami kongesti dan hemoragi akibat pemberian kubis ad libitum.
Kata kunci : buah merah, hati, kubis, kelinci.
Oleh
Adnan Jaya Titityas Panuntun
05/190034/KH/05602
Buah merah (Pandanus conoideus Lam) merupakan tanaman asli Papua yang dikenal mempunyai manfaat sebagai bahan obat. Buah merah memiliki kandungan antioksidan dan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah merah (Pandanus conoideus Lam) terhadap gambaran histopatologis hati kelinci lokal (Oryctolagus cuniculus) betina umur 2-3 bulan yang diberi pakan kubis ad libitum.
Pada percobaan ini digunakan 15 kelinci betina, lalu dibagi secara acak menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok lima ekor kelinci. Kelompok 1 (K1) yang merupakan kelompok kontrol negatif diberi makan berupa sayuran kangkung setiap pagi hari, K2 merupakan kelompok kontrol positif yang mendapat perlakuan pemberian sayuran kubis secara ad libitum namun tidak diberi ekstrak buah merah, sedangkan K3 diberi perlakuan dengan konsumsi sayuran kubis secara ad libitum setiap hari serta diberi buah merah dengan dosis 1 ml/ekor/hari. Setelah dipelihara selama satu bulan kelinci dinekropsi untuk mengambil sampel hati dari masing-masing kelompok untuk selanjutnya dibuat preparat histologis. Hasil pemeriksaan histopatologik dianalisis secara diskriptif dengan melihat adanya perbedaan histopatologis hati dari kelompok yang mendapat perlakuan dengan kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah merah dapat memperbaiki struktur hati kelinci yang mengalami kongesti dan hemoragi akibat pemberian kubis ad libitum.
Kata kunci : buah merah, hati, kubis, kelinci.
BULAN PUASA BAGI-BAGI 1000 BUNGKUS MAKANAN BERBUKA DAN PENGAJIAN MENJELANG BUKA BERSAMA IIP WIJAYANTO
BULAN PUASA BAGI-BAGI 1000 BUNGKUS MAKANAN BERBUKA DAN PENGAJIAN MENJELANG BUKA BERSAMA IIP WIJAYANTO
Bulan Puasa yang indah ini alangkah baiknya selalu mengisi hari-hari dengan aktifitas yang positif seperti selalu berbuat baik serta beramal dengan hati yang ikhlas, seperti yang telah dilakukan oleh Angkatan Muda At-Taqwa (AMT) Payak pada hari Sabtu, 22 Desember 2010 dengan membagikan makanan berbuka di depan kompleks Masjid At-Taqwa yang berada di Jln. Wonosari km.12,5. Sasaran pemberian makanan berbuka adalah pengendara kendaraan baik di utara maupun selatan jalan. Pembagian makanan berbuka ini dilaksanakan setiap hari Sabtu selama bulan ramadhan dimulai pukul 17.00 WIB sampai makanan yang dibagikan habis. Selain itu, pengendara juga bisa mampir sejenak untuk membeli makanan berbuka yang lain karena Pasar Sore kampoeng Ramadhan AMT masih menjual berbagai macam makanan untuk berbuka.
Selain itu bagi yang ingin memperdalam pengetahuannya, bisa mengikuti obrolan santai menjelang berbuka bersama ustadz Iip Wijanto dengan tema “Pacaran dalam Islam? Ya atau tidak?”, yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 Agustus 2010 pukul 16.00 WIB di masjid At-Taqwa. Untuk buka bersama dengan remaja masjid se-Piyungan akan dilaksanakan pada hari Ahad, 5 September 2010 pukul 16.00 WIB bersama Ustd. Dwi Budiyanto yang merupakan dosen UNY dan penulis buku “Segenggam Rindu untuk Istriku dan buku Prophetic Learning”, yang akan membahas mengenai “Facebookan dan twitteran saat puasa, gimana ya?”. Kedua acara tersebut gratis dan terbuka untuk umum. Jadi bagi siapa saja yang tertarik untuk mengikutinya, jangan sungkan-sungkan untuk datang ya.
Tak ketinggalan juga bagi Adik-Adik TPA, AMT akan mengadakan lomba TPA se-Piyungan yang akan dilaksanakan tanggal 29 Agustus mulai pukul 08.00 WIB dengan 10 jenis lomba yaitu lomba Tartil Al-Qur’an, lomba Cerdas Cermat Agama ( CCA ), lomba Hafalan Juz ‘ama, lomba Ikrar dan Puitisasi Al-Qur’an, lomba Peragaan Shalat, lomba Da’i cilik, lomba Adzan & Iqomah, lomba Kaligrafi, lomba Mewarnai dan lomba nasyid. Lomba ini merupakan kegiatan rutin di bulan Ramadhan dan sudah terlaksana 15 kali yang akan memperebutkan piala bergilir dan memberikan uang pembinaan untuk juara umum I, II, dan III. Pendaftaran dimulai tanggal 24 – 26 Agustus 2010 di masjid At-Taqwa.
Bulan Puasa yang indah ini alangkah baiknya selalu mengisi hari-hari dengan aktifitas yang positif seperti selalu berbuat baik serta beramal dengan hati yang ikhlas, seperti yang telah dilakukan oleh Angkatan Muda At-Taqwa (AMT) Payak pada hari Sabtu, 22 Desember 2010 dengan membagikan makanan berbuka di depan kompleks Masjid At-Taqwa yang berada di Jln. Wonosari km.12,5. Sasaran pemberian makanan berbuka adalah pengendara kendaraan baik di utara maupun selatan jalan. Pembagian makanan berbuka ini dilaksanakan setiap hari Sabtu selama bulan ramadhan dimulai pukul 17.00 WIB sampai makanan yang dibagikan habis. Selain itu, pengendara juga bisa mampir sejenak untuk membeli makanan berbuka yang lain karena Pasar Sore kampoeng Ramadhan AMT masih menjual berbagai macam makanan untuk berbuka.
Selain itu bagi yang ingin memperdalam pengetahuannya, bisa mengikuti obrolan santai menjelang berbuka bersama ustadz Iip Wijanto dengan tema “Pacaran dalam Islam? Ya atau tidak?”, yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 Agustus 2010 pukul 16.00 WIB di masjid At-Taqwa. Untuk buka bersama dengan remaja masjid se-Piyungan akan dilaksanakan pada hari Ahad, 5 September 2010 pukul 16.00 WIB bersama Ustd. Dwi Budiyanto yang merupakan dosen UNY dan penulis buku “Segenggam Rindu untuk Istriku dan buku Prophetic Learning”, yang akan membahas mengenai “Facebookan dan twitteran saat puasa, gimana ya?”. Kedua acara tersebut gratis dan terbuka untuk umum. Jadi bagi siapa saja yang tertarik untuk mengikutinya, jangan sungkan-sungkan untuk datang ya.
Tak ketinggalan juga bagi Adik-Adik TPA, AMT akan mengadakan lomba TPA se-Piyungan yang akan dilaksanakan tanggal 29 Agustus mulai pukul 08.00 WIB dengan 10 jenis lomba yaitu lomba Tartil Al-Qur’an, lomba Cerdas Cermat Agama ( CCA ), lomba Hafalan Juz ‘ama, lomba Ikrar dan Puitisasi Al-Qur’an, lomba Peragaan Shalat, lomba Da’i cilik, lomba Adzan & Iqomah, lomba Kaligrafi, lomba Mewarnai dan lomba nasyid. Lomba ini merupakan kegiatan rutin di bulan Ramadhan dan sudah terlaksana 15 kali yang akan memperebutkan piala bergilir dan memberikan uang pembinaan untuk juara umum I, II, dan III. Pendaftaran dimulai tanggal 24 – 26 Agustus 2010 di masjid At-Taqwa.
Langganan:
Postingan (Atom)