Senin, 06 Desember 2010

Aplikasi obat hewan kecil

Aplikasi obat hewan kecil



Acyclovir
Indikasi : untuk infeksi virus terutama virus herpes.
Sediaan : tablet 250 mg, salep 3%
Dosis : cat/dog 5-10 mg/kg p.o
S2 d.d for 5-7 hari
Topical setiap 2-4 jam

Ampicillin ( 10 % )
Indikasi : bakteri G+ dan G- aerob, tidak manjur untuk E.coli dan stapilococcus aureus
Dan bakteri G- seperti Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella spp.
Sediaan : 250 mg dan 500 mg tablet
Dosis : cat/dog 5-10 mg/kg IM, SC b.i.d, 20-40 mg/kg P.O t.i.d, for 3-5 days
Common use : 0,1 ml/ kg BB… IM

Ampicillin long Acing ( duphapen LA )
Isi : benzyl penicillium procainum 150 mg
Benzylpenicillium benzathinum 112,5 mg
Pemakaian : 0,1 ml/kg BB….IM
Jangan gunakan pada hamster, marmot,dan kelinci.

Amoxicillin (15 %)
Indikasi : bakteri G+ dan G- aerob, untuk E.coli dan Stphylococcus spp, sulit untuk pseudomonas aeruginosa dan klebsiella.
Untuk infeksi saluran cerna, pneumonia, bronchitis,pharingitis dan laryngitis dan endokarditis.
Dosis : cat and dog 8,75 mg/kg IV, IM, SC s.1.d.d, atau 12,5-25 mg/kg PO 2 b.i.d
Bird 35 mg/kg IV,IM,SC s.1.d.d or 125 mg/kg PO t.i.d
Pemakaian : 0,1 ml/kg BB….IM
Jangan gunakan pada hamster, marmot,dan kelinci.

Amoxicillin 150 mg dan gentamicin 40 mg (novamox - G)
Pemakaian : 0,1 ml/kg BB.....IM

Asuntol (caumophos) dipping
Indikasi : problem ektoparasit kecuali Demodek
Pemakaian : 2,5 g tambah dengan 1 L air, gunakan 1 minggu sekali

Amitraz 19,9% dipping
Indikasi : problem ektoparasit untuk tungau demodek dan sarcoptes
Pemakaian : 5 ml tambah air 5 L


Atropin sulfas
Sediaan : 0,25 mg/ml
Indikasi : untuk mengatasi bradikardia, bradyritmis, mendilatasi pupil, mengatasi keacunan organophosphat dan carbamat.
Dosis : cat and dog
• Bradiritmis 0,02-0,04 mg/kg I.V
• Pre anastesi 0,045 mg/kg IM, SC
• Keracunan 0,2-0,5 mg/kg (1/4 I.V dan 3/4 IM) / 0,8 ml/kg BB
rabbit 0,04 mg/kg IM, SC
small mammals 0,04 mg/kg IM, SC

Amboxol Hcl
Sediaan : 30 mg tablet
Indikasi : memperlancar sekresi dahak
Dosis : 1/4-1/2 tab b.i.d

Cimetidine
Sediaan :
indikasi : untuk ulcer gastrium dan usus, gastritis, oesophagitis, dan alkalosis metabolik.
Dosis : cat 2.5-5 mg/kg IV,IM,PO. B.i.d
Dog 5-10 mg/kg IV,IM,PO. T.i.d
Efek samping : hepatotoxic dan neprotoxic. Rute IV harus pelan2 kirs lebih ari 30 menit.

Clorpromazin (2,5%)
Indikasi : penanganan kolik, anti emetik, tremor dan kejang otot, kombinasi dengan atopin untuk problem hiprsalivasi.
Dosis : Cat 2 mg/kg PO, 3 mg/kg IM atau 0,12 ml/kg
: Dog 2 mg/kg IM, 3 mg/kg PO atau 0,08 ml/kg
S.1.d.d

Cortisone asetat (2,5%)/ Prednison
Indikasi : anti inflamasi dan anti histamine
Dosis : Cat and Dog 0,5-2 mg/kg IM
Cat 2-5 mg/kg PO, b.i.d
Dog 5-15 mg/kg PO, b.i.d
Efek samping : menyebabkan anoreksia,diare, polidipsi,poliuria.
Jangan diberkan paa diabetes, gagal jantung dan osteopoosis.

Chlorampenikol (2,5%)
Indikasi : bakteriostatik, broad spektrum antibiotik G+ dan G-. bakteri yang resisten Nocardia spp dan Mycobakterium spp.
Dosis : Cat 15-30mg/kg IV,IM,PO. b.i.d
Dog 25-60 mg/kg IV,IM,PO. b.i.d
Small mammal 15-50 IM,PO. b.i.d
Bird 50 mg/kg IM , 75 mg/kg PO t.i.d
Reptile 50 mg/kg IM b.i.d

CTM
Indikasi : antihistamin,urtikaria dan pruritis
Sediaan : 4 mg tablet
Dosis : cat and Dog 1/4 tab b.i.d

Cotrimoxazol
Indikasi : kasus sal kencing, nafas dan infeksi prostate.
Dosis : cat and Dog
• Mastitis 30 mg/kg PO b.i.d 7 hari
• CNS dan pneumocystis infeksi 15 mg/kg PO, SC b.i.d, 14 hari
• Infeksi bakteri dan coccidia 15 mg/kg PO b.i.d 10-14 hari
Small mammal 30 mg/kg IM,SC S.1.d.d
Bird 8 mg/kg IM,SC ; 20 mg/kg PO b.i.d
Reptil 15-30 mg/kg IM S.1.d.d

Diphenhidramin HCl (1%)
Indikasi : antihistamin, penanganan alergi, anti emesis dan menekan batuk.
Dosis : penekan batuk 2-4 mg/kg PO ; t.i.d
Anti pruritis 1-2 mg/kg PO, IM ; t.i.d

Enroloxaxin (10%)
Indikasi : baktericidal antibiotik, infeksi urogenital dan kulit.
Dosis : cat and Dog 5 mg/kg SC, PO ; S.1.d.d
Small mammal 5 mg/kg SC,PO b.i.d atau 20 mg/kg SC,PO S.1.d.d
Reptile 5 mg/kg IM,PO S.1.d.d
Bird 10 mg/kg IM,PO ; b.i.d atau 20 mg/kg IM,PO ; S.1.d.d

Fluconazol ..............antifungal infektion
Indikasi : blastomyces sp, candida sp,criptococcus, coccidiodes, histoplasma, aspergilus dan penicillium.
Sediaan : 100 mg tab
Dosis : cat 5 mg/kg PO
Dog 10-12 mg/kg PO
S.1.d.d
Bird 15 mg/kg PO S.2.d.d

Fundamin E ...............vit B1, B6, B12, dan E dosis tinggi
Indikasi : untuk multivitamin dan merpercepat pertumbuhan
Sediaan : 200 mg tab
Dosis : cat and Dog 1/4 tab per hari




Fulcin (Griseofulfin)
Indikasi : fungistatik antibiotik trycopiton, microsporum dan epidermophyton.
Dosis : cat and Dog 15-30 mg/kg PO
Small mammal 25-30 mg/kg PO
S.1.d.d selama 3-4 minggu

Furosemid (lasix 5%)
Dosis : cat and Dog 1-2 mg/kg IM ; t.i.d atau 2 mg/kg PO, b.i.d
Small mammal 1-2,5 mg/kg IM,SC,PO, b.i.d
Bird 7,5 mg/kg IM,SC

H2O2
Indikasi : emetika dan untuk membersihkan telinga.
Dosis : 5 cc per ekor

Kalvidog
Indikasi : untuk vitamin dan keindahan kulit
Pemakaian : sediaan tablet
Anak anjing 1/2 tab per hari
Anjing 1 tab per hari
Mebendazol
Indikasi : anhelmentik
Dosis : sediaan 100 mg tab
: cat and dog
Ascarid, BW < 2 kg : 50 mg, b.i.d for 2 days; > 2 kg : 100 mg, b.i.d for 2
days
Cacing lain, BW < 2 kg :50 mg, b.i.d for 5 days; 2-30 kg : 100 mg, for 5
days; . 30 kg : 200 mg, b.i.d for 5 days
Methicol
Indikasi : penyakit hepar
Pemakaian : sediaan 200 mg
Cat/dog : 25-35 mg/kg P.O, b.i.d for 5-7 days
Metocloramid (5 %)
Indikasi : anti emetic
Pemakaian : sediaan 10 mg tab
Cat/dog : 0,5-1 mg/kg IM,PO t.i.d
Neurobiovit ( vit B1, B6, B12 )
Indikasi : untuk memperkuat syaraf
Pemakaian : cat/dog : 0,1 ml/kg IM
Novaldon
Indukasi : anti inflamasi, analgetik dan antipiretik
Pemakaian : cat/dog : 0,05-0,1 ml/kg
Norit (carbo absorben) …………. Anti diare
Pemakaian : cat/ dog :

Oxyteracyclin ( 20% )………..bakteriostatik, G+ dan G-,riketsia, mycoplasma dan
pirocetes
Pemakaian : sediaan 500 mg tab
Cat/dog : 7-11 mg/kg IM,SC,IV s.1.d.d
: 10-20 mg/kg PO, t.i.d empy stomach
Bird : 50 mg/kg IM, 2 hari sekali
2,5 g/l dalam air minum
Praziquantel ............. Taenia sp, Dypillidium sp, Echinococcus sp.
Pemakaian : sediaan 50 mg
cat/dog : 5 mg/kg PO, drontal 1 tab/10 kg. Drontal cat : 1 tab/4 kg
berikan sekali, diatas umur : 2 minggu (anjing), 6 minggu (kucing)
Pyrantel Pamoat ……… anti nematoda
Pemakaian : sediaan 125 mg tablet
Cat : 20 mg/kg PO. Ulang 7-10 kemudian.
Dog : 5 mg/kg PO. Ulang 7-10 kemudian.
Pyrantel syrup (combantrin)......anti nematoda
Pemakaian : sediaan 125mg/5ml. Cth 1/2 , s.1.d.d for 3 days
Serenace liquid ( 2 mg haloperidol ) …….. anti emetic dan tranzqulaizer
Pemakaian : 1-2 tetes per hari, jika perlu
Tinkanium ……… infeksi bakteri dan koksidia, nepritis, metritis,mastitis,rhinitis dan
Pneumonia.
Pemakaian : sediaan 00 mg tab (trimetroprim 50 mg dan sulfatiazin 250 mg)
Cat/dog/rabbit : 15-30 mg/kg IM, 7-14 hari sekali.
Common use 0,05-0,1 ml/kg
Triveksan ………… anti nematode dan cestoda
Pemakaian : sediaan 250 mg tab
Isi : mebendazole 150 mg dan pyrantel pamoat 100 mg
Dog 22 mg/kg, s.1.d.d, for 3 days
Vit B1 (10%)………...problem kelemahan syaraf
Pemakaian : sediaan 25 mg tab
Cat/dog : devisiensi 50 mg/kg s.1.d.d, IM,PO
Vit B12……ikeal disease, gangguan bacterial pada usus
Pemakaian : cat/dog : 20 microgram/kg IM, SC

ENTERITIS DAN TOXOCARIASIS PADA ANJING ”CHOCO”

INTISARI


Pada hari Rabu tanggal 27 Oktober 2010 telah dilakukan pemeriksaan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Hewan Kuningan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada terhadap anjing ”Choco” dengan signalemen domestik, ♂, 2 bulan, cokelat, atas pemilik Ruth Debora yang beralamat di Jalan Kaliurang Km 5, Yogyakarta.
Berdasarkan Anamnesa tiga hari yang lalu diare, belum pernah diberi obat cacing, belum pernah di vaksin, diberi makan nasi dan hati, nafsu makan dan minum bagus. Status Praesens: kondisi tubuh sedang, ekspresi muka lesu, frequensi nafas 56x/ menit, pulsus 80x/ menit, temperatur 37,6 °C, turgor kulit baik, rambut tidak rontok. Konjungtiva pucat, CRT<2 detik, cermin hidung basah. Tidak ada pembengkakan pada kelenjar limfe. Inspeksi anus bersih, palpasi abdomen tidak ada rasa sakit, gerak peristaltik meningkat. Sistole-distole dapat dibedakan (normal). Tipe nafas thoracoabdominal, auskultasi vesikuler. Palpasi ginjal tidak ada rasa sakit. Refleks pupil, palpebra, dan pedal baik. Dapat berdiri dan berjalan dengan normal. Berat badan 1,4 kg. Pemeriksaan feses natif (+) Toxocara sp. Pemeriksaan darah hewan mengalami anemia mikrositik hiperkromik, leukositosis, neutrofilia, eosinofilia, dan terjadi penurunan TPP.
Hewan didiagnosa Enteritis dan Toxocariasis dengan prognosa fausta. Hewan diterapi dengan injeksi amoxicilin 0,14 cc i.m, s.2.d.d, selama 4 hari, injeksi duradryl 0,14 cc i.m, s.1.d.d, selama 4 hari, injeksi hematopan B12 0,28 cc i.m, s.1.d.d, selama 4 hari, pyrantel pamoat.s.haust.pulv.I.
Setelah diberi terapi anjing sudah tidak diare, kondisi tubuh membaik, ekspresi muka ceria, konjungtiva pink, makan dan minum banyak, lincah dan agresif. Hal ini menunjukkan bahwa hewan mengalami proses penyembuhan setelah diberi pengobatan.













TINJAUAN PUSTAKA

Enteritis
Radang usus yang bersifat akut maupun kronis dapat mengakibatkan peningkatan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar pencernaan serta penurunan proses penyerapan cairan maupun sari-sari makanan yang terlarut di dalamnya. Radang usus primer maupun sekunder ditandai dengan menurunnya nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare. Perasaan sakit karena adanya radang usus bersifat bervariasi, tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat keradangan yang dideritanya (Subronto, 1995).
Radang ini dicirikan dengan kehilangan perakut gerakan mukosal intestinal dengan perpindahan secara cepat dari darah, cairan dan elektrolit ke lumen usus. Dehidrasi dan shock hipovolemik terjadi secara cepat. Translokasi dari bakteri atau toksin bakteri akan menyebabkan kerusakan mukosa intestinum dan mengakibatkan shock septik atau shock endotoksik. Elektrolit, terutama Natrium dan Kalium ikut hilang bersama dengan hilangnya cairan tubuh. Terganggunya keseimbangan elektrolit dalam tubuh dapat menyebabkan dehidrasi yang bisa berakibat fatal, apalagi dalam keadaan sakit yang berat, baik pada hewan dewasa maupun muda (Nugroho dan Whendarto, 1998).
Etiologi
Radang usus dapart dibedakan oleh berbagai agen etiologik, baik yang bekerja secara terpisah atau secara bersama-sama (Subronto, 1995). Enteritis dapat disebabkan oleh agen infeksius (bakteri, virus), diet makanan yang buruk, perubahan diet pakan mendadak, bahan kimia (fenol, arsen, thalium , phosphor) dan parasit (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003)
Kuman –kuman yang dapat menyebabkan enteritis antara lain Escherichia coli, Salmonella sp., Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens.
Parasit yang dapat menyebabkan enteritis antara lain Ancylostoma sp., Toxocara sp., Strongyloides, cacing pita, Protozoa (Giardia, Coccidia, Cryptosporodia).
Radang usus yang disebabkan oleh virus antara lain Canine Parvoviral Enteritis dan Canine Coronaviral Enteritis.
Patogenesis
Rasa nyeri pada radang akan mengakibatkan rangsanganpada ujung-ujung saraf sensoris, yang selanjutnya akan menaikkan frekuensi dan intensitas peristaltik usus. Dengan meningkatnya peristaltik kesempatan penyerapan di dalam usus halus akan berkurang. Sel-sel selaput lendir usus banyak yang mengalami kematian dan kelenjar pencernaan lebih meningkatkan sekresi getah pencernaan. Jumlah air yang tidak terserap jadi lebih banyak hingga konsistensi tinja jadi lebih encer dan pasasinya juga melebihi normalnya (terjadi diare). Kehilangan cairan tubuh akan menyebabkan dehidrasi (Subronto, 1995).
Gejala
Rasa sakit ditandai dengan kegelisahan. Diare merupaka gejala yang selalu dijumpai dalam radang usus. Tinja yang cair dengan bau yang tajam mungkin bercampur dengan darah, lendir atau reruntuhan jaringan usus. Pada radang yang kronik, terjadi kekurusan dengan tinja yang bersifat cair, berisi darah, lendir atau reruntuhan jaringan yang jumlahnya mencolok. Akibat kehilangan cairan yang berlebihan, penderita akan mengalami dehidrasi yang mencolok. Radang usus akut selalu disertai dengan oligo uria atau anuria, dan disertai dengan menurunnya nafsu makan, anoreksia total maupun parsial. Pada radang kronik biasanya bafsu makan tidak mengalami perubahan (Subronto, 1995). Tanda lain seperti diare disertai atau tanpa muntah, demam, anoreksia, depresi dan sakit pada abdomen (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003).
Diagnosa
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (darah dan tinja) digunakan untuk mengidentifikasi penyebab radang usus. Diagnosa tentatif diambil bila tidak ditemukan penyakit tersifat penyebab diare (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003).
Terapi
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebab primernya, perlu dipertimbangkan pemberian protektiva, adstringensia. Rasa sakit yang terus menerus dapat dikurangi dengan pemberian analgesika atau transquilizer. Pemberian cairan faali maupun elektrolit mutlak diberikan unutuk mengganti cairan yang hilang. Pemberian antibiotik dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

Diare
Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transpor terhadap air dan elektrolit pada saluran cerna. Diare merupakan peningkatan frekuensi pengeluaran feses yang mengandung air melebihi normal (Nelson,R.W. dan Couto,C.G., 2003).
Faktor penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok :
- Gangguan fungsional : alergi makanan dan obat, cacat digesti, cacat absorbsi dan aspek fisiologi.
- Penyakit metabolik atau penyakit umum yang mempengaruhi saluran pencernaan : uremia, congestive heart failure, liver chirrosis, hypoadrenocortism, dan keracunan logam berat.
- Penyakit intrinsik pada usus : bakteri, fungi, protozoa, parasit, virus dan radang non spesifik (Kirk dan Bistner, 1985).
Mekanisme terjadinya diare dapat dibedakan dalam beberapa tipe :
1. Perubahan motilitas usus
Terjadi sebagai akibat adanya radang usus, sehingga usus(terutama usus besar) tidak mampu menahan laju isi usus dan terjadi diare.
2. Sekresi aktif
Sekresi aktif dapat disebabkan karena kerusakan usus atau penyakit sistemik seperti congestive heart failure, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena mesenterika yang mengakibatkan peningkatan sekresi cairan ke lumen usus.
3. Sekresi pasif
Peningkatan osmolalitas karena adanya maldigesti akibat kekurangan enzim pankreatik, garam empedu. Pakan yang tidak terabsorbsi akan diubah menjadi asam laktat dan asam lemak volatil oleh bakteri di kolon yang dapat menurunkan pH dan peningkatan osmolalitas menyebabkan watery diare.
4. Peningkatan permeabilitas
Adanya toksin bakteri yang menyebabkan kerusakan sel epitel GIT,memicu aktivasi enzim adenylcyclase yang akan mengkatalis perubahan ATP menjadi cyclic AMP. Cyclic AMP akan meningkatkan permeabilitas sel (Lewis et al,1992).
Kehilangan cairan dan elektrolit merupakan akibat dari diare yang perlu diwaspadai. Air, sodium, khloride, bikarbonat dan potasium merupakan unsur utama yang hilang dari tubuh. Kehilangan air, sodium, dan chloride akan menyebabkan dehidrasi. Kehilangan bikarbonat akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan kehilangan potasium akan menyebabkan penurunan nafsu makan (Lewis et al, 1992).

Toxocariasis
Penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing gelang merupakan penyakit terpenting dari penyakit cacingan oleh cacing gilig (Nematoda). Cacing gelang yang paling banyak mengakibatkan kerugian pada anjing adalah Toxocara canis. Cacing gelang lainnya, meskipun dapat menginfeksi anjing dan kucing, yaitu Toxocara leonina tidak begitu mengganggu dibandingkan Toxocara canis. Kedua cacing tersebut sangat sulit dihapuskan dari daerah tertular, dikarenakan kulit telur kedua (lapis luarnya) tebal. Dari seekor cacing betina dewasa dapat dibebaskan lebih kurang 200.000 telur per hari. Anjing dan serigala, meskipun dapat terinfeksi oleh T.cati, kejadiannya sangat jarang. (Subronto, 2006).
Toxocara canis adalah cacing gilig dari ordo Ascaridia, superfamili Ascaridoidea dan kelas Secernentea. Tiga buah bibir di sekitar mulut merupakan ciri yang paling penting dari kelompok cacing ini (Noble dan Noble, 1989). Tubuh T.canis kuat dan keputihan, dengan sayap servikal yang panjang, sempit dan agak mirip pisau. Cacing jantan panjangnya 4-10 cm dan berdiameter 2,0-3,0 mm, dengan spikulum tidak sama besar, membengkok, bersayap dan panjangnya 750-1300 mikron. Betinanya 5-18 cm dan berdiameter 2,5-3,0 mm, dengan telur agak bulat berukuran 85-90 x 75 mikron dengan dinding yang tebal dan berbintik-bintik halus (Levine, 1977)

Toxocara canis Telur T. canis dan T. leonina
Siklus Hidup
Anjing dapat terinfeksi Tocoxara canis melalui 3 jalur yaitu; transmamari, memakan telur infektif dari lingkungan atau memangsa rodensia yang mengandung larva terkapsulir dalam jaringan tubuh (biasanya pada hepar tikus) rute primer pada anak anjing yang baru lahir adalah melalui susu induk.
Mulanya telur keluar bersama tinja dan berkembang menjadi stadium infektif di tanah dalam waktu 9-15 hari di bawah kondisi optimal. Telur infektif mengandung larva stadium kedua yang tidak terselubung. Anjing terinfeksi dengan memakan telur berembrio. Telur menetas pada usus halus, dan larva stadium kedua menembus dinding usus. Pada anak anjing di bawah usia 3 bulan, kebanyakan larva masuk ke dalam pembuluh limfa, melalui kelenjar limfa dan melewati sistem portal hati menuju hati. Di sini larva berkembang sedikit tetapi tidak menyilih. Kemudian larva menuju jantung melalui vena hepatik atau vena cava dan menuju paru-paru melalui arteri pulmoner. Di sini larva tumbuh secara bebas dan kemudian bergerak melewati bronkiola ke trakea dan farings, tertelan, dan mencapai lambung menjelang hari ke 10. Larva menyilih baik dalam paru-paru, trakea, atau esofagus menjadi stadium ke tiga. Larva menyilih menjadi stadium ke empat di dalam lambung setelah beberapa hari dan kemudian pergi ke usus halus untuk menyilih menjadi dewasa 19-27 hari setelah termakan, telur muncul pada tinja 4-5 minggu setelah infeksi (Levine, 1977).

Menurut Subronto (2006). infeksi toxocara pada anjing dapat melalui beberapa jalur yaitu: infeksi langsung, infeksi intra-uterus, infeksi trans-mamaria, infeksi induk pasca melahirkan dan infeksi melalui hospes paratenik.
Infeksi langsung
Telur infektif yang mengandung larva stadium ke-2 dapat menginfeksi anak anjing sampai umur 4 minggu secara langsung dan telur menetas dalam usus halus, larva stadium ke-2 segera keluar dan bermigrasi ke dalam hati dalam waktu 2 hari. Berkembang menjadi larva stadium ketiga akan bermigrasi kedalam paru-paru. Di paru-paru larva bermigrasi dari alveoli ke broncioli lalu ke bronchi selanjutnya ke batang tenggorokan. Lalu berpindah ke pharynk yang selanjutnya menuju ke esophagus sampai ke dalam lambung dan akhirnya di usus halus. Sampai di usus halus cacing mengalami perubahan bentuk menjadi cacing dewasa.
Infeksi intra uterus
Hewan betina yang menelan telur cacing infektif, larva stadium ke-2 akan berdiam di dalam jaringan somatik saat hewan bunting larva yang infektif akan termobilisasi dan akan menembus plasenta dan selanjutnya mencapai janin. Pada saat dilahirkan anak anjing telah terinfeksi oleh larva stadium ke-3 di dalam paru-parunya. Dalam waktu 1 minggu larva akan berkembang menjadi stadium ke-4 dan perkembangan selanjutnya menjadi stadium ke-4 atau cacing muda di paru-paru.
Infeksi trans mamaria
larva infektif yang ikut terminum oleh anak anjing, di dalam lambung dan usus akan berkembang menjadi larva stadium ke tiga dan keempat dan selanjutnya menjadi cacing dewasa.
Infeksi induk pasca melahirkan
Sehabis melahirkan induk anjing mungkin membebaskan telur cacing dalam tinjanya meskipun sebelum kawin dan menjelang melahirkan anjing tersebut telah diberi obat cacing. Telur cacing cacing tersebut mungkin berasal dari larva dorman yang berkembang dan mencapai dewasa. Mungkin juga telur tersebut berasal dari cacing dewasa yang hidup di dalam usus anak kucing, yang selanjutnya membebaskan telur yang berkembang menjadi larva infektif, dikeluarkan bersama tinja. Tinja anak anjing sampai saat penyapihan dimakan oleh induknya dan larva yang infektif menjadi dewasa dalam usus induk. Periode prepaten cacing melalui perkembangan pasca melahirkan adalah 4 minggu.
Infeksi melalui hospes paratenik
Anjing yang memakan karkas binatang pengerat yang mengandung larva dorman di dalam jaringan tubuhnya. Larva dorman dapat langsung berkembang di dalam usus halus anjing tanpa harus migrasi di dalam tubuh anjing.



Gambar siklus hidup Toxocara canis

Toxascaris leonina dapat menginfeksi anjing dengan dua cara yang berbeda, yaitu pertama melalui ingesti telur infektif yang mengandung larva stadium kedua. Jalan kedua melalui ingesti hospes antara yang mengandung sista larva stadium ketiga. Pada T. leonina tidak terjadi migrasi jaringan sehingga tidak terjadi infeksi secara prenatal dan transmamaria


Patogenesis
Perjalanan larva yang melewati paru-paru dapat menyebabkan terjadinya edema pada organ tersebut. Edema dapat megakibatkan batuk, dispnoe, selesma dengan eksudat yang berbusa dan kadang disertai dengan darah. Infeksi cacing yang berat dapat menyebabkan gangguan usus yang di tandai dengan sakit perut, obstruksi dan perforasi usus hingga tampak gejala peritonitis (Subronto, 2006).
Gejala klinis
Infeksi Toxocara canis dapat menimbulkan gangguan yang serius pada anak anjing. Infeksi cacing dalam jumlah yang kecil jarang menimbulkan gejala infeksi. Sejumlah besar larva dapat masuk ke dalam anak anjing melalui air susu induk dan berkembang menjadi cacing dewasa dan dapat menyebabkan malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan emasiasi. Adanya sejumlah besar cacing dewasa dapat menyebabkan sumbatan intestinal, hemoragi khususnya pada anak anjing . Cacing dewasa kadang ditemukan pada muntahan. Anjing yang terinfeksi berat akan akan terlihat lemah yang disebabkan oleh anemia. Ekspresi muka tampak sayu, mata berair, mukosa mata dan mulut tampak pucat. Perut tampak menggantung. Anjing akan malas bergerak. Pada hewan muda sering gejala konvulsi ditemukan yang disebabkan oleh rangsangan syaraf pusat oleh toksin cacing (Subronto, 2006).
Terapi
Piperazine, dosis untuk anjing 20-30mg/kg p.o; derivat tetrahidropirimidin (pyrantel pamoat dosis 8-10 mg/kg p.o), derivat benzimidazol (albendazol dan mebendazol dosis 25mg/kg p.o diberikan 5 hari berturut-turut) (Rossoff,1994).

Amoxicilin
Amoxicilin tersedia dalam bentuk serbuk injeksi yang tiap vial berisi amoxicillin sodium yang setara dengan amoxicillin 1000 mg. Konsentrasi larutan amoxicilin injeksi ini adalah 10%. Amoxicillin merupakan antibiotik semi sintetik dari penisilin. Amoxicilin merupakan penicilin yang tahan asam, termasuk asam lambung. Hal ini dikarenakan amoxicilin memiliki gugus phenoxyl yang terikat oleh gugus alkyl dari rantai acylnya (Subronto dan Tjahjati, 2008).
Pada Senyawa ini terdapat gugus hidroksil fenolik tambahan dan dapat bekerja terhadap bakteri Gram negatif seperti Escherchia colli atau Proteus mirabilis, karena itu amoxicilin disebut penisilin spectrum luas. Aktifitas antibakteri amoxicilin ini terletak pada cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Penisilin mudah dirusak oleh agen-agen berbeda yang bervariasi, seperti asam dan basa, logam berat, agen pengoksidasi, alkohol dan panas (Thomas dan Grainger, 1952). Resistensi terhadap golongan penisilin dibagi dalam beberapa katagori yang berbeda yaitu pada bakteri tertentu (misalnya, kebanyakan Staphylococcus aureus, beberapa Haemophilus influenzae dan gonococcus. Kebanyakan batang enterik Gram negatif) menghasilkan beta-laktamase (penicillinases), yang menginaktifkan penisilin dengan memecah cincin beta-laktam. Kontrol genetik pada pembentukan beta-laktamase oleh Staphylococcus aureus terdapat kira-kira 50 enzim berbeda satu terletak pada plasmid yang dapat dipindahkan. Penisilin lain (misalnya, nafsilin) dan sefalosforin resisten terhadap beta-laktamase karena cincin beta-laktamnya dilindungi oleh bagian rantai samping. Resistensi penisilin seperti ini aktif terhadap organisme penghasil beta-laktamase. Bakteri lain tidak membentuk beta-laktamase tetapi resisten terhadap kerja penisilin karena kurang mempunyai reseptor yang spesifik atau kurangnya permeabilitas lapisan luar, sehingga obat tersebut tidak mencapai reseptor (Katzung, 1998)
Beberapa bakteri mungkin tidak rentan terhadap kerja penisilin yang mematikan karena enzim autolik didalam dinding sel tidak aktif. Organisme yang toleran tersebut (misalnya, Staphylococcus tertentu, Streptococcus, Listeria) dihambat tetapi tidak dibunuh. Organisme tanpa dinding sel atau (bentuk Mycoplasma L) yang secara metabolik tidak aktif bersifat tidak rentan terhadap penisilin dan penghambat dinding sel lainnya karena mereka tidak mensistesis peptidoglikan. Beberapa bakteri (misalnya, Staphylococcus) mungkin resisten terhadap kerja beta-laktam pada penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase seperti metisilin. Mekanisme resisten ini tampaknya bergantung pada defisiensi atau tidak dapat dicapainya Penicilin Binding Protein (PBP), hal ini tidak bergantung pada produksi beta-laktamase dan frekuensinya sangat bervariasi dengan lokasi geografis (Katzung, 1998).
Dosis pemberian amoxicilin pada anjing yaitu 7 mg/kg im q12 jam (Tennant, 2002), atau 10-20 mg/kg 2 kali sehari selama 4 hari (Rossoff, 1994).

Duradryl
Duradryl merupakan antihistamin dalam bentuk larutan injeksi yang tiap ml mengandung diphenhidramin HCl 10 mg. Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel dengan mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Ikatan dengan sel akan menyebabkan tidak adanya efek histamin pada sel tersebut. Diphenhidramin HCl sendiri merupakan antihistamin dari klas ethanolamine, yang dapat mengandung sedatif, antimuskarinik, dan anti emetika, sehingga dapat menekan gejala batuk, serta antihistamin (H1) menekan muntah dan pruritis (Tennant, 2002). Penggunaan secara i.m jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan.
Antihistamin H1 digunakan dalam mencegah aksi histamin pada bronchial, intestinal, uterus, mukulus halus pembuluh darah. Sebagai antagonis terhadap efek vasokonstriksi oleh histamin dan lebih berpengaruh terhadap efek vasodilatator dalam meningkatkan permeabilitas kapiler. Antihistamin ini berefek terhadap urticaria dan beberapa tipe edema sebagai respon terhadap kelukaan, antigen, alergen dan senyawa histamin yang dibebaskan oleh beberapa spesies.
Setiap antihistamin dapat menghasilkan efek samping. Salah satu yang penting secara klinik pada penghambatan H1 yaitu sedasi atau rangsangan CNS, gangguan gastrointestinal, aksi parasimpatolitik, efek teratogenik dan anastetik. Pada dosis terapeutik dapat berefek sedativa, dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritabilitas, konvulsi, hiperpireksia, dan bisa menyebabkan kematian
Diphenhydramin umum digunakan pada pengobatan rhinitis karena alergi, gigitan serangga dan karena nyeri. Efek samping yang paling umum diketemukan seperti rasa ngantuk, ataksia, mulut kering, tachycardia, photophobia, dilatasi pupil, retensi urinaria, konstipasi dan gangguan pengelihatan (Adam,1995). Sehingga penggunaan diphenhdramin kontraindikasi terhadap penderita retensi urin, glaukoma, dan hiperthyroidism (Tennant, 2002).
Dosis pemberian diphenhidramin HCl pada anjing yaitu 1 mg/kg secara i.m atau i.v (Tilley dan Smith, 2004).

Pyrantel Pamoat
Pyrantel merupakan obat cacing golongan tetrahidropirimidin, derivat dari imidazothiazole dengan rumus kimia yaitu E-1,4,5,6-tetrahydro-1-methyl-2-[2-(2-thienyl)vinyl]-pyrimidine (Ganiswarna, 1995) dengan garam pyrantel yang diproduksi adalah pamoat. Garam ini berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, meskipun yang berbentuk cairan bila terkena matahari akan mengalami fotoisomerisasi, yang tidak memiliki potensi sebagai obat cacing, sehingaga bila telah dilarutkan harus segera dihabiskan. Pada hewan berlambung tunggal, pyrantel segera diserap setelah pemberian dengan kadar puncak plasma tercapai dalam 2-3 jam. Setelah memasuki tubuh pyrantel segera dimetabolismekan dan di dalam kemih tidak ditemukan senyawa pyrantel utuh. Yang diekskresikan lewat urin mencapai 40%. Garam pamoat pyrantel sulit larut di dalam air, dan hal tersebut sangat menguntungkan untuk membunuh cacing-cacing yang hidup di bagian posterior usus. Terhadap parasit pyrantel menyebabkan kelumpuhan karena kejang otot yang berlebihan, mirip bila asetilkholin berlebihan diberikan kepada cacing. Kemoreseptor yang terdapat pada badan-badan karotis dan aorta, ganglion-ganglion otonom, kelenjar adrenal dan sambungan neuromuskuler terangsang secara terus menerus hingga akibatnya terjadi kelumpuhan (nikotin-like effect). Efek kontraktil otot-otot cacing oleh pyrantel diperkirakan 100 kali lebih besar daripada asetilkholin. Bila efek asetilkholin bersifat reversibel, tidak demikian halnya dengan efek oleh pyrantel. Sediaan pyrantel tidak dianjurkan digunakan untuk hewan yang lemah sekali (Subronto, dan Tjahajati, 2008).
Absorbsi pyrantel pada usus tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala. Penggunaan pirantel pamoat tidak boleh diberikan bersama piperazin karena efek kerjanya berlawanan (Ganiswarna, 1995).
Pyrantel digunakan untuk kontrol cacing seperti Toxocara canis, Toxascaris leonina, Ancylostoma caninum, Ancylostoma brazieliensis dan Uncinaria stenocephala (Tennant, 2002). Obat ini dapat menyebabkan cacing mati dalam keadaan spastis (Ganiswarna, 1995).
Pemberian pirantel pamoat sebaiknya diberikan pada anjing umur lebih dari 2 minggu dengan dosis 8-10 mg/kg sekali secara per oral setelah makan (Tilley dan Smith, 2004; Rossoff, 1994).

Hematopan B12
Vitamin B12 (sianokobalamin) bersama asam folat sangat penting untuk metabolisme intrasel. Vitamin B12 dan asam folat dibutuhkan untuk sintesis DNA yang normal, sehingga defisiensi salah satu vitamin ini menimbulkan gangguan produksi dan maturasi eritrosit. Kekurangan vitamin B12 dapat disebabkan oleh kurangnya asupan, terganggunya absorbsi, destruksi yang berlebihan atau ekskresi yang meningkat. Defisiensi kobalamin ditandai dengan gangguan hematopoesis, gangguan neurologi, kerusakan sel epitel, terutama epitel saluran cerna. Penggunaan asam folat dapat memperbaiki anemia (Tanu, 2007).









RIWAYAT KASUS

Nomor : 733
Tanggal periksa I : 27 Oktober 2010
Jenis / Nama hewan : Anjing / Choco
Pemilik/ Alamat : Ruth Debora Jalan Kaliurang Km 5, Yogyakarta
Signalemen : domestik, ♂, 2 bulan, cokelat
Anamnesa : Tiga hari yang lalu diare dan muntah, belum pernah diberi obat cacing, belum pernah di vaksin, diberi makan nasi dan hati, nafsu makan dan minum bagus.
Status Praesens:
• Keadaan umum : Kondisi tubuh sedang, ekspresi muka lesu.
• Frequensi nafas : 56x/ menit
Pulsus : 80x/ menit
Temperatur : 37,6 °C
• Kulit dan rambut : Turgor kulit baik, rambut tidak rontok.
• Selaput lendir : Konjungtiva pucat, CRT<2, cermin hidung basah.
• Pencernaan : Inspeksi anus bersih, palpasi abdomen tidak ada rasa sakit, gerak peristaltik meningkat.
• Peredaran darah : Sistole-distole dapat dibedakan (normal)
• Pernafasan : Tipe thoracoabdominal, auskultasi vesikuler
• Kelamin : Palpasi ginjal tidak ada rasa sakit
Perkencingan
• Syaraf : Refleks pupil, palpebra, pedal baik
• Anggota gerak : Dapat berdiri dan berjalan dengan normal..
• Kelenjar limfe : Palpasi tidak ada pembengkakan.
• Berat badan : 1,4 kg
Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan feses : natif (+) Toxocara sp
• Pemeriksaan kulit : ( - )
• Pemeriksaan darah : anemia mikrositik hiperkromik
: leukositosis (neutrofilia) : eosinofilia
: TPP menurun
Diagnosa
• Enteritis dan Toxocariasis
Prognosa
• Fausta
Tata laksana
inj/ Amoxicilin 0,14 cc i.m
s.2.d.d. selama 4 hari
inj/ Duradryl 0,14 cc i.m
s.1.d.d. selama 4 hari
inj/ Hematopan B12 0,28 cc i.m.
s.1.d.d. selama 4 hari
R/ Pyrantel pamoat mg 125 tab I
Saq lac q.s
m.f.l.a. pulv IX
s.haust. pulv I













HASIL

Tabel 1. Data pengobatan, pemeriksaan fisik dan keadaan pasien dan perkembangan penyakit tanggal 28 – 31 Oktober 2010

Keterangan 28/10 29/10 30/10 31/10
Amoxicillin diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd)
Duradryl Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd)
Hematopan B12 Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd)
Pyrantel pamoat Diberikan (s.haust)
Temperatur Normal Normal Normal Normal
Nafas Normal Normal Normal Normal
Pulsus Normal Normal Normal Normal
CRT <2 <2 <2 <2
Nafsu makan ada ada ada ada
Nafsu minum ada ada ada ada
Defekasi diare diare normal normal
Berat badan (kg) 1,4
Natif (+) Toxocara
Pemeriksaan darah dilakukan












Tabel 2. Data hasil pemeriksaan darah awal (28 Oktober 2010)

Pemeriksaan darah Unit Standar* Hasil
(28/10/10) Ket.
Eritrosit 106/µ 4,7±0,4 4,16 menurun
Hb g/dL 10,3±0,9 8,8 menurun
PCV % 31,4±2,4 25 menurun
MCV fl 65,8±2,3 60,09 menurun
MCHC % 32,6±1,8 35,2 meningkat
TPP g/dL 6-8 3,9 menurun
Fibrinogen g/dL 0,05-0,3 0,2 normal
Leukosit Sel/mm3 15700±4400 37000 meningkat
Neutrofil segmented (R) % 71
(A) Sel/mm3 8500±2900 26270 meningkat
Limfosit (R) % 15
(A) Sel/mm3 6100±1900 5550 normal
Monosit (R) % 4
(A) Sel/mm3 1400±700 1480 normal
Basofil (R) %
(A) Sel/mm3 Rare - normal
Eosinofil (R) % 10
(A) Sel/mm3 400±400 3700 meningkat
*Standar normal dari Schalm’s Veterinary Hematology (Feldman et al., 2000)






PEMBAHASAN

Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik anjing “Choco” mengalami diare selama 3 hari dengan keadaan tubuh yang sedang dan ekspresi muka yang lesu, dimana nafsu makan dan minumnya masih baik. Setelah dilakukan pemeriksan fisik ditemukan adanya gerak peristaltik usus yang meningkat saat diauskultasi pada daerah abdomen. Penyebab diare ini dapat dikarenakan infestasi cacing, dan dengan pemeriksaan feses di laboratorium ditemukan telur dari Toxocara sp.
Diare merupakan peningkatan frekuensi pengeluaran feses yang mengandung air melebihi normal (Lewis et al, 1992; Nelson, RW and Couto, CG., 2003). Mekanisme terjadinya diare dapat dibedakan dalam beberapa tipe yaitu perubahan motilitas usus, sekresi aktif, sekresi pasif/peningkatan osmolalitas dan peningkatan permeabilitas. Perubahan motilitas usus dapat terjadi sebagai akibat adanya radang usus, sehingga usus (terutama usus besar) tidak mampu menahan laju isi usus dan terjadi diare.
Kehilangan cairan dan elektrolit merupakan akibat dari diare yang perlu diwaspadai. Air, sodium, chloride, bicarbonat dan potassium merupakan unsur-unsur utama yang hilang dari tubuh. Kehilangan air, sodium dan chloride akan menyebabkan dehidrasi. Kehilangan bicarbonat akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan kehilangan potassium akan menyebabkan kelemahan dan penurunan nafsu makan ( Lewis, et al., 1992).

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan terhadap feses serta pemeriksaan darah.
a. Pemeriksaan feses
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses secara natif ditemukan adanya telur dari nematoda yaitu Toxocara sp. Ada dua jenis cacing yang menginfestasi anjing yaitu Toxocara canis dan Toxascaris leonina. Toxocara canis dan Toxascaris leonina terdapat diseluruh dunia. Di Amerika Serikat Toxocara canis jauh lebih banyak daripada Toxascaris leonina (Subronto, 2006). Selain menyebabkan timbulnya gejala diare, infestasi cacing yang banyak dapat menyebabkan anemia. Cacing dewasa kadang dimuntahkan, atau keluar secara spontan bersama tinja. Tidak mustahil bila jumlah cacing dewasa cukup banyak di dalam usus halus dapat terjadi obstruksi saluran empedu hingga terjadi ikterus (Subronto, dan Tjahajati, 2004).

Gambaran telur Ancylostoma sp dari hasil pemeriksaan feses anjing Choco
secara natif tanggal 27 Oktober 2010. Telur tidak bersegmen, berbentuk
bulat dengan dinding yang tebal.

Cacing Toxocara canis pada stadium larvanya mampu melakukan migrasi menuju saluran pernafasan, masuk dalam alveoli dan dapat menyebabkan pneumonia. Sedang pada stadium dewasa bila jumlah cacing cukup banyak dapat menyumbat usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus halus, namun jika jumlahnya sangat banyak kadang cacing dewasa juga terdapat dalam usus besar dan rektum, sehingga kadang cacing tersebut dapat ikut keluar bersama feses (Subronto, 2004).
Infeksi cacing ini juga dapat menyebabakan anoreksia karena cacing mengeluarkan kolesistokinin yang dapat mendepres sistem syaraf sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan. Adanya parasit cacing akan menyebabkan degranulasi mastcell, sehingga histamin akan disekresikan yang mengakibatkan peningkatan kontraksi usus/peristaltik dan menyebabkan diare. Infeksi cacing Toxocara ini dalam jumlah banyak dapat menyebabkan penurunan absorbsi bahan makanan, sehingga terjadi hypoalbuminemia yang selanjutnya menyebabkan kekurusan dengan busung lapar (asites). Pada anjing muda perutnya jelas memperlihatkan pembesaran dan tampak menggantung (potbellied) (Subronto, 2006).

b. Pemeriksaan darah
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah I tanggal 28 Oktober 2010, yaitu sebelum pasien mendapat pengobatan, anjing “Choco” mengalami anemia mikrositik hiperkromik, leukositosis, netrofilia, eosinofilia, dan TPP menurun.
Anemia dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan produksi atau oleh kehilangan atau destruksi eritrosit yang meningkat. Hal ini dapat terjadi pada pendarahan akut atau kronis, dapat ditimbulkan oleh toksin yang menyebabkan hemolisis dan destruksi eritrosit, penurunan pembentukan darah oleh destruksi atau hilangnya fungsi jaringan pembentuk darah, kegagalan pembentukan eritrosit oleh defisiensi nutrisi misalnya Fe dan vitamin B12 (Haper et al., 1979).
Toxocara sp yang menginfeksi anjing Choco menyebabkan MCV menurun. Mean Corpuscular Volume (MCV) turun berhubungan dengan defisiensi besi, defisiensi vitamin B6 (pyridoxine), dan kehilangan darah kronis yang berkaitan dengan internal parasit. Defisiensi besi dapat disebabkan karena penyakit cacing toxocara yaitu terjadi perdarahan di usus halus, sedangkan hal ini menciri dengan Hb < 10 mg/dl, terjadi anemia mikrositik dimana MCV < 63 fl. Menurut Hariono (1993) turunnya MCV disebabkan karena defisiensi Fe, dimana telah terjadi penyakit cacingan kronis, gangguan absorbsi Fe, atau defisiensi Cu.
Gambaran leukositosis terjadi akibat peningkatan jumlah leukosit. Peningkatan jumlah leukosit ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dari masing-masing sel darah putih, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan darah terjadi peningkatan neutrofil. Dalam hal ini neutrofilia dapat terjadi akibat respon inflamasi terhadap infeksi bakteri secara primer atau sekunder atau respon terhadap benda asing lainnya (Hariono, 1993).
Neutrofilia menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan sel darah putih tersebut untuk melawan agen infeksi di jaringan, sehingga sumsum tulang aktif memproduksi sel-sel darah putih tersebut, sehingga jumlah neutrofil di darah juga ikut meningkat. Menurut McGavin dan Zachary (2007) adanya neutrofilia menunjukkan respon akut dari infeksi bakteri dalam melindungi jaringan.
Infeksi bakteri akan memicu pergerakan neutrofil ke jaringan yang rusak. Akibatnya, sumsum tulang akan melepaskan neutrofil ke dalam pembuluh darah lebih banyak karena permintaan neutrofil di jaringan meningkat untuk memfagosit agen infeksi (Feldman et al., 2000). Neutrofil dapat memfagosit benda asing dengan diameter mencapai 0,5µm. Kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri tergantung pada isi granulanya yang menyimpan enzim degradasi, enzim peroxidatif, adhesion moleculer, protein/peptid antimikroba (McGavin dan Zachary, 2007).
Menurut Willard et al (1994) neutrofilia dan leukositosis dapat terjadi karena empat faktor utama, 1) terjadi keradangan, 2) stress/steroid, 3) latihan/epinephrine, dan 4) leukemia. Kejadian neutrofilia pada anjing Choco kemungkinan disebabkan oleh keadaan karena takut, latihan atau karena kegelisahan karena penanganan secara kasar dapat memacu pembebasan epinephrine endogenous yang beralangsung singkat 20-30 menit sehingga terjadi peningkatan CNP. Kemungkinan lain karena faktor stress. Stress dapat memacu pelepasan kortikosteroid oleh konsekuensi adanya resa nyeri, trauma dan lainnya. Kortikosteoid dapat menurunkan perlekatan neutrofil pada dinding pembuluh darah dan emigrasi neutrofil dari pembuluh darah.
Eosinofilia pada pemeriksaan darah anjing “Choco” disebabkan oleh parasit. Eosinofil berfungsi dalam membunuh parasit dan mengatur intensitas reaksi hipersensitivitas yang di perantarai oleh IgE ( Willard et a,l 1994). Menurut Hariono (1993) kejadian eosinofilia terjadi karena infestasi parasit dengan proses sensitasi atau karena kontak antara jaringan hospes dengan parasit dalam waktu yang lama akan merangsang eosinofilia. Eosinofil ditarik kedalam jaringan oleh karena parasit di jaringan. Toxocara sp adalah endoparasit yang menginfeksi anjing “Choco” yang bisa menyebabkan eosinofil pada pemeriksaan darahnya meningkat. Kehadiran parasit tersebut dalam tubuh anjing “Choco” dalam waktu yang lama memacu produksi eosinofil dari sumsum tulang untuk mengeliminasi parasit dalam tubuhnya. Menurut Willard et a,l (1994) eosinofil membunuh parasit dengan menempel pada parasit dan membentuk vakuola digesti diantara parasit dan eosinofil Kejadian eosinofilia terkait dengan kehadiran sel mast dan IgE. Menurut Willard et al (1994) sel mast secara khusus ditargetkan ke parasit oleh IgE atau IgG dari limfosit B.
Anjing “Choco” juga mengalami penurunan total protein plasma (TPP) yaitu sebesar 3,9 g/dL sedangkan normal TPP pada anjing 6-8 g/dL. Penurunan TPP bisa disebabkan oleh diet pakan yang jelek, sintesis protein yang jelek, penyakit ginjal, dan terjadinya hambatan sintesis albumin atau kenaikan konsentrasi globulin karena refleks respon dari sistema retikuloendotelial terhadap antigenik dalam hal ini infestasi cacing (Hariono, 1993).

Pengobatan
Adapun pengobatan yang diberikan pada anjing “Choco” yang didiagnosa Enteritis dan Toxocariasis yaitu injeksi amoxicilin, duradryl, hematopan B12, dan pyrantel pamoat.
Pengobatan berupa antibiotik amoxicilin 0,14 cc secara i.m sebanyak 2 kali sehari selama 4 hari diberikan untuk dugaan infeksi bakteri baik secara primer maupun sekunder pada kasus enteritis. Amoxicilin bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara mencegah penggabungan asam N-asetilmuramat yang dibentuk di dalam sel kedalam struktur mukopeptide yang biasanya memberi bentuk kaku pada dinding sel bakteri. Mekanisme kerja ini konsisten dengan kenyataan bahwa antibiotik ini hanya bekerja pada bakteri yang sedang tumbuh dengan aktif (Pelczar dan Chan, 1988). Katzung (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa dinding sel bakteri tersusun oleh peptidoglikan yang terdiri dari polisakarida dan polipeptida. Aktifitas antibakteri terletak pada cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Antibiotika beta-laktam merupakan analog struktural dari substrat D-ala-D-ala alami yang merupakan gula asam amino yang terdapat pada polisakarida dinding sel bakteri kemudian secara kovalen diikat oleh PBP (Penicilin Binding Protein) sehingga reaksi transpeptidase dihambat sehingga menjadi inaktif, sistesis peptidoglikan berhenti dan dengan demikian tidak memungkinkan terhubungnya kedua lapis linear serabut peptidoglikan yang terdapat dikedua lapis dinding sel sebelah dalam, dan sel bakteri akan mati (Katzung, 2004). Antibiotik ini tidak mempengaruhi sel-sel jaringan mamalia, karena mamalia tidak memiliki dinding massif seperti pada bakteri (Subronto dan Tjahjati, 2008). Namun Amoxicilin tidak tahan terhadap enzim beta-laktamase (penicinilase) yang dihasilkan oleh beberapa bakteri karena enzim tersebut dapat memecah cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Pemberian amoxicilin selama 4 hari berturut-turut bertujuan agar kerja antibiotik untuk mematikan bakteri dapat optimal.
Pengobatan berupa duradryl (diphenhydramin HCl) sebanyak 0,14 cc secara i.m sebanyak 1 kali sehari selama 4 hari diberikan sebagai antihistamin yang mengandung sedatif, antimuskarinik, dengan cara memblok efek dari histamin di reseptor H1. Diphenhidramin ini bersifat antagonis kompetitif untuk reseptor histamin. Terjadinya ikatan sel dengan antihistamin ini dapat mencegah efek histamin seperti hipersensitifitas akibat infestasi cacing dan juga mencegah pembebasan histamin sebagai mediator inflamasi. Selain itu, dipenhidramin juga merupakan agen antikolinergik yang poten sehingga menyebabkan penurunan kontraksi muskulus (smoot muscle) (Adam,1995). Adanya sedatif pada kandungan duradryl menyebabkan hewan menjadi lebih tenang. Pemberian antihistamin selama 4 hari berturut-turut diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan dengan menghambat efek histamin, membuat hewan lebih tenang, dan sebagai antiinflamasi.
Pengobatan dengan pyrantel pamoat sebanyak 0,11 mg secara per oral sekali pemberian bertujuan untuk mengatasi infestasi Toxocara sp. Pyrantel pamoat dapat menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls sehingga cacing mati dalam keadaan spastis. Pirantel pamoat juga dapat menghambat enzim kolinesterase pada ganglion neurotransmisi sehingga meningkatkan kontraksi otot cacing (Ganiswarna, 1995). Menurut Subronto dan Tjahajati (2008) efek farmakologi pyrantel tersebut berupa rangsangan yang berlebih terhadap asetilkolin. Kemoreseptor yang terdapat pada ganglion-ganglion otonom, kelenjar adrenal, serta sinapsis neuromuskular terangsang terus menerus sehingga terjadi kelumpuhan akibat adanya kejang pada otot yang berlebihan. Efek kontraktil otot-otot cacing oleh pyrantel diperkirakan 100 kali lebih besar daripada asetilkolin. Bila efek asetilkolin bersifat reversibel, tidak demikian dengan efek pyrantel.

Perkembangan Keadaan Pasien
Selama mendapatkan pengobatan anjing “Choco” menunjukkan gejala ke arah perbaikan. Pada awalnya hewan sudah 3 hari mengalami diare, gerak peristaltik usus meningkat dan konjungtiva pucat Setelah dua hari dilakukan pengobatan masih belum ada perubahan konsistensi feses yaitu masih terlihat lembek. Setelah dilakukan analisa terhadap pakan dimana biasanya pemilik memberi makan nasi dicampur hati, namun selama perawatan anjing “Choco” diberi makan berupa dogfood (pedigree), sehingga tidak ada perubahan pada konsistensi fesesnya. Pada hari ketiga dan keempat, anjing “Choco” diberi pakan berupa nasi dicampur hati dan usus, kadang-kadang nasi dicampur dogfood. Feses anjing “Choco” sudah menunjukan ke arah perbaikan dimana feses sudah mengeras.
Setelah 4 hari dilakukan pengobatan pasien sudah tidak diare, konjungtiva pink, kondisi tubuh baik dan sehat, ekspresi muka ceria, nafsu makan dan minum baik, sangat lincah dan agresif. Hal ini menunjukkan bahwa pasien telah mengalami proses penyembuhan.






KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, anjing “Choco” didiagnosa Enteritis dan Toxocariasis, yang kemudian setelah diberi pengobatan berupa injeksi amoxicillin, duradryl, hematopan B12, dan pyrantel pamoat hewan mengalami penyembuhan.

Saran
Salah satu cara yang efektif untuk penanggulangan atau pencegahan penyakit adalah dengan meningkatkan kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Hewan kesayangan harus terawat dengan cara memandikan secara teratur, pemberian makanan yang sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk hewan kesayangan. Meski secara alamiah hewan dapat sembuh sendiri namun pengobatan pada hewan sakit harus segera dilakukan, misalnya pemberian obat cacing yang teratur serta menjaga higienitas dan sanitasi yang baik.











DAFTAR PUSTAKA

Adam, H.R. 1995. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Lowa state University Press. Ames

Feldman F.B, J.G Zinkl, and N. Jain, 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. 5th edition, Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia.

Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta

Hariono,B., 1993, Hematologi, Buku Pedoman Patologi Klinik, Laboratorium Patologi Klinik, FKH-UGM, Yogyakarta Kirk and Bistner, 1985, Hand Book of Veterinary Procedures and Emergency Treatment, Fourth Edition, W. B. Saunders Company, Philadelphia.

Harper, H.A., Rodwell, V.W., dan Mayes, P.A., 1979. Review of Physiological Chemistry. Lange Medical Publication, California.

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi keenam. Penerbit buku kedokteran ECG. Jakarta.

Kirk and Bistner, 1985, Hand Book of Veterinary Procedures and Emergency Treatment, Fourth Edition, W. B. Saunders Company, Philadelphia.

Levine, N. D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner (judul asli: Textbook of Veterinary Parasitology. Penerjemah: Ashadi, G.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Lewis, L.D., Morris,M.L. and Hand, M.S., 1992. Small Animal Clinical Nutrition III. 3rd edition. Mark Morris Associates. Topeka-Kansas.

McGavin, M.D., dan Zachary, J.F., 2007. Pathologic Basic Veterinary Disease. Mosby, Elsevier.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerbit IPB. Bandung.

Nelson, R.W. and Couto, C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine. 3rd edition. Mosby. Missouri.

Noble, G.A., and Noble, E.R. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Edisi Kelima Terjemahan parasitology the biology of animal parasites. Second edition. Oleh Wardiarto. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pelczar, M.J dan Chan E.C.S. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi II. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Rossoff I. S.1994, Handbook of Veterinary Drugs and Chemicals, Second Edition, Pharmathox Publishing Company. Illinois.

Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Subronto, 2006, penyakit infeksi parasit dan mikroba pada anjing dan kucing. Gadjah mada university press, Yogyakarta.

Subronto dan Tjahajati, I., 2008. Ilmu Penyakit Ternak III: Farmakologi Veteriner, Farmakodinamika dan Farmakokinesis, Farmakologi Klinis. Gadjahmada University Press. Yogyakarta.

Tanu, I.2007. Farmakologi dan Terapi. Universitas Indonesia.Jakarta.

Tennant, B. 2002. BSAVA Small Animal Formulary, 4th ed. British Small Animal Veterinary Association. Gloucester

Thomas, S. dan T.H. Grainger. 1952. Bakteria. The blakiston company. New York.

Tilley, L.P., dan Smith, F.W.K., 2004. The 5-Minute Veterinary Consult Canine and Feline Third Edition. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia.

Willard, Tvedten, and Turnwald. 1998. Small Animal Clinical Diagnosis By Laboratory Methods. 2nd edittion. W.B Sounders company. Tokyo

Enteritis dan dypilidiasis ( suspect parvo )

TINJAUAN PUSTAKA

Enteritis
Enteritis adalah peradangan pada intestinal, yang dikarakteristikkan adanya infiltrasi eosinofil, biasanya masuk ke lamina propia, namun kadang melibatkan submucosa dan muskularis (Tilley and Smith, 2000).
Enteritis dapat bersifat akut maupun kronis dapat mengakibatkan peningkatan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar pencernaan serta penurunan proses penyerapan cairan maupun nutrisi makanan yang terlarut di dalamnya. Enteritis primer maupun sekunder ditandai dengan menurunnya nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare. Perasaan sakit karena adanya enteritis bersifat bervariasi, tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat keradangan (Subronto, 1995). Kondisi ini mengakibatkan gerakan mukosal intestinal mengalami perpindahan cairan dan elektrolit secara cepat dari darah ke lumen usus sehingga terjadi dehidrasi dan shock hipovolemik secara cepat. Kerusakan mukosa usus dan shock septik atau shock endotoksik diakibatkan terjadinya translokasi dari bakteri atau toksin bakteri. Natrium dan Kalium hilang bersama dengan hilangnya cairan tubuh akibat terjadinya dehidrasi (Nugroho dan Whendarto, 1998).
Alergi pakan, infeksi fungal, bekterial, atau parasit dan neoplasma sering menjadi penyebab terjadinya enteritis (Boothe, 2001). Beberapa bakteri penyebab antara lain Escherichia coli, Salmonella sp., Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens, parasit antara lain nematoda: Ancylostoma sp., Toxocara sp., Strongyloides, cestoda: Dipylidium caninum, Taenia sp., protozoa: Giardia, Coccidia, Cryptosporodia, viral: Canine Parvoviral Enteritis, Canine Distemper dan Canine Coronaviral Enteritis.
Adanya radang mampu meningkatkan frekuensi dan intensitas peristaltik usus akibatnya penyerapan nutrisi pada usus halus berkurang sehingga vili usus menjadi rusak dan kerja usus menjadi lebih meningkat sehingga mengeluarkan banyak cairan. Jumlah air yang tidak terserap jadi lebih banyak hingga konsistensi tinja jadi lebih encer dan pengeluarannya menjadi lebih sering serta banyak (terjadi diare) (Subronto, 1995). Kehilangan cairan tubuh akan menyebabkan dehidrasi (Moore, 2004).
Gejala klinis yang sering dijumpai pada enteritis seperti diare disertai atau tanpa muntah, demam, anoreksia, depresi dan sakit pada abdomen (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003). Enteritis kronis, dapat mengakibatkan kekurusan dengan feses cair, berdarah, lendir atau ada reruntuhan jaringan yang jumlahnya mencolok. Enteritis akut selalu disertai dengan oligouria atau anuria, dan disertai dengan menurunnya nafsu makan, anoreksia total maupun parsial. Pada radang kronis biasanya nafsu makan tidak mengalami perubahan (Subronto, 1995).
Dalam mendiagnosa penting adanya anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (darah dan feses) yang digunakan untuk mengidentifikasi penyebab enteritis. Diagnosa tentatif diambil bila tidak ditemukan penyakit tersifat penyebab diare (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003). Pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebab primernya, perlu dipertimbangkan pemberian protektiva, adstringensia. Rasa sakit yang terus menerus dapat dikurangi dengan pemberian analgesika atau transquilizer. Pemberian cairan faali maupun elektrolit mutlak diberikan unutuk mengganti cairan yang hilang. Pemberian antibiotik dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat pertumbuhan bakteri yang memungkinkan kondisi peradangan menjadi lebih parah (Boothe, 2001).


Diphylidiasis
Infestasi parasit intestinal yang disebabkan Dipylidium caninum disebut dipylidiasis. Cacing Dipylidium caninum tinggal dalam usus halus anjing, memiliki panjang sampai 50 cm. Untuk melekat dan memperoleh makanan cacing tersebut dilengkapi dengan 4 penghisap pada skoleksnya. Serta kait-kait yang dapat ditarik ke dalam. Puluhan proglotid yang berbentuk oval memiliki alat reproduksi hermaprodit yang memiliki 2 buah muara genital yang terletak disebelah lateral. Di alam proglotid mengandung telur dalam jumlah yang besar terdapat kapsul telur yang berbentuk ovoid. Tiap kapsul terdapat telur sebanyak 3-30 butir. Telur yang berdiameter 44-54 mikron mengandung embrio yang memiliki 6 kait dan bersifat motil (onkosfer) (Subronto, 2006). Dalam satu kapsula terdapat 1-63 telur per paket. Cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan gangguan syaraf (Foreyt, 2001)

Daur hidup
Segmen cacing yang mengandung telur yang mengandung telur gravid keluar dari tubuh bersama feses anjing secara spontan. Segmen tersebut secara aktif bergerak di daerah anus atau jatuh ke tanah dan membebaskan telur cacing. Kapsul cacing yang berisi embrio akan termakan oleh larva pinjal. Kapsul tersebut pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding usus larva pinjal yang selanjutnya berkembang mesnjadi sistiserkoid di dalam jaringan tubuh larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa, sistiserkoid mejadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal maka akan terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus akan mengalami evaginasi, skoleks akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama akan berkembang sebagai cacing dewasa (Subronto, 2006).
Spesies pinjal Ctenocephalides Spp dan Pulex irritans merupakan hospes antara yang paling sering ditemukan. Meskipun kutu Trichodectes canis juga dapat bertindak sebagai hospes antara. Larva pinjal mungkin mengkonsumsi sejumlah kapsul telur yang tiap telur mengandung sejumlah onkosfer. Seekor pinjal dapat memiliki sistiserkoid dalam jumlah besar sehingga dapat menginfeksi anjing beberapa kali (Subronto, 2006).

Patogenesis
Selain menyebabkan rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut akan menyebabkan penderita menggosok gosokan bagian rektalnya di tanah. Penderita dengan infeksi berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan berat badan yang menurun (Subronto, 2006).

Diagnosa
Rasa gatal di daerah anus yang diperlihatkan dengan mengosok-gosokan bagian yang gatal tersebut serta berjalan dengan tubuh yang tegak merupakan petunjuk kuat untuk diagnosa. Petunjuk yang lain yaitu terdapat segmen cacing di tempat tidur atau di feses (Subronto, 2006).


Gambar 1. Siklus hidup Dipylidium caninum.
Keterangan : 1) Proglotid yang menyerupai biji mentimun keluar, 2) Proglotid kering mengandung 40 telur, 3) Proglotid ini akan dimakan oleh larva pinjal dan oncosphere bebas dan berkembang menjadi sistiserkoid, 4) Anjing dan kucing terinfeksi melalui ingesti pinjal, dan 5) Hospes akhir pada karnivora. Mereka berkembang menjadi cacing yang bisa mencapai panjang 45 cm di usus halus.


Lactat Ringer
Larutan Laktat Ringer merupakan larutan steril, non pirogenik. Elektrolit-elektrolit yang terkandung didalam larutan laktat ringer tiap 1000 ml adalah Sodium 130 mEq, Potasium 4 mEq, Calcium 3 mEq, Chloride 109 mEq dan Lactate 28 mEq. Sedangkan komposisinya tiap 100 ml yaitu Sodium Chloride 600 mg, Sodium Lactate Anhydrous 310 mg, Potasium Chloride 30 mg, Calcium Chloride Dihydrate 20 mg.
Larutan laktat ringer merupakan larutan isotonis yang digunakan sebagai pengganti cairan (air/elektrolit), terutama pada kasus metabolik asidosis. Dosis pemberian infus tergantung pada derajat dehidrasi. Laktat ringer merupakan pengganti cairan yang bersifat nonkoloid yang dapat langsung masuk melalui membran sel. Hal ini menyebabkan laktat ringer tidak tergantung pada keadaan di cairan ektraseluler, melainkan keseimbangan pada cairan intraseluler. Pada anjing dapat diberikan 50-60 ml/kg/hari secara i.v (Tennant, 2002), sedangkan pada kasus shock dapat diberikan 60-70 ml/kg secara i.v (Tilley dan Smith, 2004).

Gambar 2. Infus Ringer’s Laktat dan infus set.


Kalmoxicilin
Kalmoxicilin (Kalbe Farma) merupakan salah satu produk yang memilki kandungan Amoxicillin merupakan antibiotik semi sintetik dari penisilin (Subronto dan Tjahjati, 2008). Amoxicilin tersedia dalam bentuk serbuk injeksi yang tiap vial berisi amoxicillin sodium yang setara dengan amoxicillin 1000 mg. Konsentrasi larutan amoxicilin injeksi ini adalah 10% yang dapat diaplikasikan secara IM atau IV (Hardjasaputra et al, 2002). Amoxicilin merupakan penicilin yang tahan asam, termasuk asam lambung. Hal ini dikarenakan amoxicilin memiliki gugus phenoxyl yang terikat oleh gugus alkyl dari rantai acylnya (Subronto dan Tjahjati, 2008).
Amoxicilin disebut penisilin spectrum luas karena memiliki gugus hidroksil fenolik tambahan dan dapat bekerja terhadap bakteri Gram negatif seperti E. coli atau Proteus mirabilis. Aktifitas antibakteri amoxicilin ini terletak pada cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Kebanyakan batang enterik Gram negatif) menghasilkan beta-laktamase (penicillinases), yang menginaktifkan penisilin dengan memecah cincin beta-laktam (Katzung, 1998).
Beberapa bakteri mungkin tidak rentan terhadap kerja penisilin yang mematikan karena enzim autolik didalam dinding sel tidak aktif. Organisme yang toleran tersebut (misalnya, Staphylococcus tertentu, Streptococcus, Listeria) dihambat tetapi tidak dibunuh. Organisme tanpa dinding sel atau (bentuk Mycoplasma L) yang secara metabolik tidak aktif bersifat tidak rentan terhadap penisilin dan penghambat dinding sel lainnya karena mereka tidak mensistesis peptidoglikan. Beberapa bakteri (misalnya, Staphylococcus) mungkin resisten terhadap kerja beta-laktam pada penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase seperti metisilin. Mekanisme resisten ini tampaknya bergantung pada defisiensi atau tidak dapat dicapainya Penicilin Binding Protein (PBP), hal ini tidak bergantung pada produksi beta-laktamase dan frekuensinya sangat bervariasi dengan lokasi geografis (Katzung, 1998). Dosis pemberian amoxicilin pada anjing 10 mg/kg bb 2 kali sehari selama 3-5 hari (Rossof, 1994).


Duradryl
Duradryl merupakan antihistamin dalam sediaan bentuk larutan injeksi 15 ml per ampul yang tiap ml mengandung diphenhydramin HCl 10 mg. Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel dengan mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Ikatan dengan sel akan menyebabkan tidak adanya efek histamin pada sel tersebut. Diphenhydramine HCl sendiri merupakan antihistamin dari kelas ethanolamine, yang dapat mengandung sedatif, antimuskarinik, dan antiemetika, sehingga dapat menekan gejala batuk, serta antihistamin (H1) menekan muntah dan pruritis (Tennant, 2002). Penggunaan secara i.m jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan.
Antihistamin H1 digunakan dalam mencegah aksi histamin pada bronchial, intestinal, uterus, mukulus halus pembuluh darah. Sebagai antagonis terhadap efek vasokonstriksi oleh histamin dan lebih berpengaruh terhadap efek vasodilatator dalam meningkatkan permeabilitas kapiler. Antihistamin ini berefek terhadap urticaria dan beberapa tipe edema sebagai respon terhadap kelukaan, antigen, alergen dan senyawa histamin yang dibebaskan oleh beberapa spesies.
Setiap antihistamin dapat menghasilkan efek samping. Salah satu yang penting secara klinik pada penghambatan H1 yaitu sedasi atau rangsangan CNS, gangguan gastrointestinal, aksi parasimpatolitik, efek teratogenik dan anastetik. Pada dosis terapeutik dapat berefek sedativa, dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritabilitas, konvulsi, hiperpireksia, dan bisa menyebabkan kematian
Dosis pemberian diphenhydramine HCl pada anjing yaitu 1 mg/kg secara i.m atau i.v (Tilley dan Smith, 2004). Pengguanaan secara IM jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan. Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel. Senyawa ini mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Cara kerja berdasarkan pertimbangan kuantitas. Pada umumnya antihistamin lebih efektif terhadap histamin eksogen daripada histamin endogen. Senyawa ini lebih efektif dalam mencegah kerja histamin
Antihistamin H1 digunakan dalam mencegah aksi histamin pada bronchial, intestinal, uterus, mukulus halus pembuluh darah. Sebagai antagonis terhadap efek vasokonstriksi oleh histamin dan lebih berpengaruh terhadap efek vasodilatator dalam meningkatkan permeabilitas kapiler. Antihistamin ini berefek terhadap urticaria dan beberapa tipe edema sebagai respon terhadap kelukaan, antigen, alergen dan senyawa histamin yang dibebaskan oleh beberpa spesies.

Gambar 3. Ikatan rantai kimia Diphenhydramine HCl (2-benzhydryloxy-N,N-dimethyl-ethanamine)

Pengaruh pemberian antihistamin terhadap histamin dari reaksi adanya benda asing yaitu badan sel neuron-neuron histaminergik terdapat di nukleus tuberomamilaris hipotalamus posterior, sedangkan akson-aksonnya berpendar ke seluruh bagian otak, termasuk korteks serebri dan medula spinalis.histamin ditemukan dalam sel-sel mukosa lambung dan sel-sel yang mengandung heparin yang disebut sel mast. Terdapat tiga reseptor histamin yaitu H1, H2, dan H3. Reseptor H3 merupakan reseptor presinaptik yang memperantai inhibin pelepasan histamin dan transmiter lain melalui protein G, sedangkan reseptor H2 meningkatkan kadar cAMP intrasel dan reseptor H1 meningakatkan fosfolipase C (Ganong, 2002). Adanya infeksi bakteria maupun jamur akan meningkatkan jumlah histamin, sehingga jumlah histamin menjadi berlebihan.jumlah histamin yang berlebihan akan memacu reaksi alergi yang berlebihan sehingga tidak menguntungkan. Pemberian antihistamin sesuai dosisnya akan menekan produksi histamin dengan cara antagonis kompetitif. Sehingga pemberian antihistamin yang sesuai tidak akan membuat masalah terhadap proses penyembuhan dan dapat membantu menekan stress yang dialamia pasien.


Hematopan B 12
Merupakan pemacu pertumbuhan dan hematopoietika yang penggunaannya diindikasikan untuk :
 Meningkatkan nafsu makan
 Semua gangguan hematopoietic
 Anemia akibat kekurangan makan atau akibat infeksi, anemia pada anak babi yang mendapat susu induk, anemia akibat perdarahan, sebagai komplemen pada pengobatan anti piroplasma, asthenia dan purpura.
 Pada proses penyembuhan setelah penyakit menular dan intoksikasi
 Pertumbuhan pada ayam, anak babi dan anak kuda diberikan secara sistematis.
 Diare pada hewan muda
 Kebuntingan
 Untuk meningkatkan kondisi dan stamina
 Untuk pertumbuhan bulu pada anjing.
Sediaan berbentuk cairan dengan kemasan 50 ml per botol yang tiap 100 ml mengandung: Sodium cacodylate 3 g, Ammonium ferric citrate 2 g, Methionine 1 g, Histidine hydrochloride 0,5 g, Tryptophan 0,25 g, Cobalt acetate 0,05 g, Cyanocobalamine 0,001 g,dan Excipient q.s 100 ml. Dosis yang dianjurkan untuk anjing yaitu 1 ml per 5 kg berat badan tiap hari. Obat ini hanya diberikan pada hewan.


Kaotin suspensi
Kaotin suspensi merupakan kombinasi ideal dari Kaolin dan Pektin untuk pengobatan diare yang diindikasikan pada diare yang ringan dan yang tidak diketahui sebabnya. Kandungan tiap 5 ml suspensi yaitu 985 mg kaolin ringan dan 22 mg pektin. Kaolin merupakan absorben yang dapat menyerap bakteri-bakteri, substansi-substansi beracun dan merangsang dari saluran usus, serta membenyuk lapisan pelindung pada dinding usus. Pektin dapat menghilangkan toksin-toksin yang dihasilkan oleh bakteri dan juga dapat menghancurkan bakteri karena terbentuknya asam galakturonat, asam galakturonat merupakan suatu media yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang biasa menyebabkan diare.

Gambar 4. Kaotin suspensi


Drontal Dog
Drontal dog adalah obat cacing kombinasi pyrantel pamoat, praziquantel dan febantel. Drontal plus mengandung praziquantel 50 mg, pyrantel 144 mg dan febantel 150 mg. Dosis yang dianjurkan tiap 1 tablet untuk anjing 10 kg. Pyrantel merupakan obat cacing golongan tetrahydropyrimidin, derivat dari imidazothiazole dengan rumus kimia yaitu E-1,4,5,6-tetrahydro-1-methyl-2-[2-(2-thienyl)vinyl]-pyrimidine (Ganiswara, 1995) dengan garam pyrantel yang diproduksi adalah pamoat yang berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, namun dalam bentuk cairan jika terkena cahaya matahari akan mengalami fotoisomerisasi sehingga tidak memiliki potensi sebagai obat cacing dengan demikian bila telah dilarutkan harus segera dihabiskan. Pada hewan berlambung tunggal, pyrantel segera diserap setelah pemberian dengan kadar puncak plasma tercapai dalam 2-3 jam.
Garam pyrantel pamoat larut dalam air, dan hal ini menguntungkan untuk membunuh cacing yang hidup di usus posterior (Subronto, dan Tjahajati, 2008). Absorbsi pyrantel pada usus tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala (Ganiswara, 1995).
Praziquantel merupakan antihelmintes terutama cestoda yang merupakan derivat dari pirazinoisokuinolin yang efektif terhadap cestoda dan trematoda. Praziquantel tidak berwarna dan tersasa pahit.Terabsorbsi secara cepat pada pemberian secara oral dan dimetabolisme dalam hepar sebelum di ekskresikan ke dalam empedu. Efektif untuk mengatasi parasit Dipylidium caninum, T. pisiformis, dan E. granulosus. Jangan diberikan pada anjing atau anjing berumur 1 – 2 bulan (Rossof, 1994).
Efek anthelmentik praziquantel secara invitro, praziquantel diambil secara cepat dan reversibel oleh cacing tetapi tidak dimetabolisme. Kerjanya cepat melalui dua cara. Pertama pada kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot pada cacing karena holangnya ion Ca intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang sifatnya reversible, yang mungkin menyebabkan terlepasnya cacing dari tempatnya yang normal pada hospes. Yang kedua, pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan hospes dipacu dan terjadi kematian cacing.
Pada pemberian oral absorbsinya baik, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam waktu 1-2 jam. Metabolisme obat berlangsung cepat melalui proses hidroksilasi dan konjugasi sehingga kadar metabolit dalam plasma kira-kira 100 kali kadar praziquantel. Metabolitnya sebagian besar diekskresikan bersama urin dan sedikit diekskresikan dalam bentuk utuh.
Efek samping segera timbul segera setelah diberi pengobatan seperti sakit perut, anoreksia, sakit kepala dan pusing, namun efek ini hanya sementara dan ringan dan timbulnya tergantung besarnya dosis.

























RIWAYAT KASUS

No. 728 Tanggal : 27 Oktober 2010 Macam Hewan : Anjing
Nama & Alamat pemilik : Dhony
Sonosewu (081329447410) Nama Hewan : Chimy
Mahasiswa : Ardya Widyastuti, S.K.H. Signalemen : Domestik, ♂, 2 bulan, hitam putih

ANAMNESA :
Mencret 3 hari dan encer, bau, belum pernah vaksin dan obat cacing, tidak mau makan.

STATUS PRAESENS :
1. Keadaan umum :
EM : Lesu
KT : Sedang
2. Frek. Napas : 60 x/mnt; Frek. Pulpus : 84 x/mnt; Tº badan : 38,3 ºC
3. Kulit & Rambut :
a. Rambut : tidak rontok, kusam
b. Turgor kulit : baik
4. Selaput lendir :
a. Konjunctiva : pucat
b. CRT : >2 detik
5. Kelenjar-kelenjar Limfe : tidak ada pembekakan
6. Pernapasan :
a. Tipe napas : thoraco-abdominal
b. Auskultasi : vesikuler
c. Leleran/ Batuk : tidak ada
7. Peredaran darah :
Systole-diastole : terdengar dan dapat dibedakan

8. Pencernaan :
a. Mulut : bersih
b. Palpasi abdomen : tidak ada rasa sakit
c. Anus : kotor
d. Peristaltik : meningkat
9. Kelamin dan perkencingan :
a. Kelamin : bersih
b. Palpasi ginjal : tidak ada rasa sakit
10. Syaraf :
a. Refleks pupil dan palpebra : baik
b. Refleks pedal : baik
11. Anggota gerak : dapat berjalan normal dan berdiri dengan 4 kaki
12. Lain-lain : - ; BB : 1,25 Kg
13. Pemeriksaan Laboratorium,dsb
a. Feses : Kuning
- Konsistensi : encer (cair)
- Natif : ditemukan telur cacing
- Sentrifuse : + Dipylidium sp.
b. Darah :
- Sifat : pekat
- Kadar Hb : 9,8 g/dl
- Pr. Apus : Neutrofil seg. 25873,5 (sel/mm3); limfosit 26424(sel/mm3); monosit 1651,5 (sel/mm3); eosinofil 1101 (sel/mm3)
DIAGNOSA : Enteritis dan Dipylidiasis
PROGNOSA : fausta
TATA LAKSANA :
Inj. Hematopan 0,25 ml
S.1dd

Amoxicilin 0,125 ml
S.2dd

Duradryl 0,125 ml
S.1dd

Infus RL 25 ml
S.2dd

R/ Drontal dog tab I
Sac laq q.s
m.f.pulv. No. X
S.haust.pulv.I

R/ Kaotin syr. btl I
S. 2dd. Gtt. oris 1,27 cc























HASIL
PEMERIKSAAN HEMATOLOGI

Pemeriksaan darah Unit Standar
Normal* Hasil
27/10/10 Ket. Interpretasi
Eritrosit 106/µ 5,5 – 8,5 4,68 Turun Anemia
Hb g/dL 12 – 18 9,8 N
PCV % 37 – 55 29 Turun Anemia
MCV Fl 60 – 77 61,966 N Normositik
MCHC % 32 – 36 33,79 N Normokromik
Leukosit 103 Sel/mm3 6 – 17 55,050 Naik Leukositosis
Neutrofil seg. R % 47
A 103 Sel/mm3 3 – 11,4 25,8735 Naik Neutrofilia
Limfosit R % 48
A 103 Sel/mm3 1 – 4,8 26,424 Naik Limfositosis
Monosit R % 3
A 103 Sel/mm3 0,15 – 1,35 1,6515 Naik Monositosis
Eosinofil R % 2
A 103 Sel/mm3 0,1 – 0,75 1,101 Naik Eosinofilia
Basofil R % -
A 103 Sel/mm3 Jarang -

TPP g/dL 6,0 – 7,5 3,7 Turun
Fibrinogen g/dL 0,15 – 0,3 0,2 N
(Kahn, 2005).






PEMBAHASAN

Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Anamnesa dan pemeriksaaan fisik anjing “Chimy” dengan nomor pendaftaran 728 dilakukan pada tanggal 27 Oktober 2010. Berdasarkan anamnesa pasien mengalami diare encer selama 3 hari dan berbau tidak enak, sejak saat itu anoreksia, belum pernah vaksin dan minum obat cacing. Hasil pemeriksaan fisik antara lain ekspresi muka yang lesu dan keadaan tubuh sedang, pulsus (84x/menit), frekuensi napas (30x/menit) dan suhu tubuh (38,3ºC) normal. Menurut Moore (2004), anjing memiliki pulsus normal 60-180x/menit, suhu tubuh normal 38,3-38,7ºC, dan frekuansi napas 10-30x/menit. Turgor kulit masih baik, rambut tidak rontok. Konjunctiva berwarna pucat, anemia ditandai dengan membran mukosa menjadi berwarna pucat (Weiss, 2010) dan Cappilary Refill Time (CRT) > 2 detik. Salah satu gejala yang menunjukkan adanya dehidrasi yaitu CRT >2 detik (Moore, 2004). Kurangnya cairan di dalam tubuh menyebabkan elasitas kulit berkurang dan pembuluh darah mengalami konstriksi sehingga CRT menjadi lebih lama. Kurangnya cairan dapat dikarenakan hewan kurang mendapat asupan cairan baik dari makanan atau kurang minum. Selain itu hal yng menyebabkan banyaknya cairan keluar dari tubuh seperti diare dan muntah dapat menyebabkan hewan mengalami dehidrasi (Lane dan Cooper, 1994). Tidak ditemukan adanya kebengkakan pada kelenjar limfe, pernapasan tipe thoraco-abdominal dan auskultasi paru-paru yaitu vesikuler. Pada pemeriksaan percernaan, mulut bersih dan tidak bau, anus kotor, feses awalnya berwarna kuning kemudian selang beberapa waktu diare menjadi sangat cair dan berbau tidak enak (anyir), palpasi abdomen tidak ada rasa sakit, auskultasi abdomen peristaltik usus meningkat. Diare merupakan feses yang mengandung air yang sangat banyak dan sering (Weiss and Wardrop, 2010). Penyebab diare ini diduga dikarenakan infestasi cacing yang disesuaikan dengan pemeriksaan feses pasien di laboratorium ditemukan telur dari Diphilidium sp. Kelamin dan perkencingan bersih dan palpasi ginjal tidak ada rasa sakit. Demikian juga dengan pemeriksaan syaraf, reflex pupil dan pedal baik. Anggota gerak dapat berdiri dan berjalan normal dengan empat kaki.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan terhadap feses dan pemeriksaan darah.
Pemeriksaan feses
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses secara natif tidak ditemukan adanya telur, namun dengan pemeriksaan feses secara sentrifus ditemukan adanya telur cacing cestoda yaitu Dipylidium sp yang dapat ditemukan pada usus halus (duodenum) hospes. Selain menyebabkan timbulnya gejala diare, infestasi cacing yang banyak dapat menyebabkan anemia.

Gambar 5. Gambaran telur Dyphilidium sp dari hasil pemeriksaan feses anjing “Chimy” secara sentrifuge tanggal 27 Oktober 2010.

Pemeriksaan darah
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah tanggal 27 Oktober 2010, yaitu sebelum pasien mendapat pengobatan, diperoleh hasil interpretasi anjing “Chimy” mengalami anemia normositik-normokromik, limfositosis, monositosis, neutrofilia dan eosinofilia. Gejala klinik hewan anemia yaitu lemah, stamina menurun, membran mukosa pucat, ikterus dan hemoglobinuria (urin berwarna merah) (Weiss and Wardrop, 2010).

(Weiss and Wardrop, 2010)

Anemia dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan produksi atau oleh kehilangan atau destruksi eritrosit yang meningkat. Hal ini dapat terjadi pada pendarahan akut atau kronis, dapat ditimbulkan oleh toksin yang menyebabkan hemolisis dan destruksi eritrosit, penurunan pembentukan darah oleh destruksi atau hilangnya fungsi jaringan pembentuk darah, kegagalan pembentukan eritrosit oleh defisiensi nutrisi misalnya Fe dan vitamin B12 (Haper et al., 1979).
Gambaran anemia normositik normokromik menunjukkan anemia non-regeneratif yang dapat disebabkan adanya inflamasi dan nekrosis (Weiss and Wardrop, 2010).
Gambaran leukositosis terjadi akibat peningkatan jumlah leukosit. Peningkatan jumlah leukosit ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dari masing-masing sel darah putih, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan darah terjadi peningkatan neutrofil. Dalam hal ini neutrofilia dapat terjadi akibat respon inflamasi terhadap infeksi bakteri secara primer atau sekunder atau respon terhadap benda asing lainnya.
Neutrofilia menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan sel darah putih tersebut untuk melawan agen infeksi di jaringan, sehingga sum-sum tulang aktif memproduksi sel-sel darah putih tersebut, sehingga jumlah neutrofil di darah juga ikut meningkat. Menurut McGavin dan Zachary (2007) adanya neutrofilia menunjukkan respon akut dari infeksi bakteri dalam melindungi jaringan.
Infeksi bakteri akan memicu pergerakan neutrofil ke jaringan yang rusak. Akibatnya, sumsum tulang akan melepaskan neutrofil ke dalam pembuluh darah lebih banyak karena permintaan neutrofil di jaringan meningkat untuk memfagosit agen infeksi (Feldman et al., 2000). Neutrofil dapat memfagosit benda asing dengan diameter mencapai 0,5µm. Kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri tergantung pada isi granulanya yang menyimpan enzim degradasi, enzim peroxidatif, adhesion moleculer, protein/peptid antimikroba (McGavin dan Zachary, 2007).
Adanya reseptor pada dinding bakteri misalnya lipopolisakarida (LPS) dari gram (-) akan berikatan dengan lipid-binding protein (LPB) di darah. LPB ini akan mentransfer molekul LPS ke protein yang berlokasi dipermukan makrofag. Ikatan LPS dan makrofag memicu produksi sitokin (Tizard., 2004). Sitokin seperti interleukin (IL-1, IL-6) dan tumor necrosif factor (TNF-α) merupakan proinflamatori yaitu sebagai mediator inflamasi (Cao et al., 2004) yang memacu fibroblast dan sintesis kolagen (Tizard., 2004). Menurut Cao et al. (2004).

Pengobatan
Pengobatan terhadap anjing “Chimy” yang terdiagnosa enteritis dan diphylidiasis yaitu infus RL, injeksi amoxicilin, duradryl, hematopan dan drontal dog, namun pada hari ke-5 dengan pertimbangan diare belum reda maka ditambah kaotin sirup untuk menangani diare. Pemberian infus laktat ringer sebanyak 25 cc secara subcutan (s.c) berdasarkan kondisi pasien yang tidak mau makan selama 3 hari dan keadaan tubuh yang dehidrasi karena kekurangan cairan akibat diare encer dan muntah yang ditunjukkan dengan CRT >2 detik pada pemeriksaan klinis. Infus RL mengandung ion yang penting untuk menjaga keseimbangan cairan, sehingga dapat mencegah shock pada sel yang berakibat pada nekrosis sel. Pemberian infuse secara s.c sering dilakukam pada hewan yang memiliki berat badan kecil (Moore, 2004).
Antibiotik kalmoxilin (amoxicilin) 0,125 cc secara i.m sebanyak 2 kali sehari selama 4 hari yang digunakan untuk menangani infeksi bakteri primer atau sekunder pada kasus enteritis. Amoxicilin termasuk golongan antibiotik β-Lactam yang mekanisme kerjanya menghambat sintesis dinding sel bakteri (Boothe, 2001). Menurut Katzung (2004), dinding sel bakteri tersusun oleh peptidoglikan yang terdiri dari polisakarida dan polipeptida. Antibiotik ini tidak mempengaruhi sel-sel jaringan mamalia, karena mamalia tidak memiliki dinding massif seperti pada bakteri (Subronto dan Tjahjati, 2008). Dosis yang digunakan 10-22 mg/kg bb tiap 8-12 jam sehari (Boothe, 2001).
Pemberian duradryl (Diphenhydramin HCl) sebanyak 0,125 cc secara i.m sebanyak 1 kali sehari selama 4 hari yang berfungsi sebagai antihistamin yang bersifat sedatif, antimuskarinik, dengan cara memblok efek dari histamin di reseptor H1. Pemberian obat ini didasarkan karena adanya indikasi alergi yang ditandai dengan eosinofilia pada pemeriksaan hematologi.
Pemberian hematopan 0,25 cc secara i.m sebanyak 1 kali sehari selama 4 hari bertujuan untuk membantu menangani anemia, menambah nafsu makan, dan membantu proses penyembuhan. Beberapa komposisi yang terkandung dalam hematopan dua diantaranya yaitu ammonium ferric citrate berfungsi dalam pembentukan hemoglobin dan cyanocobalamine berfungsi sebagai faktor pembentuk eritrosit (Boothe, 2001) yang mampu menangani kondisi anemia yang diderita pasien.
Pemberian drontal dog sebanyak 1/10 tablet yang disesuaikan dengan dosis 1 tablet per 10 kg bb dan berat badan pasien yaitu 1,25 kg. Berdasarkan periode prepaten anjing berlangsung sekitar 3 minggu, pengobatan cacing sebaiknya dilakukan pertama pada umur 2-4 minggu, diulang 3-4 minggu kemudian, sampai umur 2-3 bulan. Pada umur 3-6 bulan diobati lagi, selanjutnya secara teratur tiap 3-6 bulan (Subronto, 2006). Pemberian obat cacing untuk menangani Dipylidium sp. pada anjing dapat menggunakan kombinasi antara pyrantel pamoat, praziquantel, dan febantel (Tilley and Smith, 2000). Kandungan drontal dog yaitu praziquantel 50 mg, pyrantel 144 mg dan febantel 150 mg. Pyrantel termasuk golongan obat anthelmentik kelas yang memblok neurotransmisi ganglion melalui aksi kolinergik (Aubry et al, 1970) sehingga meningkatkan kontraksi otot cacing (Ganiswara, 1995). Praziquantel merupakan obat antiparasit yang umumnya digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan cacing pita. Aksi obat terhadap parasit menyebabkan keracunan neuromuskuler dan paralisa dengan mengubah permeabilitas kalsium parasit (Tilley and Smith, 2000).
Kaotin suspensi (sirup) digunakan untuk menangani diare yang dialami pasien. Kaotin beraksi sebagai absorben endotoksin dan pektin berfungsi melindungi mukosa usus (Tilley and Smith, 2000).

Perkembangan Keadaan Pasien
Pasien mendapatkan perawatan dan pengobatan di stasioner klinik Kuningan FKH UGM. Selama perawatan 3 hari pertama hewan menunjukkan gejala ke arah perbaikan. Penanganan hari pertama rawat inap, pasien diberi infus, antibiotik, antihistamin dan hematopan untuk menangani anemia. Meskipun awalnya pasien sudah 3 hari tidak makan namun pada hari ke-1 pasien dipuasakan makan sehari untuk mengurangi kerja usus. Pada enteritis akut sebaiknya usus diistirahatkan dengan tidak memberi makan pada hewan sehingga kerusakan usus yang lebih dihindari. Pemberian pakan secara oral dapat menjadi sumber terjadinya muntah (Nelson and Couto, 2003). Hari ke-2, pasien menunjukkan kondisi membaik. Tidak lemas, minum habis, pulsus, nafas, dan temperatur tubuh normal. Kondisi dehidrasi mulai membaik yang ditandai CRT <2 detik. Karena kondisi membaik, hewan bisa berlari-lari dalam kandang dan berteriak seolah meminta makan maka pasien dicoba diberi pakan lunak berdasarkan pemberian pakan oleh pemilik yaitu nasi dengan pakan anjing khusus anak anjing. Pakan dibuat encer dengan dilarutkan dalam air hangat dan pasien mau makan meskipun beberapa saat setelah makan, feses yang keluar sudah mulai memadat namun masih ada beberapa bentukan nasi yang masih utuh. Pemberian pakan berikutnya, diberi pakan khusus anak anjing yang encer kemudian beberapa saat setelah makan feses yang dikeluarkan lebih padat sampai hari ke-3 siang. Setiap pakan yang diberikan selalu habis, hal ini menujukkan nafsu makan pasien meningkat selama perawatan. Namun, pada hari ke-3 (sore hari) kondisi mendadak menurun. Pasien mengalami kembali mengeluarkan feses encer namun frekuensinya tidak sering. Kondisi pasien semakin melemah, demam tinggi (siang: 38,8ºC, sore: 39,6ºC) sehingga pasien dipuasakan kembali. Pemberian cairan infus dan obat-obat lainnya masih dilakukan. Pada hari ke-5 diputuskan pasien pulang untuk rawat jalan dengan ditambah pemberian antibiotik tambahan selama 2 hari dan kaotin untuk penanganan diare. Penanganan pada hari ke-6 pasien semakin lemah, namun diare sudah mulai berkurang. Ditemukan adanya feses yang bercampur darah segar (hematochezia) dan hancuran epitel usus. Hari ke-7, kondisi pasien sangat lemah, tingkat dehidrasi semakin parah yang ditandai turgor/elastisitas kulit semakin menurun dan berdasarkan informasi pemilik anjing “Chimy” muntah di sore hari. Palpasi abdomen ada reflek rasa sakit pada palpasi di bagian caudo-abdominal (inguinal) daerah usus besar dan bagian thorax. Gigi mengatup rapat seperti menahan rasa sakit. Sifat feses sudah tidak hematochezia lagi namun bersifat mucus. Dugaan terhadap keparahan enteritis akibat agen infeksi lain yang bersifat akut. Menurut Foreyt (2001) kasus diphylidiasis selalu ditandai dengan ditemukannya proglotid yang menempel di anus atau ditemukan pada saat pemeriksaan feses. Pada hari ke-8, pasien mati dengan gejala kejang-kejang beberapa saat sebelum lemas tak bergerak. Dugaan sementara penyebab kematian enteritis yang diderita mengakibatkan immunosupresif dan kondisi lokasi rawat inap sebelumnya kurang steril dimana di sekitar lingkungan ruang rawat inap yaitu hewan lainnya sedang ada yang mengalami penyakit infeksius viral (parvovirus) yang secara aerosol mampu menularkan virus tersebut. Selain itu, kondisi lingkungan yang lembab dan basah mengakibatkan penularan semakin mudah (Nelson and Couto, 2003).






KESIMPULAN
Diagnosa awal pada saat pemeriksaan adalah enteritis dan diphylidiasis. Namun seiring perjalanan pengobatan dan rawat inap, pasien mati yang diduga terinfeksi penyakit infeksius lainnya yang ada di sekitar lingkungan rawat inap.







































DAFTAR PUSTAKA


Aspinal, V. 2003. Clinical Procedures in Veterinary Nursing. Toronto: Elsevier Lim. Pp. 64-68, 81-82

Boothe, D.M. 2001. Small Animal Clinical Pharmacology and Therapeutics. Toronto: W.B. Saunders Company. Pp. 150, 154, 272,

Foreyt, W.J.2001.Veterinary Parasitology 6th ed. Iowa State Univ. Press : USA

Ganiswara, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Ganong, W.F., 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, terj. Review of Medical Physiology, 20th eds., ahli bahasa: Widajajakusumah, H.M.D., EGC, Jakarta.

Hardjasaputra, S.L, Budipranoto G, Sembiring S.U. dan Kamil I.H. 2002. Data Obat di Indonesia edisi 10. Jakarta: Grafidian Medipress. Hal: 311, 1048

Harper, H.A., Rodwell V.W. and Mayes P.A. 1979. Review of Physiological Chemistry. Lange California: Medical Publication.

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi dasar dan klinik, Edisi 6. Penerbit buku kedokteran ECG. Jakarta.

Lane, D.R., dan Cooper,B., 1994. Veterinary Nursing (Formerly Jones’s Animal Nursing 5th ed.). Pergamon: BSAVA.

Moore, P.H. 2004. Fluid Therapy for Veterinary Nurses and Technicians. Toronto: Elsevier Sc. Lim. Pp.51, 96-97.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerbit IPB. Bandung.

Nelson, R.W. and Couto C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine 3th ed. St. Louis Missouri: Mosby.

Rossof, I.S. 1994. Handbook of Veterinary Drugs and Chemical. USA: Pharmatox Publishing Co. Pp. 300, 570, 582, 648, 674.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,.

Subronto dan Tjahajati, I. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III: Farmakologi Veteriner, Farmakodinamika dan Farmakokinesis, Farmakologi Klinis. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Tennant, B. 2002. BSAVA Small Animal Formulary, 4th ed. British Small Animal Veterinary Association. Gloucester

Them, H., Diem H. and Haferlach T..2004.Color Atlas of Hematology Practical and Clinical Diagnosis. Germany: Georg Thieme Verlag. Pp. 140,

Tilley, L.P. and Smith F.W.K. 2000. The 5-minute Veterinary Consult, Ver. 2.0. USA: Lippincott Williams and Wilkins.

Weiss, D. J. and Wardrop K. J. 2010. S C H A L M ’ S Veterinary Hematology, 6th Ed. USA: Blackwell Publishing Ltd. Pp.211, 801.
TINJAUAN PUSTAKA

Stomatitis

Radang mulut atau stomatitis adalah gangguan yang berupa radang pada selaput lendir rongga mulut. Radang pada alat tertentu dalam rongga mulut mungkin diberi istilah khusus, misalnya radang lidah (glositis), radang gusi (gingivitis), radang langit-langit (palatitis), secara klinis gangguan pada mulut ditandai dengan anoreksia, partial atau total, hipersalivasi dan sering diikuti dengan penutupan bibir agak kuat (smacking). Proses radang bias bersifar primer atau sekunder, sebagai akibat ikutan dari penyakit sistemik. Radang mulut hampir terjadi setiap waktu. Proses radang mungkin terjadi dan lolos dari pengamatan pemilik hewan penderita

Etiologi
Secara primer kejadian yang terbanyak disebabkan oleh penyebab yang bersifat fisik, misalnya benda asing yang ikut termakan seperti potongan kayu, kawat duri dan sebagainya. Juga penggunakan alat-alat kedokteran seperti pembuka mulut, dapat menyebabkan radang traumatik bila tidak hati-hti menggunakannya. Gigi yang salah arah tumbuhnya dapat menyebabkan radang pada gusi, lidah dan pipi. Secara teori apabila termakan atau sengaja diberikan bahan kimia juga dapat menyebabkan iritasi jaringan selaput lender yang mungkin berlanjut dapat menyebabkan radang pada mulut.
Radang sekunder timbul sebagai kelanjutan dari penyakit menular maupun tidak menular yang disebabkan oleh kuman virus dan jamur. Virus akan mengakibatkan lesi jaringan yang beraneka ragam manifestasinya. Infeksi jamur terjadi setelah keadaan setempat bersifat mendukung untuk pertumbuhan jamur. Kondisi tubuh yang menurun, infeksi viral dan penggunaan antibiotik yang berlebihan sering merupakan faktor prediposisi untuk bertumbuhnya jamur
Patogenesis
Pada kejadian primer oleh kerjaan agen penyebab radang, akan berbentuk lesi pada selaput lendir mulut. Karena adanya radang terjadi kebengkakan yang disertai dengan nyeri. Hal tersebut akan merangsang keluarnya air liur yang berlebihan. Juga karena rasa nyeri nafsu makan akan tertekan. Pada radang yang bersifat sekunder, patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Pada pemeriksaan patologis anatomis, perubahan yang dijumpai pada radang mulut bervariasi tergantung dari macam dan derajat radang. Secara umum perubahan tersebut meliputi kongesti jaringan yang bersifat difus hingga selaput lender jadi bengkak; apabila terdapat lepuh, vesikula dengan cairan jernih di dalamnya. Lepuh yang pecah akan segera diikuti dengan kematian jaringan. Dapat pula setelah pecah lepuh berbentuk tukak, ulsera hingga terjadi radang yang sifatnya ulceratif. Pada radang papulosa biasanya melanjut dengan pembentukan jaringan granulomatosa. Proses radang yang meluas yang disertai dengan pembusukan jaringan akan dijumpai pada radang flegmonosa.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditemukan bervariasi tergantung jenis radang maupun penyebabnya. Secara garis besar gejala tersebut berupa, hilangnya nafsu makan, rasa sakit waktu mengunyah, penderita berulang kali membuka mulut, hipersalivasi, mulut berbau busuk disertai dengan kenaikan suhu. Apabila disertai dengan kenaikan suhu, biasanya kenaikan tersebut tidak begitu menyolok. Pada radang yang disebabkan oleh infeksi kuman, tidak jarang suhu akan naik sesuai dengan derajat infeksi serta reaksi tubuh
Diagnosa
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (darah dan tinja) digunakan untuk mengidentifikasi penyebab radang mulut. Dalam keadaan ringan, radang primer dapat sembuh, baik dengan atau tanpa pengobatan
Terapi
Meskipun tidak selalu mudah, perlu diusahakan membersihkan mulut dengan air atau larutan antiseptik. Dengan menghebatnya proses radang, yang berarti terjadi mobilisasi seluler, pada akhirnya kesembuhan primer dapat dipercepat. Pada kejadian infeksi yang berat, penggunaan preparat Sulfonamide atau antibiotik sangat dianjurkan. Pemberian preparat antihistamin dapat pula diberikan. Pada kejadian radang mulut mikotik, biasanya mengenai 1-5% dari kelompok hewan yang diberi pakan yang sama, perlu diatasi dengan penggantian pakan. Selanjutnya pengobatan topikal juga dianjurkan.

Diare
Diare merupakan peningkatan frekuensi pengeluaran feses yang mengandung air melebihi normal (Lewis et al, 1992; Nelson, RW and Couto, CG., 2003). Faktor penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok (Kirk and Bistner, 1985) :
1. Gangguan fungsional ;
alergi makanan dan obat, cacat digesti, cacat absorpsi dan aspek psikologi.
2. Penyakit metabolik atau penyakit umum yang mempengaruhi saluran pencernaan ;
uremia, congestive heart failure, liver chirrhosis, hypoadrenocorticism, dan keracunan logam berat.
3. Penyakit intrinsik pada usus ;
bakteri, fungi, protozoa, metazoa parasit, virus dan radang non spesifik.
Mekanisme terjadinya diare dapat dibedakan dalam beberapa tipe (Lewis et al, 1992) :
1. Perubahan motilitas usus
Perubahan motilitas usus dapat terjadi sebagai akibat adanya radang usus, sehingga usus (terutama usus besar) tidak mampu menahan laju isi usus dan terjadi diare.
2. Sekresi aktif
Sekresi aktif dapat disebabkan karena kerusakan usus atau karena penyakit sistemik seperti congestive heart failure atau hepatic congestion. Kedua penyakit tersebut menyebabkan peningkatan tekanan hidrolik pada vena mesenterica sehingga mendorong keluarnya cairan ke lumen usus.
3. Sekresi pasif / peningkatan osmolalitas
Peningkatan osmolalitas dapat disebabkan oleh maldigesti akibat kekurangan enzim pankreatik, garam empedu atau enzim disakaridase. Kekurangan enzim-enzim tersebut akan menyebabkan karbohidrat, lemak, protein tidak terabsorbsi dengan baik. Pakan yang tidak terabsorbsi tersebut akan diubah menjadi asam laktat dan asam lemak volatil oleh bakteri di kolon. Ini akan menyebabkan penurunan pH (asam) dan peningkatan osmolalitas, yang akhirnya menimbulkan watery diare.
4. Peningkatan permeabilitas (exudatif)
Peningkatan permeabilitas dapat disebabkan karena adanya toksin bakteri yang menyerang sel epitel gastrointestinal. Rusaknya epitel akan menyebabkan aktivasi enzim adenylcyclase yang akan mengkatalis perubahan ATP menjadi cyclic AMP sehingga terjadi peningkatan permeabilitas sel.
Berdasarkan lamanya, diare dapat dibedakan menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronis. Diare akut biasanya disebabkan oleh pakan, parasit ataupun karena penyakit infeksi. Diare kronis pada hewan, pertama kali harus dicurigai adanya parasit seperti nematoda, Giardia, Tritrichomonas. Parasit ini dapat diketahui dengan pemeriksaan feses. Pada diare kronis perlu dibedakan penyebabnya pada usus halus atau usus besar.
Kehilangan cairan dan elektrolit merupakan akibat dari diare yang perlu diwaspadai. Air, sodium, chloride, bicarbonat dan potassium merupakan unsur-unsur utama yang hilang dari tubuh. Kehilangan air, sodium dan chloride akan menyebabkan dehidrasi. Kehilangan bicarbonat akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan kehilangan potassium akan menyebabkan kelemahan, penurunan nafsu makan ( Lewis, et al., 1992).














Ancylostomiasis
Ancylostomiasis merupakan suatu gangguan atau infeksi yang disebabkan oleh cacing Ancylostoma sp. Cacing tersebut termasuk kedalam : Phylum : Nemathelminthes, Class : Nematoda (Round Worms), Subclass : Secernentea, Ordo : Ancylostomatoidea, Famili : Ancylostomatidae dan Genus : Ancylostoma.
Ancylostoma sp. merupakan cacing kait klas Nematoda yang umum ditemukan pada anjing dan kucing. Ada lima species Ancylostoma yang umum menyerang pada saluran pencernaan, yaitu antara lain : Ancylostoma caninum, Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, Ancylostoma tubaeformae dan Ancylostoma duodenale. Ancylostoma caninum yang umumnya terdapat pada usus halus anjing, rubah, srigala, anjing hutan dan karnivora liar lainnya diseluruh dunia. Ancylostoma braziliense terdapat pada usus halus anjing, kucing dan berbagai karnivora liar lainnya. Ancylostoma ceylanicum terdapat pada usus halus anjing, kucing, dan karnivora lain bahkan pada manusia. Ancylostoma tubaeformae merupakan cacing kait pada kucing. Ancylostoma duodenale ditemukan pada usus halus manusia, primata tingkat rendah dan kadang-kadang pada babi.
Cacing Ancylostoma sp. berukuran 10-20 mm, telurnya termasuk tipe strongyloid, yaitu berdinding tipis, oval, dan bila dibebaskan dari tubuh biasanya memiliki 2-8 gelembung dalam stadium blastomer (Subronto, 2006).
Cacing dewasa melekat pada mukosa usus dan dengan giginya memakan cairan jaringan, biasanya darah (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003). Bagian mulut cacing ini dimodifikasi untuk melukai lapisan jaringan, menghisap darah dan menyebabkan hemoragi pada usus halus hospes (Anonim, 2006). Cacing ini akan menghasilkan antikoagulan, sehingga luka tetap berdarah beberapa saat setelah cacing berpindah tempat. Kucing muda akan kehilangan darah dalam jumlah besar, atau mengalami anemia karena defisiensi Fe. Kucing akan diare, feses bercampur darah, kadang disertai muntah (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003).










Siklus hidupnya adalah cacing betina bertelur di usus halus anjing dan telur akan keluar bersama dengan feses. Telur menetas kemudian menyilih menjadi L1 berkembang menjadi L2 dan berkembang menjadi L3 lalu keluar bersama feses. L3 merupakan stadium infektif dari cacing Ancylostoma sp., larva ini menginfeksi hospes melalui dua jalur yaitu per os atau per kutan. Pada infeksi per os ; larva tertelan lalu masuk ke dalam kelenjar lambung atau kelenjar lieberkuhn usus halus. Kemudian larva kembali ke lumen usus, menyilih menjadi L4 kemudian dewasa. Bila melalui jalur per kutan ; maka L3 secara aktif menembus kulit hospes. Mereka membuat lubang melalui jaringan sampai mencapai pembuluh darah atau pembuluh limfe. Kemudian melalui sistem vena atau saluran limfe thorak menuju ke jantung dan selanjutnya ke paru-paru. Larva menembus kapiler menuju menuju alveoli dan naik menuju bronkioli dan bronki menuju faring dan oesophagus dan turun kembali ke usus halus. Di sini larva akan menyilih menjadi L4 kemudian dewasa. Selain itu, infeksi prenatal dan transmammaria juga dapat terjadi (Levine, 1994).








Gambar siklus hidup Ancylostoma sp

Patogenesis
Proses infeksi ke dalam tubuh hospes dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut:
1. Infeksi melalui kulit (perkutan)
Larva stadium ketiga yang infektif langsung menembus kulit yang segera diikuti proses migrasi larva ke dalam pembuluh darah atau limfe, langsung ke jantung, paru-paru dan selanjutnya menuju pangkal tekak, kerongkongan dan lambung. Larva akan berubah menjadi cacing dewasa muda didalam usus halus.
2. Infeksi secara oral
Larva stadium ketiga yang infektif memasuki tubuh melalui mulut bersama makanan atau cairan (air susu) yang dikonsumsi. Larva tersebut bermigrasi ke dalam lapisan atas dari mukosa usus halus dalam beberapa hari setelah tertelan, kemudian kembali ke lumen usus halus. Di dalam lumen, berkembang menjadi dewasa setelah mengalami dua kali moulting. (Subronto, 2006). Infeksi parasit kebanyakan melalui ingesti dari telur. Kejadian ini terjadi ketika kucing menjilati daerah yang mengandung feses kucing yang terinfeksi seperti halaman, taman dan rumput. (Anonim, 2006).
3. Infeksi trans-mammaria dan intra uterus
Dalam migrasinya larva dapat mencapai uterus menembus selaput janin hingga anak yang baru dilahirkan pun telah mengandung larva di dalam tubuhnya. Larva tersebut dapat juga mencapai kelenjar susu dan dapat terlarut dalam air susu hingga anak yang masih menyusus dapat terinfeksi melalui susu yang diminum.
4. Infeksi melalui hospes paratenik (paratenic host)
Larva yang bermukim di dalam tubuh hewan yang bertindak sebagai hospes paratenik, misalnya mencit dapat menginfeksi anjing dan kucing atau spesies lain yang rentan cacing tambang bila binatang hospes paratenik tersebut dikonsumsi. (Subronto, 2006).



Gejala Klinis
Gejala utama yang timbul berhubungan dengan anemia, iritasi gastrointestinal, kelemahan umum, dehidrasi, anoreksia, kurus, pertumbuhan terhambat, bulu kering dan kusam, depresi, bahkan pada kasus hebat akan timbul rasa gatal pada kulit, dermatitis, tinja berupa diare berdarah, membrana mukosa pucat, lemah dan melanjut bisa terjadi kematian. Larva dapat bermigrasi ke organ-organ internal seperti hepar atau paru-paru menyebabkan hepatitis dan pneumonia (Kirk and Bistner, 1985).
Diagnosa
Untuk mendiagnosa infeksi Ancylostoma sp. dilakukan pemeriksaan feses metode natif dan sentrifuse, kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi telur cacing yang ditemukan. Sampel darah juga dapat mengindikasikan jika terdapat defisiensi Fe atau protein akibat infeksi dan tingkat keparahan infeksi (Shah, F.S.N, 2000).
Terapi
Pemberian bermacam-macam anthelmentik adalah efektif. Terapi biasanya diulang kira-kira dalam 3 minggu untuk membunuh parasit yang masuk dalam lumen interstisial dari jaringan (Nelson,R.W. dan Couto,C.G., 2003). Ancylostomiasis dapat diterapi dengan pemberian mebendazole. Obat lain yang dapat diberikan antara lain albendazole dan pyrantel. Anemia karena defisiensi Fe adalah masalah utama pada ancylostomiasis, pemberian suplemen Fe dan konsumsi makanan tinggi protein dapat memperbaiki kondisi (Shah, F.S.N, 2000).










Infus Ringer’s Dextrose 5%®
Infus dextrose dalam larutan Ringer merupakan larutan jernih, tidak berwarna, steril dan bebas pirogen, yang terdiri atas glukosa anhidrat (50 g/l) sebagai sumber energi dan menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh, NaCl (8,6 g) yaitu garam untuk memelihara tekanan osmotik darah dan organ-organ dalam tubuh, KCl (0,3 g) yaitu garam yang terpilih untuk mengatasi hipokalemia dan hipokloremia, dan CaCl2 (0,48 g) yaitu garam penting untuk menjaga fungsi syaraf dan otot. Indikasinya sebagai pengganti cairan elektrolit dan sumber kalori, sebagai penambah volume darah pada keadaan shock, dehidrasi dan perdarahan, serta untuk mengatasi alkalosis dan asidosis. Kontraindikasinya pada sindroma malabsorbsi glukosa galaktosa dan harus diberikan dengan hati-hati pada penderita kegagalan fungsi ginjal serta diabetes insipidus.

Infus Lactat Ringer’s
Infus Lactat Ringer’s merupakan cairan solusio untuk mengganti cairan tubuh, sebagai keseimbangan cairan elektrolit dan terapi shock, tersedia dalam kemasan 250, 500, 1000 ml bags. Ringer’s laktat mengandung 40-50 ml/kg NaCl 0,6g, CaCl dihidrat 0,02g, KCl 0,03g, sodium laktat 0,31g (Kirk&Bistner,1985).
Dalam tiap 1 ml larutan ini mengandung natrium 130 mEq/L, klor 109 mEq/L, potassium 4 mEq/L, kalsium 3 mEq/L, buffer 28 mEq/L, osmolalitas 272 mOsm/L. Larutan ringer ‘s laktat termasuk balance crystalloid yang komposisinya dapat mengembalikan cairan ekstra seluler yang hilang. Metabolisme dari larutan ini yaitu menyediakan alkali untuk tubuh. Ringer’s laktat lebih sering digunakan untuk mengisi hipovolemia pada pasien tanpa abnormalitas elektrolit yang besar. Crystalloid yang tidak seimbang (misalnya physiologic saline solution dan dextrose 5 %) tidak dapat mengembalikan cairan extra seluler. Tipe dari larutan tersebut yaitu sebagai larutan pemeliharaan yang tipikalnya mempunyai kandungan sedikit sodium dan potassium yang lebih banyak (Boothe, 2001).
Infus RL pada 100 ml RL mengandung CaCl dihidrat 0,02 g, NaCl 0,6 gram, KCl 0,03 g dan Sodium Lactate 0,31 g. Na merupakan kation utama cairan ekstrasel yang dapat mempertahankan tekanan osmose. Khlorida merupakan anion utama plasma, Kalium merupakan kation penting cairan intrasel. Laktat digunakan sebagai prekursor bikarbonat. Cairan intrasel untuk konduksi syaraf otot. NaCl untuk menjaga tekanan osmose darah dan jaringan, KCl untuk hipokalemia dan hipokloremia, karena pada kasus muntah hewan banyak kehilangan Kalium dan Klorida. Pemberian infus RL juga dapat menjadi pilihan untuk mengisi hipovolemia pada pasien dehidrasi tanpa abnormalitas elektrolit. Kalium merupakan kation mayor di cairan ekstraseluler. Konsentrasi 3,9 – 5,6 mEq/l pada anjing. Jika kurang dapat terjadi hypokalemia, kelemahan (Kirk&Bistner, 1985). Dosis maintenance RL adalah 40-50 mg/kg/ hari (Lane and Cooper, 2003).

Biosolamin
Biosolamin mengandung ATP, Magnesium aspartat, Kalium aspartat, Natrium selenite, dan Vitamin B12. ATP membebaskan energi pada waktu peruraiannya dan memungkinkan pembentukan ester asam fosfor yang dapat diasimilasi. Aktivitas Selenite untuk metabolisme sel, dan vitamin B12 berperan dalam pembentukan sel darah merah. Aspartat mengambil fungsi dari siklus krebs apabila siklus krebs terganggu. Pemberian biosolamin dimaksudkan untuk stimulasi tubuh secara umum terutama pada tonus urat daging dan mengatasi kelemahan akibat kekurangan makanan atau infeksi.

Vitamin B-kompleks
Vitamin B komplek merupakan komplek vitamin B yang berguna untuk proses metabolisme di dalam tubuh. Komposisinya meliputi Thiamin HCl, Riboflavin, Pyridoksin HCl, kalsium pentatonat dan Nicothinamide.
Thiamin HCl penting untuk oksidasi karbohidrat, berdasarkan fungsinya sebagai koenzim pada proses dekarboksilasi asam alpha keto (asam piruvat, asam laktat). Riboflavin adalah komponen dari flavoprotein enzim yang merupakan bagian dari sistem enzim pada transfer hidrogen (sebagai koenzim pada transpor hidrogen dalam siklus crebs) dan juga bekerja dalam proses degradasi asam lemak, proses oksidasi asam piruvat dalam SSP, asam amino, aldehide, dan produk metabolisme yang lain. Pyridoksin HCl dalam tubuh diubah menjadi pyridoksal fosfat yang berpengaruh sebagai koenzim yang essensial dalam susunan enzim yang diperlukan pada proses dekarboksilasi, transaminasi dan racemisasi asam amino, serta menbantu transpor asam amino melalui membran, membantu proses sintesa dari unsaturated fatty acid, dan membantu merubah triptopan menjadi asam nikotinat. Kalsium pentatonat sebagai bagian dari koenzim A yang diperlukan untuk proses metabolisme, yaitu proses asetilasi, biotransformasi preparat sulfonamide dalam hepar, permulaan siklus crebs, dan metabolisme asam lemak serta asam amino. Nicotinamide sebagai antipelagra, merupakan komponen essensial dari koenzim I dan II dimana enzim tersebut bekerja sebagai penerima H+ dan pemberi H+ dalam proses oksidasi-reduksi dari siklus crebs dan dalam metabolisme zat hidrat arang, zat lemak, dan zat putih telur.

Amoxicilin
Amoxicilin tersedia dalam bentuk serbuk injeksi yang tiap vial berisi amoxicillin sodium yang setara dengan amoxicillin 1000 mg. Konsentrasi larutan amoxicilin injeksi ini adalah 10%. Amoxicillin merupakan antibiotik semi sintetik dari penisilin. Amoxicilin merupakan penicilin yang tahan asam, termasuk asam lambung. Hal ini dikarenakan amoxicilin memiliki gugus phenoxyl yang terikat oleh gugus alkyl dari rantai acylnya (Subronto dan Tjahjati, 2008).
Pada Senyawa ini terdapat gugus hidroksil fenolik tambahan dan dapat bekerja terhadap bakteri Gram negatif seperti Escherchia colli atau Proteus mirabilis, karena itu amoxicilin disebut penisilin spectrum luas. Aktifitas antibakteri amoxicilin ini terletak pada cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Penisilin mudah dirusak oleh agen-agen berbeda yang bervariasi, seperti asam dan basa, logam berat, agen pengoksidasi, alkohol dan panas (Thomas dan Grainger, 1952). Resistensi terhadap golongan penisilin dibagi dalam beberapa kategori yang berbeda yaitu pada bakteri tertentu (misalnya, kebanyakan Staphylococcus aureus, beberapa Haemophilus influenzae dan gonococcus. Kebanyakan batang enterik Gram negatif) menghasilkan beta-laktamase (penicillinases), yang menginaktifkan penisilin dengan memecah cincin beta-laktam. Kontrol genetik pada pembentukan beta-laktamase oleh Staphylococcus aureus terdapat kira-kira 50 enzim berbeda satu terletak pada plasmid yang dapat dipindahkan. Penisilin lain (misalnya, nafsilin) dan sefalosforin resisten terhadap beta-laktamase karena cincin beta-laktamnya dilindungi oleh bagian rantai samping. Resistensi penisilin seperti ini aktif terhadap organisme penghasil beta-laktamase. Bakteri lain tidak membentuk beta-laktamase tetapi resisten terhadap kerja penisilin karena kurang mempunyai reseptor yang spesifik atau kurangnya permeabilitas lapisan luar, sehingga obat tersebut tidak mencapai reseptor (Katzung, 1998)
Beberapa bakteri mungkin tidak rentan terhadap kerja penisilin yang mematikan karena enzim autolik didalam dinding sel tidak aktif. Organisme yang toleran tersebut (misalnya, Staphylococcus tertentu, Streptococcus, Listeria) dihambat tetapi tidak dibunuh. Organisme tanpa dinding sel atau (bentuk Mycoplasma L) yang secara metabolik tidak aktif bersifat tidak rentan terhadap penisilin dan penghambat dinding sel lainnya karena mereka tidak mensistesis peptidoglikan. Beberapa bakteri (misalnya, Staphylococcus) mungkin resisten terhadap kerja beta-laktam pada penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase seperti metisilin. Mekanisme resisten ini tampaknya bergantung pada defisiensi atau tidak dapat dicapainya Penicilin Binding Protein (PBP), hal ini tidak bergantung pada produksi beta-laktamase dan frekuensinya sangat bervariasi dengan lokasi geografis (Katzung, 1998).
Dosis pemberian amoxicilin pada kucing yaitu 7 mg/kg im q12 jam (Tennant, 2002), atau 10-20 mg/kg 2 kali sehari selama 4 hari (Rossoff, 1994).

Duradryl
Duradryl merupakan antihistamin dalam bentuk larutan injeksi yang tiap ml mengandung diphenhidramin HCl 10 mg. Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel dengan mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Ikatan dengan sel akan menyebabkan tidak adanya efek histamin pada sel tersebut. Diphenhidramin HCl sendiri merupakan antihistamin dari klas ethanolamine, yang dapat mengandung sedatif, antimuskarinik, dan anti emetika, sehingga dapat menekan gejala batuk, serta antihistamin (H1) menekan muntah dan pruritis (Tennant, 2002). Penggunaan secara i.m jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan.
Antihistamin H1 digunakan dalam mencegah aksi histamin pada bronchial, intestinal, uterus, mukulus halus pembuluh darah. Sebagai antagonis terhadap efek vasokonstriksi oleh histamin dan lebih berpengaruh terhadap efek vasodilatator dalam meningkatkan permeabilitas kapiler. Antihistamin ini berefek terhadap urticaria dan beberapa tipe edema sebagai respon terhadap kelukaan, antigen, alergen dan senyawa histamin yang dibebaskan oleh beberapa spesies.
Setiap antihistamin dapat menghasilkan efek samping. Salah satu yang penting secara klinik pada penghambatan H1 yaitu sedasi atau rangsangan CNS, gangguan gastrointestinal, aksi parasimpatolitik, efek teratogenik dan anastetik. Pada dosis terapeutik dapat berefek sedativa, dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritabilitas, konvulsi, hiperpireksia, dan bisa menyebabkan kematian
Diphenhydramin umum digunakan pada pengobatan rhinitis karena alergi, gigitan serangga dan karena nyeri. Efek samping yang paling umum diketemukan seperti rasa ngantuk, ataksia, mulut kering, tachycardia, photophobia, dilatasi pupil, retensi urinaria, konstipasi dan gangguan pengelihatan (Adam,1995). Sehingga penggunaan diphenhdramin kontraindikasi terhadap penderita retensi urin, glaukoma, dan hiperthyroidism (Tennant, 2002). Dosis pemberian diphenhidramin HCl pada kucing yaitu 1 mg/kg secara i.m atau i.v (Tilley dan Smith, 2004).

Pyrantel Pamoat
Pyrantel merupakan obat cacing golongan tetrahidropirimidin, derivat dari imidazothiazole dengan rumus kimia yaitu E-1,4,5,6-tetrahydro-1-methyl-2-[2-(2-thienyl)vinyl]-pyrimidine (Ganiswarna, 1995) dengan garam pyrantel yang diproduksi adalah pamoat. Garam ini berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, meskipun yang berbentuk cairan bila terkena matahari akan mengalami fotoisomerisasi, yang tidak memiliki potensi sebagai obat cacing, sehingaga bila telah dilarutkan harus segera dihabiskan. Pada hewan berlambung tunggal, pyrantel segera diserap setelah pemberian dengan kadar puncak plasma tercapai dalam 2-3 jam. Setelah memasuki tubuh pyrantel segera dimetabolismekan dan di dalam kemih tidak ditemukan senyawa pyrantel utuh. Yang diekskresikan lewat urin mencapai 40%. Garam pamoat pyrantel sulit larut di dalam air, dan hal tersebut sangat menguntungkan untuk membunuh cacing-cacing yang hidup di bagian posterior usus. Terhadap parasit pyrantel menyebabkan kelumpuhan karena kejang otot yang berlebihan, mirip bila asetilkholin berlebihan diberikan kepada cacing. Kemoreseptor yang terdapat pada badan-badan karotis dan aorta, ganglion-ganglion otonom, kelenjar adrenal dan sambungan neuromuskuler terangsang secara terus menerus hingga akibatnya terjadi kelumpuhan (nikotin-like effect). Efek kontraktil otot-otot cacing oleh pyrantel diperkirakan 100 kali lebih besar daripada asetilkholin. Bila efek asetilkholin bersifat reversibel, tidak demikian halnya dengan efek oleh pyrantel. Sediaan pyrantel tidak dianjurkan digunakan untuk hewan yang lemah sekali (Subronto, dan Tjahajati, 2008).
Absorbsi pyrantel pada usus tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala. Penggunaan pirantel pamoat tidak boleh diberikan bersama piperazin karena efek kerjanya berlawanan (Ganiswarna, 1995).
Pyrantel digunakan untuk kontrol cacing seperti Toxocara canis, Toxascaris leonina, Ancylostoma caninum, Ancylostoma brazieliensis dan Uncinaria stenocephala (Tennant, 2002). Obat ini dapat menyebabkan cacing mati dalam keadaan spastis (Ganiswarna, 1995).
Pemberian pirantel pamoat sebaiknya diberikan pada kucing umur lebih dari 2 minggu dengan dosis 8-10 mg/kg sekali secara per oral setelah makan (Tilley dan Smith, 2004; Rossoff, 1994).






RIWAYAT KASUS

Nomor : 747
Tanggal periksa I : 01 November 2010
Jenis / Nama hewan : Anjing / Unyil
Pemilik/ Alamat : Bayu Dwi A, Wedo Baru 46, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta
Signalemen : domestik, ♀, 4 bulan, cokelat
Anamnesa : diare selama 4 hari dan muntah, belum pernah diberi obat cacing, belum pernah di vaksin, nafsu makan dan minum jelek
Status Praesens:
• Keadaan umum : Kondisi tubuh kurus, ekspresi muka lesu.
• Frequensi nafas : 56x/ menit
Pulsus : 108x/ menit
Temperatur : 38,6 °C
• Kulit dan rambut : Turgor kulit jelek, rambut rontok.
• Selaput lendir : Konjungtiva pink, CRT>2
• Pencernaan : Inspeksi anus kotor, mulut bau busuk, pembengkakan pada gusi dari gigi molar, palpasi abdomen tidak ada rasa sakit, gerak peristaltik meningkat.
• Peredaran darah : Sistole-distole dapat dibedakan (normal)
• Pernafasan : Tipe thoracoabdominal, auskultasi vesikuler
• Kelamin : Palpasi ginjal tidak ada rasa sakit
Perkencingan
• Syaraf : Refleks pupil, palpebra, pedal baik
• Anggota gerak : Dapat berdiri dan berjalan dengan normal
• Kelenjar limfe : Pembengkakan lgl. submandibularis
• Berat badan : 1,4 kg


Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan feses : natif (+) Ancylostoma sp
• Pemeriksaan kulit : ( - )
• Pemeriksaan darah : Limfopenia
Monositopenia
Diagnosa
• Stomatitis dan Ancylostomiasis
Prognosa
• Dubius
Tata laksana
• Tanggal 01 November 2010
inf/ Ringer Dextrose 28 cc iv
inj/ Biosolamin 1 cc im
• Tanggal 02 - 05 November 2010
inf/ Ringer Lactat 14 cc sc s.2.d.d
inj/ Amoxicilin 0,14 cc im s.2.d.d
inj/ Duradryl 0,14 cc im s.1.d.d
inj/ B-plex 0.14 cc im s.1.d.d
• Tanggal 02 - 05 November 2010
R/ Pyrantel pamoat mg 125 tab I
s.haust. tab I
R/ B-plex mg 125 tab I, No. V
s.1.d.d. tab I









HASIL

Tabel 1. Data pengobatan, pemeriksaan fisik dan keadaan pasien dan perkembangan penyakit tanggal 01 – 05 November 2010

Keterangan 01/11 02/11 03/11 04/11 05/11
Ringer Dextrose diberikan (s1dd) - - - -
Biosolamin diberikan (s1dd) - - - -
Ringer Lactat - diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s1dd)
Amoxicilin - diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s2dd) diberikan (s1dd)
Duradryl - Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd)
B-plex - Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd) Diberikan (s1dd)
Pyrantel pamoat Diberikan (s.haust)
Temperatur Normal Normal Normal Normal Normal
Nafas Meningkat Meningkat Normal Normal Normal
Pulsus Normal Normal Normal Normal Normal
CRT >2 >2 >2 <2 <2
Nafsu makan Tidak ada Tidak ada ada ada ada
Nafsu minum Tidak ada ada ada ada ada
Defekasi Diare berdarah Diare berdarah Diare berkurang normal normal
Berat badan (kg) 1,4
Natif (+) Ancylostoma
Pemeriksaan darah dilakukan




Tabel 2. Data hasil pemeriksaan darah awal (01 November 2010)

Pemeriksaan darah Unit Standar* Hasil
(01/11/10) Ket.
Hematokrit % 24-45 45 normal
Eritrosit 106/mm3 5-10 10,95 normal
MCV fl 43,1 + 1.5 41,09 normal
WBC (103/ mm3) 5,5-19,5 9,25 normal
TPP g % 6-8 8,4 normal
Neutrofil segmented (R) % 94
(A) Sel/mm3 3000-11500 8695 normal
Limfosit (R) % 2
(A) Sel/mm3 1000-4800 185 menurun
Monosit (R) % 1
(A) Sel/mm3 150-1350 92 menurun
Eosinofil (R) % 3
(A) Sel/mm3 100-1250 277 normal
*Standar normal dari Schalm’s Veterinary Hematology (Feldman et al., 2000)













PEMBAHASAN
Anamnesa dan Pemeriksaan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka kucing “Unyil” dapat didiagnosa menderita stomatitis dan ancylostomiasis. Diagnosis ini diambil dari anamnesis bahwa kucing tersebut berumur 4 bulan dan belum pernah di vaksinasi, diare mulai 4 hari yang lalu disertai dengan darah, hal ini terlihat dari sisa kotoran di anus yang terdapat bercak darah dan fesesnya berlendir. Dari pemeriksaan fisik diketahui bahwa keadaan umum kucing tersebut dapat dilihat ekspresi muka lesu dan suhu tubuh mencapai 38,6OC. Turgor kulit jelek dan rambut rontok. Pada pemeriksaan selaput lendir telihat kionjungtiva pink dan index CRT > 2 detik. Pada pemeriksaan kelenjar limfe dapat diraba pada Lgl. Submandibularis mengalami kebengkakan. Pada pemeriksaan alat pencernaan, dapat dilihat mulut bau busuk,luka dan pembengkakan pada gusi dari gigi molar, palpasi abdominal tidak ada rasa sakit, auskultasi peristaltik usus meningkat, anus kotor dan terdapat bercak darah. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil gambaran darah terjadi penurunan limfosit (limfopenia) dan penurunan monosit (monositopenia). Pada pemeriksaan feses, didapatkan hasil positif Ancylostoma sp pada uji natif dan sentrifus.
Adanya pembengkakan pada Lgl. Submandibularis, mulut bau busuk,luka dan pembengkakan pada gusi dari gigi molar menunjukkan adanya radang pada mulut (stomatitis). Stomatitis pada kucing “unyil” disebabkan oleh gigi molar sudah goyang dan selanjutnya dilakukan penanggalan gigi molar tersebut. Adanya radang juga didukung oleh kejadian limfopenia pada gambaran darah kucing “unyil” pada pemeriksaan darah yang dilakukan.







Gambar Gigi molar Kucing “Unyil”
Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya abnormalitas darah, hal ini turut berperan dalam peneguhan diagnosis suatu penyakit karena dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan penyebab suatu penyakit. Pemeriksaan darah menunjukkan terjadinya limfopenia dan monositopenia meskipun leukosit dalam batas normal
Limfopenia
Limfopenia merupakan keadaan jumlah limfosit kurang dari 1000-4800/ mm3. Penurunan jumlah sel limfosit pada pemeriksaan hitung jenis dengan menggunakan SADT apabila sel yang ditemukan kurang dari 20%. Etiologi limfopenia antara lain ; penurunan produksi limfosit akibat adanya gangguan pada jaringan dari organ tertentu. Penurunan terjadi akibat limfosit pada jaringan yang mengalami gangguan berfungsi sebagai antibodi. Selain itu, dapat juga disebabkan karena adanya peningkatan destruksi limfosit (kemoterapi dan radiasi), peningkatan kortikostreoid (stres), dan peningkatan kehilangan limfe pada saluran pencernaan. Adanya radang pada mulut (stomatitis) pada kucing “unyil” menyebabkan kadar limfosit pada jaringan meningkat, sehingga gambaran darah kucing “unyil” saat dilakukan pemeriksaan darah menunjukkan adanya limfopenia.
Monositopenia
Monositopenia merupakan penurunan jumlah monosit kurang dari 150-1350 sel/mm3. Penurunan jumlah sel monosit pada pemeriksaaan hitung jenis dengan menggunakan SADT apabila sel yang ditemukan kurang dari 2%. Penurunan jumlah monosit dalam darah akibat dari adanya gangguan yang terjadi dalam tubuh karena monosit berfungsi sebagai pertahanan terahir dalam tubuh yang bersifat fagositosis sel yang sudah mati. Terjadinya pendarahan pada diare kucing “unyil” akibat infestasi cacing ancylostoma sp. (Ancylostomiasis) yang tinggi, sehingga terjadi destruksi sel-sel saluran pencernaan belakang kucing “unyil”. Oleh karena itu, fagositosis sel-sel yang sudah mati oleh monosit meningkat sehingga gambaran darah kucing “unyil” saat dilakukan pemeriksaan darah menunjukkan adanya monositopenia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses secara natif ditemukan adanya telur dari nematoda yaitu Ancylostoma sp. Selain menyebabkan timbulnya gejala diare, infestasi cacing yang banyak dapat menyebabkan anemia. (Subronto, dan Tjahajati, 2008).









Gambaran telur Ancylostoma sp dari hasil pemeriksaan feses kucing “unyil”
secara natif tanggal 01 November 2010.

Infeksi cacing ini juga dapat menyebabakan anoreksia karena cacing mengeluarkan kolesistokinin yang dapat mendepres sistem syaraf sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan. Adanya parasit cacing akan menyebabkan degranulasi mastcell, sehingga histamin akan disekresikan yang mengakibatkan peningkatan kontraksi usus/peristaltik dan menyebabkan diare. Infeksi cacing Ancylostoma sp ini dalam jumlah banyak dapat menyebabkan penurunan absorbsi bahan makanan, sehingga terjadi hypoalbuminemia yang selanjutnya menyebabkan kekurusan dengan busung lapar (asites), (Subronto, 2006).
Diare lebih sering terjadi pada kucing muda dibanding dengan dewasa. Terapi kucing yang terinfeksi cacing dan terjadi diare berdarah umumnya bersifat simtomatik dan supportif. Pada kucing yang menderita ringan, prognosa untuk sembuh sangat besar atau dengan kata lain fausta. Pada penyakit ini, terapi utama adalah infus sesuai dengan status dehidrasi pasien tersebut. Tujuannya adalah untuk mengembalikan cairan dan elektrolit yang hilang akibat diare. Antibiotik perlu diberikan untuk mencegah jika ada infeksi sekunder bakterial. Terapi supportif dengan pemberian vitamin yang bertujuan untuk membantu metabolisme protein, karbohidrat dan lemak dan diberi antihistamin bila terjadi hipersensitivitas akibat banyak dilepasnya histamin


Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada kucing “unyil” antara lain:
a. Infus Ringer’s Dextrose 5%
Pemberian infus ringer dextrose 5% intravena merupakan terapi utama, sesuai dengan status dehidrasi pasien tersebut. Tujuannya adalah untuk mengembalikan cairan dan elektrolit yang hilang akibat diare. Infus dextrose dalam larutan Ringer’s terdiri dari glukosa anhidrat (50 g/L) sebagai sumber energi dan menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh. NaCl (8,6 g) yaitu garam untuk memelihara tekanan osmotik darah dan organ-organ dalam tubuh, KCL (0,3 g) yaitu garam-garam yang terpilih untuk mengatasi hipokalemia dan hipokloriemia, CaCl2 (0,48 g) yaitu garam penting untuk menjaga fungsi syaraf dan otot. Indikasi dari larutan ini adalahsebagai pengganti cairan elektrolit dan sumber kalori, sebagai penambah volume darah pada keadaan shock, dehidrasi dan pendarahan, serta untuk mengatasi alkalosis dan asidosis (menormalkan pH darah) (Kirk dan Bistner, 1985).
b. Infus Lactat Ringer’s
Pemberian infus lactat ringer subcutan merupakan pengganti dari infus ringer dextrose 5% sebagai terapi utama. Penggantian ini dilakukan karena pembuluh darah vena kucing “unyil” mengalami hematom akibat kesalahan tehnis dalam penanganan. Tujuan pemberian sama yaitu untuk mengembalikan cairan dan elektrolit yang hilang akibat diare
Infus Lactat Ringer’s merupakan cairan solusio untuk mengganti cairan tubuh, sebagai keseimbangan cairan elektrolit dan terapi shock. Tersedia dalam kemasan 250, 500, 1000 ml bags. Ringer’s laktat mengandung 40 – 50 ml/kg NaCl 0,6 g, CaCl dihidrat 0,02 g, KCl 0,03 g, Sodium laktat 0,31 g (Kirk&Bistner,1985). Dalam tiap 1 ml larutan ini mengandung natrium 130 mEq/L, klor 109 mEq/L, potassium 4 mEq/L, kalsium 3 mEq/L, buffer 28 mEq/L, osmolalitas 272 mOsm/L.
c. Biosolamin
Pemberian biosolamin sebagai terapi suportif dan dimaksudkan untuk stimulasi tubuh secara umum terutama pada tonus urat daging dan mengatasi kelemahan akibat kekurangan makanan atau infeksi. Biosolamin mengandung ATP, Magnesium aspartat, Kalium aspartat, Natrium selenite, dan Vitamin B12. ATP membebaskan energi pada waktu peruraiannya dan memungkinkan pembentukan ester asam fosfor yang dapat diasimilasi. Aktivitas Selenite untuk metabolisme sel, dan vitamin B12 berperan dalam pembentukan sel darah merah. Aspartat mengambil fungsi dari siklus krebs apabila siklus krebs terganggu.
d. Vitamin B-kompleks
Pemberian Vitamin B-plex dilakukan 1hari pasca penanganan kucing unyil. Pemberian ini dimaksudkan untuk menggantikan terapi suportif yang dilakukan sebelumnya sehingga terapi sebelumnya dihentikan. Selain itu, juga bertujuan untuk membantu metabolisme protein, karbohidrat dan lemak
Vitamin B komplek merupakan komplek vitamin B yang berguna untuk proses metabolisme di dalam tubuh. Komposisinya meliputi Thiamin HCl, Riboflavin, Pyridoksin HCl, kalsium pentatonat dan Nicothinamide.
e. Amoxicilin
Pemberian antibiotik berupa antibiotik amoxicilin 0,14 cc secara i.m sebanyak 2 kali sehari selama 4 hari diberikan untuk dugaan infeksi bakteri baik secara primer maupun sekunder. Amoxicilin bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara mencegah penggabungan asam N-asetilmuramat yang dibentuk di dalam sel kedalam struktur mukopeptide yang biasanya memberi bentuk kaku pada dinding sel bakteri. Mekanisme kerja ini konsisten dengan kenyataan bahwa antibiotik ini hanya bekerja pada bakteri yang sedang tumbuh dengan aktif (Pelczar dan Chan, 1988). Pemberian amoxicilin selama 4 hari berturut-turut bertujuan agar kerja antibiotik untuk mematikan bakteri dapat optimal.
f. Duradryl
Pemberian antihistamin dimaksudkan untuk menangani bila terjadi hipersensitivitas akibat banyak dilepasnya histamin. Pengobatan berupa duradryl (diphenhydramin HCl) sebanyak 0,14 cc secara i.m sebanyak 1 kali sehari selama 4 hari diberikan sebagai antihistamin yang mengandung sedatif, antimuskarinik, dengan cara memblok efek dari histamin di reseptor H1. Diphenhidramin ini bersifat antagonis kompetitif untuk reseptor histamin. Terjadinya ikatan sel dengan antihistamin ini dapat mencegah efek histamin seperti hipersensitifitas akibat infestasi cacing dan juga mencegah pembebasan histamin sebagai mediator inflamasi. Adanya sedatif pada kandungan duradryl menyebabkan hewan menjadi lebih tenang. Pemberian antihistamin selama 4 hari berturut-turut diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan dengan menghambat efek histamin, membuat hewan lebih tenang, dan sebagai antiinflamasi.
g. Pyrantel Pamoat
Pengobatan dengan pyrantel pamoat bertujuan untuk mengatasi infestasi Ancylostoma sp. Pyrantel pamoat dapat menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls sehingga cacing mati dalam keadaan spastis. Pirantel pamoat juga dapat menghambat enzim kolinesterase pada ganglion neurotransmisi sehingga meningkatkan kontraksi otot cacing (Ganiswarna, 1995). Absorbsi pyrantel pada usus tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala. Penggunaan pirantel pamoat tidak boleh diberikan bersama piperazin karena efek kerjanya berlawanan (Ganiswarna, 1995).

Perkembangan Keadaan Pasien
Selama mendapatkan pengobatan kucing “unyil” menunjukkan gejala ke arah perbaikan. Pada awalnya hewan sudah 4 hari mengalami diare dengan gerak peristaltik usus meningkat serta tidak mau makan 2 hari. Setelah dilakukan penanggalan gigi dan pengobatan dilakukan selama dua hari, kucing “unyil” mulai menunjukkan perubahan yaitu nafsu makan membaik, tetapi konsistensi feses masih belum ada perubahan yaitu masih terlihat lembek. Pada hari ketiga pengobatan, feses kucing unyil sudah menunjukan ke arah perbaikan dimana feses sudah mengeras.
Setelah 4 hari dilakukan pengobatan pasien sudah tidak diare, konjungtiva pink, kondisi tubuh baik dan sehat, ekspresi muka ceria, nafsu makan dan minum baik, sangat lincah dan agresif. Hal ini menunjukkan bahwa pasien telah mengalami proses penyembuhan.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, kucing “unyil” didiagnosa Stomatitis dan Ancylostomiasis, yang kemudian setelah diberi pengobatan berupa infuse ringer dextrose 5% dan diganti dengan infuse ringer lactate, injeksi biosolamin, vitamin B-plex, duradryl, amoxicillin, dan pyrantel pamoat hewan mengalami penyembuhan.

Saran
Salah satu cara yang efektif untuk penanggulangan atau pencegahan penyakit adalah dengan meningkatkan kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Hewan kesayangan harus terawat dengan cara memandikan secara teratur, pemberian makanan yang sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk hewan kesayangan. Meski secara alamiah hewan dapat sembuh sendiri namun pengobatan pada hewan sakit harus segera dilakukan, misalnya pemberian obat cacing yang teratur serta menjaga higienitas dan sanitasi yang baik.












DAFTAR PUSTAKA

Adam, H.R. 1995. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Lowa state University Press. Ames

Anonimus, 2006, Gastroenteritis, www.medicastore.com
Boothe, D.M., 2001, Small Animal Clinical Pharmacology ang Therapeutics, W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Feldman F.B, J.G Zinkl, and N. Jain, 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. 5th edition, Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia.

Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi keenam. Penerbit buku kedokteran ECG. Jakarta.

Kirk and Bistner, 1985, Hand Book of Veterinary Procedures and Emergency Treatment, Fourth Edition, W. B. Saunders Company, Philadelphia.
Lane and Cooper, 2003, Veterinary Nursing, Third Edition, Butterworth Heinemann
Levine, N. D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner (judul asli: Textbook of Veterinary Parasitology. Penerjemah: Ashadi, G.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Lewis, L.D., Morris,M.L. and Hand, M.S., 1992. Small Animal Clinical Nutrition III. 3rd edition. Mark Morris Associates. Topeka-Kansas.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerbit IPB. Bandung.

Nelson, R.W. and Couto, C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine. 3rd edition. Mosby. Missouri.

Rossoff I. S.1994, Handbook of Veterinary Drugs and Chemicals, Second Edition, Pharmathox Publishing Company. Illinois.

Shah, F.S.N., 2000, What is A Hookworm Infection? (Ancylostomiasis), http://www.personalmd.com/newa/hookworm.072600.html

Subronto, 2006, penyakit infeksi parasit dan mikroba pada anjing dan kucing. Gadjah mada university press, Yogyakarta.

Subronto dan Tjahajati, I., 2008. Ilmu Penyakit Ternak III: Farmakologi Veteriner, Farmakodinamika dan Farmakokinesis, Farmakologi Klinis. Gadjahmada University Press. Yogyakarta.

Tennant, B. 2002. BSAVA Small Animal Formulary, 4th ed. British Small Animal Veterinary Association. Gloucester

Thomas, S. dan T.H. Grainger. 1952. Bakteria. The blakiston company. New York.

Tilley, L.P., dan Smith, F.W.K., 2004. The 5-Minute Veterinary Consult Canine and Feline Third Edition. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia.