Senin, 06 Desember 2010

Enteritis dan dypilidiasis ( suspect parvo )

TINJAUAN PUSTAKA

Enteritis
Enteritis adalah peradangan pada intestinal, yang dikarakteristikkan adanya infiltrasi eosinofil, biasanya masuk ke lamina propia, namun kadang melibatkan submucosa dan muskularis (Tilley and Smith, 2000).
Enteritis dapat bersifat akut maupun kronis dapat mengakibatkan peningkatan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar pencernaan serta penurunan proses penyerapan cairan maupun nutrisi makanan yang terlarut di dalamnya. Enteritis primer maupun sekunder ditandai dengan menurunnya nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare. Perasaan sakit karena adanya enteritis bersifat bervariasi, tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat keradangan (Subronto, 1995). Kondisi ini mengakibatkan gerakan mukosal intestinal mengalami perpindahan cairan dan elektrolit secara cepat dari darah ke lumen usus sehingga terjadi dehidrasi dan shock hipovolemik secara cepat. Kerusakan mukosa usus dan shock septik atau shock endotoksik diakibatkan terjadinya translokasi dari bakteri atau toksin bakteri. Natrium dan Kalium hilang bersama dengan hilangnya cairan tubuh akibat terjadinya dehidrasi (Nugroho dan Whendarto, 1998).
Alergi pakan, infeksi fungal, bekterial, atau parasit dan neoplasma sering menjadi penyebab terjadinya enteritis (Boothe, 2001). Beberapa bakteri penyebab antara lain Escherichia coli, Salmonella sp., Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens, parasit antara lain nematoda: Ancylostoma sp., Toxocara sp., Strongyloides, cestoda: Dipylidium caninum, Taenia sp., protozoa: Giardia, Coccidia, Cryptosporodia, viral: Canine Parvoviral Enteritis, Canine Distemper dan Canine Coronaviral Enteritis.
Adanya radang mampu meningkatkan frekuensi dan intensitas peristaltik usus akibatnya penyerapan nutrisi pada usus halus berkurang sehingga vili usus menjadi rusak dan kerja usus menjadi lebih meningkat sehingga mengeluarkan banyak cairan. Jumlah air yang tidak terserap jadi lebih banyak hingga konsistensi tinja jadi lebih encer dan pengeluarannya menjadi lebih sering serta banyak (terjadi diare) (Subronto, 1995). Kehilangan cairan tubuh akan menyebabkan dehidrasi (Moore, 2004).
Gejala klinis yang sering dijumpai pada enteritis seperti diare disertai atau tanpa muntah, demam, anoreksia, depresi dan sakit pada abdomen (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003). Enteritis kronis, dapat mengakibatkan kekurusan dengan feses cair, berdarah, lendir atau ada reruntuhan jaringan yang jumlahnya mencolok. Enteritis akut selalu disertai dengan oligouria atau anuria, dan disertai dengan menurunnya nafsu makan, anoreksia total maupun parsial. Pada radang kronis biasanya nafsu makan tidak mengalami perubahan (Subronto, 1995).
Dalam mendiagnosa penting adanya anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (darah dan feses) yang digunakan untuk mengidentifikasi penyebab enteritis. Diagnosa tentatif diambil bila tidak ditemukan penyakit tersifat penyebab diare (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003). Pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebab primernya, perlu dipertimbangkan pemberian protektiva, adstringensia. Rasa sakit yang terus menerus dapat dikurangi dengan pemberian analgesika atau transquilizer. Pemberian cairan faali maupun elektrolit mutlak diberikan unutuk mengganti cairan yang hilang. Pemberian antibiotik dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat pertumbuhan bakteri yang memungkinkan kondisi peradangan menjadi lebih parah (Boothe, 2001).


Diphylidiasis
Infestasi parasit intestinal yang disebabkan Dipylidium caninum disebut dipylidiasis. Cacing Dipylidium caninum tinggal dalam usus halus anjing, memiliki panjang sampai 50 cm. Untuk melekat dan memperoleh makanan cacing tersebut dilengkapi dengan 4 penghisap pada skoleksnya. Serta kait-kait yang dapat ditarik ke dalam. Puluhan proglotid yang berbentuk oval memiliki alat reproduksi hermaprodit yang memiliki 2 buah muara genital yang terletak disebelah lateral. Di alam proglotid mengandung telur dalam jumlah yang besar terdapat kapsul telur yang berbentuk ovoid. Tiap kapsul terdapat telur sebanyak 3-30 butir. Telur yang berdiameter 44-54 mikron mengandung embrio yang memiliki 6 kait dan bersifat motil (onkosfer) (Subronto, 2006). Dalam satu kapsula terdapat 1-63 telur per paket. Cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan gangguan syaraf (Foreyt, 2001)

Daur hidup
Segmen cacing yang mengandung telur yang mengandung telur gravid keluar dari tubuh bersama feses anjing secara spontan. Segmen tersebut secara aktif bergerak di daerah anus atau jatuh ke tanah dan membebaskan telur cacing. Kapsul cacing yang berisi embrio akan termakan oleh larva pinjal. Kapsul tersebut pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding usus larva pinjal yang selanjutnya berkembang mesnjadi sistiserkoid di dalam jaringan tubuh larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa, sistiserkoid mejadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal maka akan terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus akan mengalami evaginasi, skoleks akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama akan berkembang sebagai cacing dewasa (Subronto, 2006).
Spesies pinjal Ctenocephalides Spp dan Pulex irritans merupakan hospes antara yang paling sering ditemukan. Meskipun kutu Trichodectes canis juga dapat bertindak sebagai hospes antara. Larva pinjal mungkin mengkonsumsi sejumlah kapsul telur yang tiap telur mengandung sejumlah onkosfer. Seekor pinjal dapat memiliki sistiserkoid dalam jumlah besar sehingga dapat menginfeksi anjing beberapa kali (Subronto, 2006).

Patogenesis
Selain menyebabkan rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut akan menyebabkan penderita menggosok gosokan bagian rektalnya di tanah. Penderita dengan infeksi berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan berat badan yang menurun (Subronto, 2006).

Diagnosa
Rasa gatal di daerah anus yang diperlihatkan dengan mengosok-gosokan bagian yang gatal tersebut serta berjalan dengan tubuh yang tegak merupakan petunjuk kuat untuk diagnosa. Petunjuk yang lain yaitu terdapat segmen cacing di tempat tidur atau di feses (Subronto, 2006).


Gambar 1. Siklus hidup Dipylidium caninum.
Keterangan : 1) Proglotid yang menyerupai biji mentimun keluar, 2) Proglotid kering mengandung 40 telur, 3) Proglotid ini akan dimakan oleh larva pinjal dan oncosphere bebas dan berkembang menjadi sistiserkoid, 4) Anjing dan kucing terinfeksi melalui ingesti pinjal, dan 5) Hospes akhir pada karnivora. Mereka berkembang menjadi cacing yang bisa mencapai panjang 45 cm di usus halus.


Lactat Ringer
Larutan Laktat Ringer merupakan larutan steril, non pirogenik. Elektrolit-elektrolit yang terkandung didalam larutan laktat ringer tiap 1000 ml adalah Sodium 130 mEq, Potasium 4 mEq, Calcium 3 mEq, Chloride 109 mEq dan Lactate 28 mEq. Sedangkan komposisinya tiap 100 ml yaitu Sodium Chloride 600 mg, Sodium Lactate Anhydrous 310 mg, Potasium Chloride 30 mg, Calcium Chloride Dihydrate 20 mg.
Larutan laktat ringer merupakan larutan isotonis yang digunakan sebagai pengganti cairan (air/elektrolit), terutama pada kasus metabolik asidosis. Dosis pemberian infus tergantung pada derajat dehidrasi. Laktat ringer merupakan pengganti cairan yang bersifat nonkoloid yang dapat langsung masuk melalui membran sel. Hal ini menyebabkan laktat ringer tidak tergantung pada keadaan di cairan ektraseluler, melainkan keseimbangan pada cairan intraseluler. Pada anjing dapat diberikan 50-60 ml/kg/hari secara i.v (Tennant, 2002), sedangkan pada kasus shock dapat diberikan 60-70 ml/kg secara i.v (Tilley dan Smith, 2004).

Gambar 2. Infus Ringer’s Laktat dan infus set.


Kalmoxicilin
Kalmoxicilin (Kalbe Farma) merupakan salah satu produk yang memilki kandungan Amoxicillin merupakan antibiotik semi sintetik dari penisilin (Subronto dan Tjahjati, 2008). Amoxicilin tersedia dalam bentuk serbuk injeksi yang tiap vial berisi amoxicillin sodium yang setara dengan amoxicillin 1000 mg. Konsentrasi larutan amoxicilin injeksi ini adalah 10% yang dapat diaplikasikan secara IM atau IV (Hardjasaputra et al, 2002). Amoxicilin merupakan penicilin yang tahan asam, termasuk asam lambung. Hal ini dikarenakan amoxicilin memiliki gugus phenoxyl yang terikat oleh gugus alkyl dari rantai acylnya (Subronto dan Tjahjati, 2008).
Amoxicilin disebut penisilin spectrum luas karena memiliki gugus hidroksil fenolik tambahan dan dapat bekerja terhadap bakteri Gram negatif seperti E. coli atau Proteus mirabilis. Aktifitas antibakteri amoxicilin ini terletak pada cincin beta-laktam (Mutschler, 1991). Kebanyakan batang enterik Gram negatif) menghasilkan beta-laktamase (penicillinases), yang menginaktifkan penisilin dengan memecah cincin beta-laktam (Katzung, 1998).
Beberapa bakteri mungkin tidak rentan terhadap kerja penisilin yang mematikan karena enzim autolik didalam dinding sel tidak aktif. Organisme yang toleran tersebut (misalnya, Staphylococcus tertentu, Streptococcus, Listeria) dihambat tetapi tidak dibunuh. Organisme tanpa dinding sel atau (bentuk Mycoplasma L) yang secara metabolik tidak aktif bersifat tidak rentan terhadap penisilin dan penghambat dinding sel lainnya karena mereka tidak mensistesis peptidoglikan. Beberapa bakteri (misalnya, Staphylococcus) mungkin resisten terhadap kerja beta-laktam pada penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase seperti metisilin. Mekanisme resisten ini tampaknya bergantung pada defisiensi atau tidak dapat dicapainya Penicilin Binding Protein (PBP), hal ini tidak bergantung pada produksi beta-laktamase dan frekuensinya sangat bervariasi dengan lokasi geografis (Katzung, 1998). Dosis pemberian amoxicilin pada anjing 10 mg/kg bb 2 kali sehari selama 3-5 hari (Rossof, 1994).


Duradryl
Duradryl merupakan antihistamin dalam sediaan bentuk larutan injeksi 15 ml per ampul yang tiap ml mengandung diphenhydramin HCl 10 mg. Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel dengan mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Ikatan dengan sel akan menyebabkan tidak adanya efek histamin pada sel tersebut. Diphenhydramine HCl sendiri merupakan antihistamin dari kelas ethanolamine, yang dapat mengandung sedatif, antimuskarinik, dan antiemetika, sehingga dapat menekan gejala batuk, serta antihistamin (H1) menekan muntah dan pruritis (Tennant, 2002). Penggunaan secara i.m jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan.
Antihistamin H1 digunakan dalam mencegah aksi histamin pada bronchial, intestinal, uterus, mukulus halus pembuluh darah. Sebagai antagonis terhadap efek vasokonstriksi oleh histamin dan lebih berpengaruh terhadap efek vasodilatator dalam meningkatkan permeabilitas kapiler. Antihistamin ini berefek terhadap urticaria dan beberapa tipe edema sebagai respon terhadap kelukaan, antigen, alergen dan senyawa histamin yang dibebaskan oleh beberapa spesies.
Setiap antihistamin dapat menghasilkan efek samping. Salah satu yang penting secara klinik pada penghambatan H1 yaitu sedasi atau rangsangan CNS, gangguan gastrointestinal, aksi parasimpatolitik, efek teratogenik dan anastetik. Pada dosis terapeutik dapat berefek sedativa, dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritabilitas, konvulsi, hiperpireksia, dan bisa menyebabkan kematian
Dosis pemberian diphenhydramine HCl pada anjing yaitu 1 mg/kg secara i.m atau i.v (Tilley dan Smith, 2004). Pengguanaan secara IM jarang menimbulkan efek samping sehingga cara ini paling sering digunakan. Antihistamin beraksi secara antagonis kompetitif untuk reseptor histamin khusus di dalam jaringan sel. Senyawa ini mengikat reseptor sel secara tidak langsung beraksi pada sel. Cara kerja berdasarkan pertimbangan kuantitas. Pada umumnya antihistamin lebih efektif terhadap histamin eksogen daripada histamin endogen. Senyawa ini lebih efektif dalam mencegah kerja histamin
Antihistamin H1 digunakan dalam mencegah aksi histamin pada bronchial, intestinal, uterus, mukulus halus pembuluh darah. Sebagai antagonis terhadap efek vasokonstriksi oleh histamin dan lebih berpengaruh terhadap efek vasodilatator dalam meningkatkan permeabilitas kapiler. Antihistamin ini berefek terhadap urticaria dan beberapa tipe edema sebagai respon terhadap kelukaan, antigen, alergen dan senyawa histamin yang dibebaskan oleh beberpa spesies.

Gambar 3. Ikatan rantai kimia Diphenhydramine HCl (2-benzhydryloxy-N,N-dimethyl-ethanamine)

Pengaruh pemberian antihistamin terhadap histamin dari reaksi adanya benda asing yaitu badan sel neuron-neuron histaminergik terdapat di nukleus tuberomamilaris hipotalamus posterior, sedangkan akson-aksonnya berpendar ke seluruh bagian otak, termasuk korteks serebri dan medula spinalis.histamin ditemukan dalam sel-sel mukosa lambung dan sel-sel yang mengandung heparin yang disebut sel mast. Terdapat tiga reseptor histamin yaitu H1, H2, dan H3. Reseptor H3 merupakan reseptor presinaptik yang memperantai inhibin pelepasan histamin dan transmiter lain melalui protein G, sedangkan reseptor H2 meningkatkan kadar cAMP intrasel dan reseptor H1 meningakatkan fosfolipase C (Ganong, 2002). Adanya infeksi bakteria maupun jamur akan meningkatkan jumlah histamin, sehingga jumlah histamin menjadi berlebihan.jumlah histamin yang berlebihan akan memacu reaksi alergi yang berlebihan sehingga tidak menguntungkan. Pemberian antihistamin sesuai dosisnya akan menekan produksi histamin dengan cara antagonis kompetitif. Sehingga pemberian antihistamin yang sesuai tidak akan membuat masalah terhadap proses penyembuhan dan dapat membantu menekan stress yang dialamia pasien.


Hematopan B 12
Merupakan pemacu pertumbuhan dan hematopoietika yang penggunaannya diindikasikan untuk :
 Meningkatkan nafsu makan
 Semua gangguan hematopoietic
 Anemia akibat kekurangan makan atau akibat infeksi, anemia pada anak babi yang mendapat susu induk, anemia akibat perdarahan, sebagai komplemen pada pengobatan anti piroplasma, asthenia dan purpura.
 Pada proses penyembuhan setelah penyakit menular dan intoksikasi
 Pertumbuhan pada ayam, anak babi dan anak kuda diberikan secara sistematis.
 Diare pada hewan muda
 Kebuntingan
 Untuk meningkatkan kondisi dan stamina
 Untuk pertumbuhan bulu pada anjing.
Sediaan berbentuk cairan dengan kemasan 50 ml per botol yang tiap 100 ml mengandung: Sodium cacodylate 3 g, Ammonium ferric citrate 2 g, Methionine 1 g, Histidine hydrochloride 0,5 g, Tryptophan 0,25 g, Cobalt acetate 0,05 g, Cyanocobalamine 0,001 g,dan Excipient q.s 100 ml. Dosis yang dianjurkan untuk anjing yaitu 1 ml per 5 kg berat badan tiap hari. Obat ini hanya diberikan pada hewan.


Kaotin suspensi
Kaotin suspensi merupakan kombinasi ideal dari Kaolin dan Pektin untuk pengobatan diare yang diindikasikan pada diare yang ringan dan yang tidak diketahui sebabnya. Kandungan tiap 5 ml suspensi yaitu 985 mg kaolin ringan dan 22 mg pektin. Kaolin merupakan absorben yang dapat menyerap bakteri-bakteri, substansi-substansi beracun dan merangsang dari saluran usus, serta membenyuk lapisan pelindung pada dinding usus. Pektin dapat menghilangkan toksin-toksin yang dihasilkan oleh bakteri dan juga dapat menghancurkan bakteri karena terbentuknya asam galakturonat, asam galakturonat merupakan suatu media yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang biasa menyebabkan diare.

Gambar 4. Kaotin suspensi


Drontal Dog
Drontal dog adalah obat cacing kombinasi pyrantel pamoat, praziquantel dan febantel. Drontal plus mengandung praziquantel 50 mg, pyrantel 144 mg dan febantel 150 mg. Dosis yang dianjurkan tiap 1 tablet untuk anjing 10 kg. Pyrantel merupakan obat cacing golongan tetrahydropyrimidin, derivat dari imidazothiazole dengan rumus kimia yaitu E-1,4,5,6-tetrahydro-1-methyl-2-[2-(2-thienyl)vinyl]-pyrimidine (Ganiswara, 1995) dengan garam pyrantel yang diproduksi adalah pamoat yang berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, namun dalam bentuk cairan jika terkena cahaya matahari akan mengalami fotoisomerisasi sehingga tidak memiliki potensi sebagai obat cacing dengan demikian bila telah dilarutkan harus segera dihabiskan. Pada hewan berlambung tunggal, pyrantel segera diserap setelah pemberian dengan kadar puncak plasma tercapai dalam 2-3 jam.
Garam pyrantel pamoat larut dalam air, dan hal ini menguntungkan untuk membunuh cacing yang hidup di usus posterior (Subronto, dan Tjahajati, 2008). Absorbsi pyrantel pada usus tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala (Ganiswara, 1995).
Praziquantel merupakan antihelmintes terutama cestoda yang merupakan derivat dari pirazinoisokuinolin yang efektif terhadap cestoda dan trematoda. Praziquantel tidak berwarna dan tersasa pahit.Terabsorbsi secara cepat pada pemberian secara oral dan dimetabolisme dalam hepar sebelum di ekskresikan ke dalam empedu. Efektif untuk mengatasi parasit Dipylidium caninum, T. pisiformis, dan E. granulosus. Jangan diberikan pada anjing atau anjing berumur 1 – 2 bulan (Rossof, 1994).
Efek anthelmentik praziquantel secara invitro, praziquantel diambil secara cepat dan reversibel oleh cacing tetapi tidak dimetabolisme. Kerjanya cepat melalui dua cara. Pertama pada kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot pada cacing karena holangnya ion Ca intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang sifatnya reversible, yang mungkin menyebabkan terlepasnya cacing dari tempatnya yang normal pada hospes. Yang kedua, pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan hospes dipacu dan terjadi kematian cacing.
Pada pemberian oral absorbsinya baik, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam waktu 1-2 jam. Metabolisme obat berlangsung cepat melalui proses hidroksilasi dan konjugasi sehingga kadar metabolit dalam plasma kira-kira 100 kali kadar praziquantel. Metabolitnya sebagian besar diekskresikan bersama urin dan sedikit diekskresikan dalam bentuk utuh.
Efek samping segera timbul segera setelah diberi pengobatan seperti sakit perut, anoreksia, sakit kepala dan pusing, namun efek ini hanya sementara dan ringan dan timbulnya tergantung besarnya dosis.

























RIWAYAT KASUS

No. 728 Tanggal : 27 Oktober 2010 Macam Hewan : Anjing
Nama & Alamat pemilik : Dhony
Sonosewu (081329447410) Nama Hewan : Chimy
Mahasiswa : Ardya Widyastuti, S.K.H. Signalemen : Domestik, ♂, 2 bulan, hitam putih

ANAMNESA :
Mencret 3 hari dan encer, bau, belum pernah vaksin dan obat cacing, tidak mau makan.

STATUS PRAESENS :
1. Keadaan umum :
EM : Lesu
KT : Sedang
2. Frek. Napas : 60 x/mnt; Frek. Pulpus : 84 x/mnt; Tº badan : 38,3 ºC
3. Kulit & Rambut :
a. Rambut : tidak rontok, kusam
b. Turgor kulit : baik
4. Selaput lendir :
a. Konjunctiva : pucat
b. CRT : >2 detik
5. Kelenjar-kelenjar Limfe : tidak ada pembekakan
6. Pernapasan :
a. Tipe napas : thoraco-abdominal
b. Auskultasi : vesikuler
c. Leleran/ Batuk : tidak ada
7. Peredaran darah :
Systole-diastole : terdengar dan dapat dibedakan

8. Pencernaan :
a. Mulut : bersih
b. Palpasi abdomen : tidak ada rasa sakit
c. Anus : kotor
d. Peristaltik : meningkat
9. Kelamin dan perkencingan :
a. Kelamin : bersih
b. Palpasi ginjal : tidak ada rasa sakit
10. Syaraf :
a. Refleks pupil dan palpebra : baik
b. Refleks pedal : baik
11. Anggota gerak : dapat berjalan normal dan berdiri dengan 4 kaki
12. Lain-lain : - ; BB : 1,25 Kg
13. Pemeriksaan Laboratorium,dsb
a. Feses : Kuning
- Konsistensi : encer (cair)
- Natif : ditemukan telur cacing
- Sentrifuse : + Dipylidium sp.
b. Darah :
- Sifat : pekat
- Kadar Hb : 9,8 g/dl
- Pr. Apus : Neutrofil seg. 25873,5 (sel/mm3); limfosit 26424(sel/mm3); monosit 1651,5 (sel/mm3); eosinofil 1101 (sel/mm3)
DIAGNOSA : Enteritis dan Dipylidiasis
PROGNOSA : fausta
TATA LAKSANA :
Inj. Hematopan 0,25 ml
S.1dd

Amoxicilin 0,125 ml
S.2dd

Duradryl 0,125 ml
S.1dd

Infus RL 25 ml
S.2dd

R/ Drontal dog tab I
Sac laq q.s
m.f.pulv. No. X
S.haust.pulv.I

R/ Kaotin syr. btl I
S. 2dd. Gtt. oris 1,27 cc























HASIL
PEMERIKSAAN HEMATOLOGI

Pemeriksaan darah Unit Standar
Normal* Hasil
27/10/10 Ket. Interpretasi
Eritrosit 106/µ 5,5 – 8,5 4,68 Turun Anemia
Hb g/dL 12 – 18 9,8 N
PCV % 37 – 55 29 Turun Anemia
MCV Fl 60 – 77 61,966 N Normositik
MCHC % 32 – 36 33,79 N Normokromik
Leukosit 103 Sel/mm3 6 – 17 55,050 Naik Leukositosis
Neutrofil seg. R % 47
A 103 Sel/mm3 3 – 11,4 25,8735 Naik Neutrofilia
Limfosit R % 48
A 103 Sel/mm3 1 – 4,8 26,424 Naik Limfositosis
Monosit R % 3
A 103 Sel/mm3 0,15 – 1,35 1,6515 Naik Monositosis
Eosinofil R % 2
A 103 Sel/mm3 0,1 – 0,75 1,101 Naik Eosinofilia
Basofil R % -
A 103 Sel/mm3 Jarang -

TPP g/dL 6,0 – 7,5 3,7 Turun
Fibrinogen g/dL 0,15 – 0,3 0,2 N
(Kahn, 2005).






PEMBAHASAN

Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Anamnesa dan pemeriksaaan fisik anjing “Chimy” dengan nomor pendaftaran 728 dilakukan pada tanggal 27 Oktober 2010. Berdasarkan anamnesa pasien mengalami diare encer selama 3 hari dan berbau tidak enak, sejak saat itu anoreksia, belum pernah vaksin dan minum obat cacing. Hasil pemeriksaan fisik antara lain ekspresi muka yang lesu dan keadaan tubuh sedang, pulsus (84x/menit), frekuensi napas (30x/menit) dan suhu tubuh (38,3ºC) normal. Menurut Moore (2004), anjing memiliki pulsus normal 60-180x/menit, suhu tubuh normal 38,3-38,7ºC, dan frekuansi napas 10-30x/menit. Turgor kulit masih baik, rambut tidak rontok. Konjunctiva berwarna pucat, anemia ditandai dengan membran mukosa menjadi berwarna pucat (Weiss, 2010) dan Cappilary Refill Time (CRT) > 2 detik. Salah satu gejala yang menunjukkan adanya dehidrasi yaitu CRT >2 detik (Moore, 2004). Kurangnya cairan di dalam tubuh menyebabkan elasitas kulit berkurang dan pembuluh darah mengalami konstriksi sehingga CRT menjadi lebih lama. Kurangnya cairan dapat dikarenakan hewan kurang mendapat asupan cairan baik dari makanan atau kurang minum. Selain itu hal yng menyebabkan banyaknya cairan keluar dari tubuh seperti diare dan muntah dapat menyebabkan hewan mengalami dehidrasi (Lane dan Cooper, 1994). Tidak ditemukan adanya kebengkakan pada kelenjar limfe, pernapasan tipe thoraco-abdominal dan auskultasi paru-paru yaitu vesikuler. Pada pemeriksaan percernaan, mulut bersih dan tidak bau, anus kotor, feses awalnya berwarna kuning kemudian selang beberapa waktu diare menjadi sangat cair dan berbau tidak enak (anyir), palpasi abdomen tidak ada rasa sakit, auskultasi abdomen peristaltik usus meningkat. Diare merupakan feses yang mengandung air yang sangat banyak dan sering (Weiss and Wardrop, 2010). Penyebab diare ini diduga dikarenakan infestasi cacing yang disesuaikan dengan pemeriksaan feses pasien di laboratorium ditemukan telur dari Diphilidium sp. Kelamin dan perkencingan bersih dan palpasi ginjal tidak ada rasa sakit. Demikian juga dengan pemeriksaan syaraf, reflex pupil dan pedal baik. Anggota gerak dapat berdiri dan berjalan normal dengan empat kaki.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan terhadap feses dan pemeriksaan darah.
Pemeriksaan feses
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses secara natif tidak ditemukan adanya telur, namun dengan pemeriksaan feses secara sentrifus ditemukan adanya telur cacing cestoda yaitu Dipylidium sp yang dapat ditemukan pada usus halus (duodenum) hospes. Selain menyebabkan timbulnya gejala diare, infestasi cacing yang banyak dapat menyebabkan anemia.

Gambar 5. Gambaran telur Dyphilidium sp dari hasil pemeriksaan feses anjing “Chimy” secara sentrifuge tanggal 27 Oktober 2010.

Pemeriksaan darah
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah tanggal 27 Oktober 2010, yaitu sebelum pasien mendapat pengobatan, diperoleh hasil interpretasi anjing “Chimy” mengalami anemia normositik-normokromik, limfositosis, monositosis, neutrofilia dan eosinofilia. Gejala klinik hewan anemia yaitu lemah, stamina menurun, membran mukosa pucat, ikterus dan hemoglobinuria (urin berwarna merah) (Weiss and Wardrop, 2010).

(Weiss and Wardrop, 2010)

Anemia dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan produksi atau oleh kehilangan atau destruksi eritrosit yang meningkat. Hal ini dapat terjadi pada pendarahan akut atau kronis, dapat ditimbulkan oleh toksin yang menyebabkan hemolisis dan destruksi eritrosit, penurunan pembentukan darah oleh destruksi atau hilangnya fungsi jaringan pembentuk darah, kegagalan pembentukan eritrosit oleh defisiensi nutrisi misalnya Fe dan vitamin B12 (Haper et al., 1979).
Gambaran anemia normositik normokromik menunjukkan anemia non-regeneratif yang dapat disebabkan adanya inflamasi dan nekrosis (Weiss and Wardrop, 2010).
Gambaran leukositosis terjadi akibat peningkatan jumlah leukosit. Peningkatan jumlah leukosit ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dari masing-masing sel darah putih, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan darah terjadi peningkatan neutrofil. Dalam hal ini neutrofilia dapat terjadi akibat respon inflamasi terhadap infeksi bakteri secara primer atau sekunder atau respon terhadap benda asing lainnya.
Neutrofilia menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan sel darah putih tersebut untuk melawan agen infeksi di jaringan, sehingga sum-sum tulang aktif memproduksi sel-sel darah putih tersebut, sehingga jumlah neutrofil di darah juga ikut meningkat. Menurut McGavin dan Zachary (2007) adanya neutrofilia menunjukkan respon akut dari infeksi bakteri dalam melindungi jaringan.
Infeksi bakteri akan memicu pergerakan neutrofil ke jaringan yang rusak. Akibatnya, sumsum tulang akan melepaskan neutrofil ke dalam pembuluh darah lebih banyak karena permintaan neutrofil di jaringan meningkat untuk memfagosit agen infeksi (Feldman et al., 2000). Neutrofil dapat memfagosit benda asing dengan diameter mencapai 0,5µm. Kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri tergantung pada isi granulanya yang menyimpan enzim degradasi, enzim peroxidatif, adhesion moleculer, protein/peptid antimikroba (McGavin dan Zachary, 2007).
Adanya reseptor pada dinding bakteri misalnya lipopolisakarida (LPS) dari gram (-) akan berikatan dengan lipid-binding protein (LPB) di darah. LPB ini akan mentransfer molekul LPS ke protein yang berlokasi dipermukan makrofag. Ikatan LPS dan makrofag memicu produksi sitokin (Tizard., 2004). Sitokin seperti interleukin (IL-1, IL-6) dan tumor necrosif factor (TNF-α) merupakan proinflamatori yaitu sebagai mediator inflamasi (Cao et al., 2004) yang memacu fibroblast dan sintesis kolagen (Tizard., 2004). Menurut Cao et al. (2004).

Pengobatan
Pengobatan terhadap anjing “Chimy” yang terdiagnosa enteritis dan diphylidiasis yaitu infus RL, injeksi amoxicilin, duradryl, hematopan dan drontal dog, namun pada hari ke-5 dengan pertimbangan diare belum reda maka ditambah kaotin sirup untuk menangani diare. Pemberian infus laktat ringer sebanyak 25 cc secara subcutan (s.c) berdasarkan kondisi pasien yang tidak mau makan selama 3 hari dan keadaan tubuh yang dehidrasi karena kekurangan cairan akibat diare encer dan muntah yang ditunjukkan dengan CRT >2 detik pada pemeriksaan klinis. Infus RL mengandung ion yang penting untuk menjaga keseimbangan cairan, sehingga dapat mencegah shock pada sel yang berakibat pada nekrosis sel. Pemberian infuse secara s.c sering dilakukam pada hewan yang memiliki berat badan kecil (Moore, 2004).
Antibiotik kalmoxilin (amoxicilin) 0,125 cc secara i.m sebanyak 2 kali sehari selama 4 hari yang digunakan untuk menangani infeksi bakteri primer atau sekunder pada kasus enteritis. Amoxicilin termasuk golongan antibiotik β-Lactam yang mekanisme kerjanya menghambat sintesis dinding sel bakteri (Boothe, 2001). Menurut Katzung (2004), dinding sel bakteri tersusun oleh peptidoglikan yang terdiri dari polisakarida dan polipeptida. Antibiotik ini tidak mempengaruhi sel-sel jaringan mamalia, karena mamalia tidak memiliki dinding massif seperti pada bakteri (Subronto dan Tjahjati, 2008). Dosis yang digunakan 10-22 mg/kg bb tiap 8-12 jam sehari (Boothe, 2001).
Pemberian duradryl (Diphenhydramin HCl) sebanyak 0,125 cc secara i.m sebanyak 1 kali sehari selama 4 hari yang berfungsi sebagai antihistamin yang bersifat sedatif, antimuskarinik, dengan cara memblok efek dari histamin di reseptor H1. Pemberian obat ini didasarkan karena adanya indikasi alergi yang ditandai dengan eosinofilia pada pemeriksaan hematologi.
Pemberian hematopan 0,25 cc secara i.m sebanyak 1 kali sehari selama 4 hari bertujuan untuk membantu menangani anemia, menambah nafsu makan, dan membantu proses penyembuhan. Beberapa komposisi yang terkandung dalam hematopan dua diantaranya yaitu ammonium ferric citrate berfungsi dalam pembentukan hemoglobin dan cyanocobalamine berfungsi sebagai faktor pembentuk eritrosit (Boothe, 2001) yang mampu menangani kondisi anemia yang diderita pasien.
Pemberian drontal dog sebanyak 1/10 tablet yang disesuaikan dengan dosis 1 tablet per 10 kg bb dan berat badan pasien yaitu 1,25 kg. Berdasarkan periode prepaten anjing berlangsung sekitar 3 minggu, pengobatan cacing sebaiknya dilakukan pertama pada umur 2-4 minggu, diulang 3-4 minggu kemudian, sampai umur 2-3 bulan. Pada umur 3-6 bulan diobati lagi, selanjutnya secara teratur tiap 3-6 bulan (Subronto, 2006). Pemberian obat cacing untuk menangani Dipylidium sp. pada anjing dapat menggunakan kombinasi antara pyrantel pamoat, praziquantel, dan febantel (Tilley and Smith, 2000). Kandungan drontal dog yaitu praziquantel 50 mg, pyrantel 144 mg dan febantel 150 mg. Pyrantel termasuk golongan obat anthelmentik kelas yang memblok neurotransmisi ganglion melalui aksi kolinergik (Aubry et al, 1970) sehingga meningkatkan kontraksi otot cacing (Ganiswara, 1995). Praziquantel merupakan obat antiparasit yang umumnya digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan cacing pita. Aksi obat terhadap parasit menyebabkan keracunan neuromuskuler dan paralisa dengan mengubah permeabilitas kalsium parasit (Tilley and Smith, 2000).
Kaotin suspensi (sirup) digunakan untuk menangani diare yang dialami pasien. Kaotin beraksi sebagai absorben endotoksin dan pektin berfungsi melindungi mukosa usus (Tilley and Smith, 2000).

Perkembangan Keadaan Pasien
Pasien mendapatkan perawatan dan pengobatan di stasioner klinik Kuningan FKH UGM. Selama perawatan 3 hari pertama hewan menunjukkan gejala ke arah perbaikan. Penanganan hari pertama rawat inap, pasien diberi infus, antibiotik, antihistamin dan hematopan untuk menangani anemia. Meskipun awalnya pasien sudah 3 hari tidak makan namun pada hari ke-1 pasien dipuasakan makan sehari untuk mengurangi kerja usus. Pada enteritis akut sebaiknya usus diistirahatkan dengan tidak memberi makan pada hewan sehingga kerusakan usus yang lebih dihindari. Pemberian pakan secara oral dapat menjadi sumber terjadinya muntah (Nelson and Couto, 2003). Hari ke-2, pasien menunjukkan kondisi membaik. Tidak lemas, minum habis, pulsus, nafas, dan temperatur tubuh normal. Kondisi dehidrasi mulai membaik yang ditandai CRT <2 detik. Karena kondisi membaik, hewan bisa berlari-lari dalam kandang dan berteriak seolah meminta makan maka pasien dicoba diberi pakan lunak berdasarkan pemberian pakan oleh pemilik yaitu nasi dengan pakan anjing khusus anak anjing. Pakan dibuat encer dengan dilarutkan dalam air hangat dan pasien mau makan meskipun beberapa saat setelah makan, feses yang keluar sudah mulai memadat namun masih ada beberapa bentukan nasi yang masih utuh. Pemberian pakan berikutnya, diberi pakan khusus anak anjing yang encer kemudian beberapa saat setelah makan feses yang dikeluarkan lebih padat sampai hari ke-3 siang. Setiap pakan yang diberikan selalu habis, hal ini menujukkan nafsu makan pasien meningkat selama perawatan. Namun, pada hari ke-3 (sore hari) kondisi mendadak menurun. Pasien mengalami kembali mengeluarkan feses encer namun frekuensinya tidak sering. Kondisi pasien semakin melemah, demam tinggi (siang: 38,8ºC, sore: 39,6ºC) sehingga pasien dipuasakan kembali. Pemberian cairan infus dan obat-obat lainnya masih dilakukan. Pada hari ke-5 diputuskan pasien pulang untuk rawat jalan dengan ditambah pemberian antibiotik tambahan selama 2 hari dan kaotin untuk penanganan diare. Penanganan pada hari ke-6 pasien semakin lemah, namun diare sudah mulai berkurang. Ditemukan adanya feses yang bercampur darah segar (hematochezia) dan hancuran epitel usus. Hari ke-7, kondisi pasien sangat lemah, tingkat dehidrasi semakin parah yang ditandai turgor/elastisitas kulit semakin menurun dan berdasarkan informasi pemilik anjing “Chimy” muntah di sore hari. Palpasi abdomen ada reflek rasa sakit pada palpasi di bagian caudo-abdominal (inguinal) daerah usus besar dan bagian thorax. Gigi mengatup rapat seperti menahan rasa sakit. Sifat feses sudah tidak hematochezia lagi namun bersifat mucus. Dugaan terhadap keparahan enteritis akibat agen infeksi lain yang bersifat akut. Menurut Foreyt (2001) kasus diphylidiasis selalu ditandai dengan ditemukannya proglotid yang menempel di anus atau ditemukan pada saat pemeriksaan feses. Pada hari ke-8, pasien mati dengan gejala kejang-kejang beberapa saat sebelum lemas tak bergerak. Dugaan sementara penyebab kematian enteritis yang diderita mengakibatkan immunosupresif dan kondisi lokasi rawat inap sebelumnya kurang steril dimana di sekitar lingkungan ruang rawat inap yaitu hewan lainnya sedang ada yang mengalami penyakit infeksius viral (parvovirus) yang secara aerosol mampu menularkan virus tersebut. Selain itu, kondisi lingkungan yang lembab dan basah mengakibatkan penularan semakin mudah (Nelson and Couto, 2003).






KESIMPULAN
Diagnosa awal pada saat pemeriksaan adalah enteritis dan diphylidiasis. Namun seiring perjalanan pengobatan dan rawat inap, pasien mati yang diduga terinfeksi penyakit infeksius lainnya yang ada di sekitar lingkungan rawat inap.







































DAFTAR PUSTAKA


Aspinal, V. 2003. Clinical Procedures in Veterinary Nursing. Toronto: Elsevier Lim. Pp. 64-68, 81-82

Boothe, D.M. 2001. Small Animal Clinical Pharmacology and Therapeutics. Toronto: W.B. Saunders Company. Pp. 150, 154, 272,

Foreyt, W.J.2001.Veterinary Parasitology 6th ed. Iowa State Univ. Press : USA

Ganiswara, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Ganong, W.F., 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, terj. Review of Medical Physiology, 20th eds., ahli bahasa: Widajajakusumah, H.M.D., EGC, Jakarta.

Hardjasaputra, S.L, Budipranoto G, Sembiring S.U. dan Kamil I.H. 2002. Data Obat di Indonesia edisi 10. Jakarta: Grafidian Medipress. Hal: 311, 1048

Harper, H.A., Rodwell V.W. and Mayes P.A. 1979. Review of Physiological Chemistry. Lange California: Medical Publication.

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi dasar dan klinik, Edisi 6. Penerbit buku kedokteran ECG. Jakarta.

Lane, D.R., dan Cooper,B., 1994. Veterinary Nursing (Formerly Jones’s Animal Nursing 5th ed.). Pergamon: BSAVA.

Moore, P.H. 2004. Fluid Therapy for Veterinary Nurses and Technicians. Toronto: Elsevier Sc. Lim. Pp.51, 96-97.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerbit IPB. Bandung.

Nelson, R.W. and Couto C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine 3th ed. St. Louis Missouri: Mosby.

Rossof, I.S. 1994. Handbook of Veterinary Drugs and Chemical. USA: Pharmatox Publishing Co. Pp. 300, 570, 582, 648, 674.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,.

Subronto dan Tjahajati, I. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III: Farmakologi Veteriner, Farmakodinamika dan Farmakokinesis, Farmakologi Klinis. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Tennant, B. 2002. BSAVA Small Animal Formulary, 4th ed. British Small Animal Veterinary Association. Gloucester

Them, H., Diem H. and Haferlach T..2004.Color Atlas of Hematology Practical and Clinical Diagnosis. Germany: Georg Thieme Verlag. Pp. 140,

Tilley, L.P. and Smith F.W.K. 2000. The 5-minute Veterinary Consult, Ver. 2.0. USA: Lippincott Williams and Wilkins.

Weiss, D. J. and Wardrop K. J. 2010. S C H A L M ’ S Veterinary Hematology, 6th Ed. USA: Blackwell Publishing Ltd. Pp.211, 801.

1 komentar: